14 Apr 2011

Alfabet Pindah ke Mesjid

Saya baru saja berbaring, masih pukul 12.00. Eko mengirim sebuah pesan terusan ke ponselku. Isinya, “Eko, kalau meman tika berniat mengajar anak2 diBoron sbaiknya di mesjid saja, krn ribut.” Ini adalah pesan dari Daeng Ngeppe. Pemilik rumah kontrakan Eko.

Lumayan kaget juga menerima pesan itu. Tepatnya bingung. Lalu kuputuskan untuk bersiap-siap dan berangkat ke Borong. Saat tiba di sana, seorang bapak bernama Daeng Mille menyapa saya. Dia adalah ayah Daeng Ngeppe.

“Dari tadi pagi anak-anak cari ko mau belajar,” katanya.

Lalu satu-per satu anak-anak Alfabet berlari menuju rumah. Kali ini lebih banyak dari biasanya. Awalnya hanya tujuh, sekarang menjadi 12 orang. Mereka ingin ikut juga belajar di Alfabet. Kebanyakan yang baru saja mendaftar anak yang berusia 6-9 tahun. Mereka berminat belajar membaca. Salah satu anak bernama Desi bertanya berkali-kali apakah sekolah ini harus bayar atau tidak. Berkali-kali pula kujawab,
“Tidak Desi, tidak membayar ji dek,”



Siang itu Alfabet kuliburkan meski ada beberapa anak merasa kecewa. Kujelaskan ke mereka kalau kita tidak bisa belajar di rumah ini lagi. Daeng Ngeppe tidak mengijinkan. Katanya, ribut dan mengganggu tetangga yang lain. Lalu Nisa mengadu. Kata dia, sekitar pukul 10.00, banyak anak yang datang ke rumah Eko mencari saya. Mereka mengetuk pintu keras-keras dan memasukkan tas melalui jendela. Padahal, pintu terkunci karena Eko tak ada di rumah. Daeng Ngeppe melihat dan marah lalu membuka pintu dengan kunci cadangan. Mengembalikan tas anak-anak dan menyuruhnya pulang.

“Pulang mi ko semua, tidak ada ji gurumu,” kata Nisa menirukan ucapan Daeng Ngeppe.

Saya mendengarkan mereka cerita. Setelah selesai lalu bertanya, kenapa mereka datang sangat cepat padahal kelas dimulai siang hari.

“Mau sekali mi ki’ semua belajar K’Tika. Tidak ada dikerja di rumah karena libur,” kata Aqda.

Hari itu memang libur, tanggal 5 Maret peringatan Hari Raya Nyepi. Sabtu siang itu, jumlah anak semakin banyak, kupikir memang saatnya pindah dari rumah kontrakan Eko. Saran dari Daeng Ngeppe untuk pindah ke mesjid boleh juga menjadi pertimbangan. Kata anak-anak, di lantai duanya ada tempat untuk belajar. Biasanya digunakan untuk mengaji pada malam hari.

Setelah menjelaskan ke anak-anak bahwa Alfabet akan pindah belajar, mereka kusarankan untuk pulang. Sayang sekali, kami tak belajar hari itu.

Keesokan harinya, saya datang lebih cepat. Mencari pengelolah mesjid dan meminta ijin. Saya mendatangi sebuah rumah yang berada di depan mesjid, itu rumah Daeng Mille. Tapi, bukan ayah Daeng Ngeppe. Daeng Mille yang satu ini adalah pengelolah mesjid. Tapi, kata istrinya, dia baru saja keluar .

Ternyata, anak-anak melihat saya dan ikut. Seorang laki-laki yang tak muda lagi keluar dari mesjid. Dia menggunakan kopiah hitam, kemeja dan sarung kotak-kotak putih. “Itu sana K’Tika, Pak Haji Hasan. Di dia mi ki’ minta ijin.” teriak Jeni.

Saya mengejarnya tapi dia terus saja berjalan. Rasanya tak sopan jika harus berteriak keras memanggilnya. Aqda, Jeni dan Firda berlari kencang. Memanggil Pak Haji. Wah, dia berhenti juga akhirnya. Saya datang belakangan. Tersenyum dan tubuh dibasahi keringat. Sambil terpongah-pongah, saya meminta ijin menggunakan lantai dua mesjid untuk Alfabet. Menjelaskan tentang Alfabet panjang lebar, dibantu oleh Aqda, Jeni dan Firda yang merengek agar diijinkan. Lalu Pak Haji bilang, “Silahkan. Asal pada waktu salat, anak-anak tidak ribut dan mengganggu orang salat,”

Kuyakinkan laki-laki yang dipanggil Pak Haji itu dengan berkata, “Baiklah, pak! Terimakasih.” Jeni, Aqda dan Firda berlari lagi dan memanggil teman-temannya memasuki mesjid.

“Oh, Jeni, Aqda dan Firda, saya jalan kaki saja yah. Saya tak sanggup lagi berlari,” gumamku.

Tidak ada komentar: