17 Des 2011

Tak Ada Nama Sartika Nasmar

Saya antri untuk melakukan check in di counter Air Asia. Kali ini untuk melanjutkan perjalanan ke tujuan akhir saya, yakni New Delhi, India. Saya mendapat nomor kursi 11 K. Setelah menyerahkan paspor dan tiket, pria yang melayani saya memberikan boarding pass. Saya kemudian menuju ke ruang tunggu. Dua penjaga siap melakukan pemeriksaan. Tapi hanya untuk boarding pass saja. Lalu saya kemudian menuruni eskalator dan menemukan keramaian. Di sanalah ruang tunggu. Saya mencari pintu 16, setelah menemukannya, saya tak langsung masuk melainkan ke sebuah toko.

Saya memasuki sebuah toko. Melihat beberapa produk. Awalnya hanya ingin melihat saja, tapi akhirnya tergoda pada gantungan kunci berbentuk koper seharga MYR 9.90. Saya kemudian menuju ke bagian aksesoris. Saya melihat beberapa anting. Saya jatuh cinta pada satu anting perak. Tapi, mahal. Saya ke kasir dan membayar gantungan kunci. Lalu keluar.

Sayangnya, anting terus menggoda ingatan saya. Dompet kukeluarkan dari saku tas. Menghitung berapa Ringgit yang saya punya. Masih ada sekitar MYR 50.00. Dan akhirnya memutuskan untuk membeli satu anting seharga MYR 12.00.
Tak ingin tergoda lagi, saya berlari menuju pintu 16. Seorang petugas meminta paspor dan boarding pass saya. Dan mempersilahkan saya masuk. Memilih kursi dan memperhatikan anting yang baru saja saya beli.

Ponsel saya berbunyi. Ada pesan dari Inna Hudaya. Ia adalah Direktur saya di SAMSARA. Ia meminta saya untuk mengirimkannya informasi tentang jadwal ketibaan saya di New Delhi. Menurutnya, akan ada supir taksi yang akan menjemput saya di pintu keluar empat. Supir tersebut akan membawa kertas bertuliskan nama saya.

Kegelisahan mulai muncul. Saya tak memiliki pulsa. Dan, tak tahu bagaimana menggunakan telefon umum untuk menghubungi ponsel.

Seorang perempuan Thailand tiba-tiba duduk di sebelah saya. Berambut panjang dan pirang. Baru saja dua menit ia duduk, ia langsung mengeluarkan cermin dan merapikan rambutnya. Sekitar 10 menit kemudian, ia mengeluarkan sebuah lipgloss dan memolesnya di bibir. Sekitar lima menit kemudian, mengambil lotion dari tas dan membasuh betisnya. Dari semua penumpang yang menunggu, hanya ia yang menggunakan high heels.

Rasanya lumayan tenang, karena saya akhirnya mendapat ide. Ia kelihatan cukup ramah. Saya mengajaknya berkenalan. Namanya cukup sulit untuk kuingat. Kami mulai tertawa bersama. Bercerita tentang tujuan kami mengunjungi New Delhi. Perlahan-lahan, saya mengeluarkan ponsel dari saku tas. Lalu, mulai menceritakan keresahan saya.

“Okay, I will give you 10 minutes to call your friends,” katanya.

Saya senang sekali. Dan langsung menerima tawaran. Memberinya nomor ponsel Inna. Sayang, tak ada jawaban. Ia mengambil kembali ponselnya. Lalu saya meminta pulsa untuk sms saja. Dan ia mengijinkan. Betapa beruntungnya saya. Tak lama setelah mengembalikan ponselnya, petugas Air Asia meminta kami antri untuk menuju ke pesawat. Semua berjejer tidak rapi.

“Premium passenger first,” kata petugas.

Dimanapun, orang yang membayar lebih mahal akan dilayani lebih dulu. Orang-orang yang mempunyai tiket premium melangkah lebih dulu menuju pesawat. Mereka akan menikmati kursi yang lebih empuk dan bisa tidur lebih nyaman karena ada bantalan untuk kaki agar dapat tetap lurus.

Lalu, menyusullah penumpang lain.

Kursi saya berada dekat jendela. Saya duduk bersebelahan dengan sepasang orang India. Di jari manis kiri mereka menggunakan cincin yang sama. Ketika pesawat mulai lepas landas, perempuan itu mulai menyandarkan kepalanya di bahu si lelaki.

Perjalanan dengan pesawat ke New Delhi membutuhkan waktu lima jam. Dua jam perjalanan, pramugari memberikan makanan yang sudah saya pesan sebelumnya. Nasi Briyani. Bahan dasar nasinya adalah beras Basmati. Panjang dan langsing. Beras Basmati berasal dari India dan Pakistan. Basmati berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya harum atau wangi. Saat membuka kemasan makanannya, memang aromanya wangi sekali. Sayang, rasa lauknya asing di lidah saya. Ada Chicken Butter Masala dan brokoli campur kacang polong bumbu. Chicken Butter Masala dibuat dari bahan dasar ayam tanpa tulang, kacang catio, krim dan bumbu lainnya. Kuahnya kental sekali. Bikin eneq. Untung saja, air mineralnya dalam kemasan botol ukuran 350 mili liter. Air Mineral Semula Jadi Alla Fonte Mineralle.

Saya tak makan banyak. Meski masih terasa lapar. Bukan karena makanannya yang terasa asing di lidah. Namun karena pesawat yang bergoyang kencang. Pilot meminta kami memasang sabuk pengaman. Pramugari yang sedang melayani penumpang juga diminta untuk menghentikan pekerjaan mereka dan menggunakan sabuk pengaman. Saya mulai khawatir. Beberapa penumpang terlihat berdoa. Menyatukan semua jari dan meletakkannya di depan perut. Mereka menutup mata. Pesawat bergoyang layaknya mendengar lagu Ayu Ting Ting, Mencari Alamat.

“Scared?” tanya perempuan di sebelah saya.

Saya menganggukkan kepala. Jemari perempuan itu menggenggam jemari lelaki di sampingnya. Ia menyandarkan kepalanya di sandaran kursi dan menutup mata.

Hampir 30 menit pesawat bergoyang kencang. Hingga akhirnya suara bel dan lampu tanda sabuk pengaman padam. Pesawat stabil kembali. Penumpang mulai tenang. Pramugari melanjutkan tugasnya. Saya memilih tidur.

Suara pilot membangunkan saya. Kurang lebih 30 menit akan segera tiba di Indira Gandhi International Airport. Saya menoleh ke jam tangan perempuan di sebelah saya yang masih tertidur pulas. Sudah pukul 23.00 waktu Kuala Lumpur. Lalu saya menoleh ke jendela. Dari atas, terlihat jelas lampu-lampu kota mungkin juga desa. Sangat cantik. Saya suka sekali.

Lalu perlahan pesawat mendarat. Hati saya deg-degan. Ini adalah mimpi saya sejak Desember 2010. Setelah membaca artikel tentang India di majalah Panorama. Saya berniat dalam hati, tahun depan ingin berkunjung ke India. Akan. Saya yakin sekali. Dan benar.

Ketika turun dari pesawat, saya berjalan cepat. Dingin. Suhu di New Delhi adalah 19 derajat celcius. Saya memasuki terminal. Lalu antri pada pemeriksaan paspor dan membawa kartu kedatangan. Setelah itu, menuju ke pengambilan bagasi. Cukup lama menunggu hingga akhirnya saya mendapatkan ransel 40 liter saya. Dan, tak sabar ingin melihat seperti apa di luar sana. Sudah pukul 21.40 waktu New Delhi. Saya berlari kecil ke pintu keluar nomor empat. Mencari lelaki tak dikenal membawa nama saya di sebuah kertas. Banyak supir di sana. Ada nama Poe Hong Koen, Miss Navis Haris, dan nama lain. Saya berjalan hingga ke pintu enam. Hingga duduk memeluk salah satu ransel saya. Berpikir untuk mencari lagi.

Tapi tak ada nama Sartika Nasmar.

Tidak ada komentar: