20 Des 2011

Selamat Datang di India

Terlalu lama berharap jemputan, tak baik untuk kesehatan. Saat tiba di Indira Gandhi International Airport, saya dapat merasakan dingin di sekujur tubuh. Sweater yang saya pakai tak mampu membuat saya bertahan. Saya mendatangi seorang pria di sebuah meja. Dia adalah pengelolah taksi. Saya memintanya mencarikan taksi. Dia memanggil seorang pria lainnya dengan bahasa Hindi.

Mereka berdua menanyakan tujuan saya. Kuperlihatkan alamatnya dan supir siap mengantar. Sebelum menyetujui pergi bersama supir taksi itu, saya menanyakan apakah ia memiliki kwitansi. Supir itu bilang, itu bukan masalah. Saya percaya lalu naik ke taksi.

“Mam, can see the adress again?” tanya supir itu.

Saya memberikan kertas. Ia meletakkannya di kursi kosong di sebelahnya. Tujuan saya adalah New King Hostel. Alamatnya, 15/16 Ram Dwara Road, Main Bazar, Pahar Ganj, New Delhi.

Kami sudah keluar dari area bandara. Si supir mengeluarkan ponsel. Menelfon seseorang. Dia menggunakan bahasa Hindi. Tapi saya mengerti, sepertinya dia menanyakan alamat tujuan saya. Saya mulai khawatir. Si supir berbohong.

Ia sepertinya mendapat petunjuk. Dia melaju kencang. Dua kali kami hampir ditabrak dan satu kali hampir menabrak. Arus lalu lintas di New Delhi menyeramkan. Saya seperti berada di arena balapan mobil. Saya sangat khawatir.

Berkali-kali saya meminta supir untuk berhati-hati. Bahkan, tiga kali supir tersebut mendapatkan peringatan dari sebuah monitor yang ada di samping setir.

Argo sudah mendekati Rs 500. Belum juga tiba. Kami melewati beberapa flyover dan sebuah jalan lingkar. Tampak tertata rapi dan bersih. Taksi terus melaju. Saya memperhatikan bagian kanan dan kiri. Kali ini tak lagi peduli dengan kecepatan. Saya menikmati New Delhi.

Taksi berbelok ke sebuah pasar. Kontras sekali dengan kondisi sebelumnya. Di tempat itu, saya melihat banyak bajai. Di sana, disebut Rickshaw. Mereka parkir hingga ke tengah jalan. Suara klakson mobil dan motor membuat saya ingin gila. Ribut sekali.

Taksi yang saya pakai berhenti di tepi pasar. Supir turun dan bertanya arah ke Pahar Ganj. Saya memperhatikan sekeliling. Tertarik pada auto-rickshaw atau becak. Berbeda bentuknya dengan becak di Makassar dimana pengemudi berada di belakang. Pengemudi Auto-rickshaw berada di depan. Sepeda yang mereka gunakan tipe sepeda ontel. Dibelakang adalah tempat penumpang. Saya penasaran rasanya berada di atas auto-rickshaw.

Tiba-tiba sebuah mobil Suzuki Swift putih membunyikan klakson. Lampu mobilnya mengarah ke taksi yang saya tumpangi. Ia kelihatan marah. Mobilnya tak bisa lewat. Saya baru sadar kalau supir taksi memarkir mobilnya menutupi sebuah jalan besar. Anehnya, si supir taksi malah santai saja. Ia terus saja melanjutkan obrolannya dengan seorang pria. Padahal, ia sempat menoleh. Mobil itu terus membunyikan klakson. Sudah jam 11 malam.

Si supir datang, masuk ke mobil dan menancap gas. Mobil putih itu pun melaju. Kami masuk ke dalam jalan-jalan yang lebih kecil dan sangat kotor. Sampah di sisi-sisi jalan. Dan akhirnya menemukan sebuah lorong. Di sana ada tertulis nama hostel yang saya cari. Saya turun dari mobil. Supir menurunkan barang-barang saya. Bau tak sedap mulai terasa. Seperti bau pesing bercampur buah-buahan busuk ada juga seperti aroma karung basah.

Saya membayar taksi. Memberinya uang Rs 1.000. Ia mengembalikan Rs 180. Saya kaget, karena seharusnya dia mengembalikan sebanyak Rs 310. Argonya hanya Rs 690. Saya komplein. Dan dengan santainya mengatakan saya harus memberinya tip karena sudah berkeliling mencari alamat. Saya mulai kesal. Lalu saya meminta kwitansi. Dan sekali lagi dengan santainya mengatakan bahwa kertasnya habis dan tidak bisa memberi saya kwitansi. Rasanya ingin sekali kutonjok supir taksi itu. Saya mulai marah dan mengatakan dia pembohong.

Saya mengambil tas dan berjalan ke lorong hostel. Ramai sekali. Perempuan-perempuan menggunakan sari. Manik-maniknya bercahaya. Warna-warni. Satu perempuan menggunakan sari yang mencolok berwarna merah. Para pria berpakaian rapi. Celana kain, belt dan kemeja. Ternyata baru saja ada upacara pernikahan yang sederhana. Saya terus saja berjalan mencari hostel.

Tak jauh, akhirnya saya menemukan hostel yang saya cari. Saya meletakkan barang di sebuah sofa dan menuju resepsionis. Dia menyambut saya dengan salam. Kedua telapak tangannya bertemu di depan dada.

“Namaste, “

Saya bertanya, apakah ia mempunyai tamu bernama Inna Hudaya dari Indonesia. Dan saya kaget saat ia mengatakan tidak. Saya memperlihatkan dia alamat yang Inna berikan dan mulai ngotot bahwa Inna menyewa kamar di sini. Inna juga sudah memesan kamar untuk saya. Ia mulai mencari-cari di buku tamunya dan menayakan nama saya. Dan akhirnya meminta maaf karena akhirnya menemukan nama Sartika di sana.

Saya naik ke lantai dua. Inna tinggal di kamar delapan. Saya mengetuk kamarnya. Seorang pria Itali membuka pintu. Rino. Senang sekali bisa bertemu dengannya. Kami bersalaman. Ia menyambut saya dengan ramah. Kami sudah berkenalan sejak tiga tahun yang lalu. Namun hanya melalui telepon. Inna sedang tidur, badannya dibungkus selimut tebal. Saya membangunkannya.

Senang sekali akhirnya bertemu Inna. Kami berpelukan. Lalu saya mengadu bahwa tak ada yang menjemput di bandara. Ternyata Inna juga mengalami hal yang sama ketika tiba di India pada tanggal 20 November. Padahal, Rino telah meminta kepada resepsionis hostel untuk menjemput kami. Menyebalkan.

Saya, Inna dan Rino turun menuju lobi. Kami meminta resepsionis menujukkan kamar saya. Ternyata hostel itu penuh. Mereka memprioritaskan pemesanan online yang dibayar melalui kartu kredit dan membayar uang muka. Mereka akhirnya mencari kamar untuk saya di hostel yang lain. 15 menit kemudian seorang pria datang dan mengatakan bahwa ada kamar kosong di hostel Kuldeep Looge. Kami menuju ke sana. Tak jauh. Hanya sekitar 50 meter.

Tiba di Kuldeep Looge. Resepsionis mengatakan kamar saya berada di lantai dua. Saya dan Inna mengikuti pria yang membawa barang-barang saya. Naik ke tangga dan tiba di lorong-lorong kamar yang kecil. Kami menuju kamar paling ujung. Dari tangga hanya sekitar delapan meter. Pria itu membuka pintu kamar yang bersebelahan denga westafel. Menyalakan lampu dan meletakkan barang. Lalu pergi. Saya dan Inna masuk.

Melewati pintu, ada dua anak tangga. Lantai kamar lebih rendah dari lantai lorong. Ukuran kamar hanya dua kali dua setengah meter. Ada ranjang yang cukup untuk berdua ditutupi seprei etnik khas India. Dua bantal putih dan kotor. Dua meja kecil. Telefon. Televisi dan tiga jendela. Saya membuka jendela yang paling besar. Inna membuka dua jendela kecil lainnya. Tapi percuma, kami menemukan dinding.

Malam itu, saya dan Inna bercerita hingga satu jam. Lalu menyarankan saya istirahat. Ia akan kembali ke kamarnya. Kami membuat kesepakatan, akan bangun pagi dan menuju ke beberapa tempat di New Delhi. Jalan-jalan.

Ah, selamat datang di India.

Tidak ada komentar: