11 Jul 2011

Pernikahan Usia Belia

BAGAIMANA rasanya menikah, hidup berumah tangga di usia yang masih belia. Suami yang tidak tamat Sekolah Menengah Pertama, tak punya pekerjaan tetap dan menjadi buronan polisi. Belum lagi, serumah dengan orang tua dan saudara, saling berbagi kamar dan makanan.

Selviana tahu betul jawabannya. Selvi, masih berusia 14 tahun saat menikah dengan Fahmi, seorang laki-laki asal Galesong, Kabupaten Gowa. Mereka menikah pada 29 November 2010. Fahmi saat ini masih 17 tahun. Mereka pacaran selama tiga bulan. Lalu memutuskan menikah. Daeng Singara, ibu Selvi yang meminta mereka menikah. Dia khawatir jika terjadi sesuatu kepada anaknya sebelum menikah.

Banyak orang tua di Pulau Kodingareng yang khawatir anak perempuan mereka tidak dapat menjaga kepererawanannya. Para orang tua itu tak mau jika suatu saat anak perempuan mereka mengalami kehamilan sebelum menikah.

Namun, Daeng Singara tak hanya menggunakan alasan itu untuk menikahkan anaknya. Selain khawatir, dia juga terbelit masalah ekonomi. Suaminya, Daeng Kaharuddin tidak lagi bekerja. Profesinya sebagai nelayan dia tinggalkan setelah tiga kali tenggelam di laut. Beruntung, karena ia bisa selamat. Walau setelah itu dia hanya duduk saja setiap hari di rumahnya. Anak laki-lakinya juga sama. Tak lagi bekerja. Lumpuh usai menyelam mencari ikan. Keuangan mereka berantakan. Selvi putus sekolah kelas 6 Sekolah Dasar. Setahun kemudian, dinikahkan. Daeng Singara menjadi pedagang kecil-kecilan. Sedikit uang berasal dari kuntungan dagangannya, untuk kebutuhan makan mereka.

Rumah panggung sederhana. Di ruang tamu hanya ada dua lemari saja. Tak ada kursi untuk tamu. Lantai papan dialas terpal plastik motif keramik. Tampak rapi dan bersih. Di sanalah mereka semua tinggal.

Saat disuruh menikah, Selvi tidak pernah protes. Itu sudah biasa. Banyak anak seusianya yang juga imenikah dan putus sekolah. Dia sepertinya tak khawatir. Saat saya tanya apakah dia tahu seperti apa rasanya hidup setelah menikah saat itu, dia tersenyum. “Tidak kak, menikah ja’ saja,” katanya.

Dia tampak murung ketika ditanya tentang sekolah. Tertunduk. Tak ada pengaruh baginya meski sekolah SD dan SMP di sana gratis. Dia tetap putus sekolah.

“Mengerti ja’. Kurang dana. Biar gratis, tapi beli ki baju sekolah, sepatu, tas sama buku-buku,” katanya.

Dia bahkan tak ingat hanya berapa kali mendapatkan menstruasinya ketika akhirnya dinikahkan. Dua hari sebelum menikah, Selvi mendatangi Puskesmas Pembantu yang tersedia di pulau. Atas saran ibunya dia meminta kepada perawat yang bertugas untuk memberinya kontrasepsi. Selvi menggunakan suntik per tiga bulan. “Banyak yang pake’ itu di sini. Apalagi kalau kawin muda biasanya pake’ suntik supaya tidak ada dulu anaknya,” jelas Daeng Singara. “Na bilang dulu dokter, belum pi bede’ siap melahirkan jadi disuruh pake’ suntik.”

Lalu, menstruasi Selvi berhenti empat bulan lamanya. Memasuki bulan Mei 2011 barulah dia mengalami menstruasi. Itu juga setelah disarankan oleh bidan untuk meminum pil KB. Sebagai pancingan, kata bidan. Tapi saat ini, Selvi dan suaminya berencana ingin memiliki anak.

SUATU pagi di rumah Hajah Tati. Ada delapan perempuan yang sedang menikmati kamblas, gorengan yang terbuat dari tepung dan air yang hanya dibumbui bawang merah dan garam secukupnya. Ini makanan favorit orang-orang di pulau. Ada juga teh hangat yang manis. Semanis suasana pagi di sana. Tapi, tidak semanis diskusi kami. Tentang pernikahan usia belia.

Di pulau Kodingareng, hal itu biasa terjadi. “Biar tong ini pulau toh kak, banyak yang hamil di luar nikah. Itu mi na banyak dikasi’ kawin biar masih kecil,” kata Rina.“Ada juga yang baru kodong satu kali mens (menstruasi) na dikasi’ kawin mi,” lanjutnya. Perempuan yang berusia 20 tahun lebih dan belum menikah akan dipertanyakan jodohnya.

Rina saat ini 19 tahun. Cantik, rambutnya hitam dan panjang, suaranya serak. Belum menikah. Hanya memiliki ijazah SD saja. Dia ingin sekali melanjutkan sekolahnya waktu itu. Tapi tak mendapat ijin dari orang tuanya pindah ke Kota Makassar. Pada saat itu belum ada SMP di pulau. Akhirnya putus sekolah. Untunglah belum dinikahkan. Pada Juli 2003, SMP sudah didirikan di sana. Tapi, Rina tak mau sekolah lagi. Dia malu. Setiap hari, hanya membantu ibunya di rumah. Mencuci, memasak dan membersihkan rumah.

Daeng Mutti pagi itu paling bersemangat bercerita. Dia tak setuju dengan pernikahan yang banyak dilakukan di sana. Anak-anak yang belum tahu banyak hal disuruh mengurus suami, katanya. “Tapi tidak bisa ki juga melarang karena anaknya tosseng toh,” tegasnya. Kata dia, bukan hal yang mengejutkan di sini kalau anak usia belia menjadi pengantin perempuan. Entah suaminya sudah tua, dewasa atau juga masih remaja.

“Memang di sini dek, perempuan itu dianggap beban. Dianggap tidak bisa jaga diri. Takut orang tuanya. Nanti ada apa-apanya,” Itu menurut Daeng Mutti, seorang ibu rumah tangga. Tamatan Sekolah Menengah Kejuruan. Kesehariannya menggunakan jilbab besar hingga ke lutut. Ketika berada di luar rumah, kadang ia menutup sebagian wajahnya.

Pukul sembilan lebih, perempuan-perempuan bubar. Aktivitas berganti. Rina dan sepupu-sepupunya sibuk di dapur.

Matahari mulai terasa hangat. Saya menuju kantor kelurahan. Sepi sekali di sana. Hanya ada satu pegawai yang sedang menulis ketentuan zakat, Musdalifah. Teman-teman kerjanya belum datang. Pak lurah sedang berada di kota. Begitu sepi. Ada dua meja yang kosong. Di atasnya ada tumpukan berkas, tak ada komputer di kantor ini. Tak satu pun. Menurut Musdalifah, komputer ada tapi disimpan di rumah salah satu pegawai. “Kalau siang kan tidak ada listrik, malam pi baru menyala na tidak ada orang di kantor kalau malam. Jadi, di taroh di rumah baru malam pi juga di pakai isi-isi data,”katanya.

Suara Musdalifah keras, mungkin terdengar hingga di luar kantor. Dia juga tak setuju dengan pernikahan usia belia. Menurut dia, pernikahan usia belia tidak hanya terjadi karena persoalan ekonomi saja. Dia membeberkan angka keluarga miskin yang menurun di sana yang menerima Subsidi Langsung Tunai (BLT) hanya 641 kepala keluarga lalu turun menjadi 415. Dan pada tahun 2011, turun menjadi 111 dari data penerima Program Keluarga Harapan (PKH) untuk keluarga miskin.

Di pulau Kodingareng, tidak hanya keluarga yang terbelit masalah ekonomi yang menikahkan anak-anaknya di usia yang masih belia. Tapi, juga mereka yang hidup dalam keluarga yang berkecukupan. Hajah Tati misalnya. Ia dan suaminya adalah pedagang. Memiliki beberapa tanah yang tersebar di pulau Kodingareng. Ia menikahkan anak perempuan satu-satunya pada usia 15 tahun. Sekolah untuk anak perempuannya tidak penting baginya. Dia memiliki kekhawatiran yang sama dengan orang tua yang lain di sana.

“Kalau mau diibaratkan dek, ada itu anggapan di sini kalau lebih berharga itu jaga kerbau daripada jaga anak perempuan. Jadi dikawinkan mi kasian daripada bikin malu dibelakang,” kata Musdalifah.

Tapi menurutnya, bagi orang-orang yang tidak setuju dengan pernikahan usia belia tidak bisa berbuat banyak, jika mereka adalah penduduk asli di pulau tersebut. Sikap kekeluargaan menjadi hal utama di sana. Ada perasaan tidak enak jika satu orang tak saling mendukung. Pernikahan usia belia sudah menjadi tradisi di pulau ini. “Para orang tua itu tidak sadar kasian, kalau anaknya mi yang jadi korban. Dikasi’ berenti sekolah. Harus memang ada itu yang sosialisasikan aturan tentang pernikahan. Karena banyak yang tidak paham, jadi curi umur kalau mau kasi’ nikah anaknya.” kata Musdalifah.

BANYAK orang tua mendatangi Abdul Rahman, satu-satunya imam desa dengan mencantumkan usia 20 tahun. Banyak pula yang dinikahkan karena sudah hamil sebelum menikah. Imam desa yang menikahkannya dan mengurus surat nikah di Kantor Urusan Agama (KUA) di Makassar. “Saya tidak pernah menikahkan anak di bawah usia 20 tahun,” katanya.

Rasanya mustahil. Ia adalah satu-satunya imam desa yang selalu menjadi penghulu di pulau kecil ini. Banyak orang di pulau mengakui bahwa ia berbohong. Kami bicara pada malam hari di sebuah kursi bambu di pinggir pantai. Dia tak mau berlama-lama bicara, tamunya sudah menunggu di rumah, katanya.

Kegelisahan Abdul Rahman saat ditanya mengenai pencurian umur terlihat juga di wajah Daeng Tima. Dia telah menikahkan empat anak perempuannya yang masih belia. Dia masih memiliki empat anak perempuan lagi yang belum menikah. Satu diantaranya, baru saja berhenti sekolah saat duduk di kelas dua SMP. Alasannya karena tak memiliki uang. Suaminya bekerja sebagai nelayan yang hanya menggunakan lepa-lepa yakni perahu kecil dengan alat bantu dayung. “Kalau nelayan kecil ji kasian, tidak bisa ki kasi’ makan anak-anak ta. Kalau ada yang lamar mi, di kasi’ kawin mi saja,” katanya. Kebutuhannya sehari-hari banyak dibantu oleh anak-anaknya yang sudah menikah.

Menurut tetangga-tetangga Daeng Tima, empat anak perempuannya yang sudah dinikahkan berusia rata-rata 12 hingga 15 tahun. Terakhir ia menikahkan Kaya’ di usia 12 tahun. Tapi Daeng Tima mengatakan kepada saya itu tidak benar. Semua anaknya menikah saat usianya sudah di atas 17 tahun. Selviana yang mengantar saya menemui Daeng Tima mengatakan bahwa Kaya lebih muda dari usianya.

“Di sini kak, jangan lihat wajahnya orang. Banyak memang yang sudah kelihatan tua, padahal masih anak-anak. Lihat mi itu sana cewe’,” kata Selvi sambil menunjuk seorang perempuan hamil yang menggunakan lipstik merah menyala dan bedak yang tebal. “Masih 15 tahun itu kak,”

Di pulau Kodingareng, hampir semua orang saling mengenal. Luas pulau hanya 8,9 hektar dengan jumlah penduduk 4.273 jiwa. Semua beragama islam. Jarak pulau dari Kota Makassar 15,05 kilometer dengan jarak tempuh sekitar satu jam dengan menggunakan kapal. Di pulau ini terdapat satu SD, satu SMP dan satu SMU yang baru didirikan tiga tahun yang lalu. Ini adalah sekolah swasta, pemiliknya adalah Kepala Sekolah SMP. Murid-muridnya pun masih menumpang belajar di bangunan SMP.

Tingkat pendidikan warga rendah. Menurut data profil Pulau Kodingareng tahun 2010, angka tamatan SMU atau sederajat hanya 75 orang. 41 laki-laki dan 34 perempuan. Sedangkan lulusan Strata Satu hanya 20 orang. Dari 20 orang tersebut, sudah termasuk mereka yang pendatang dan bekerja di pulau Kodingareng menjadi tenaga medis dan guru.

Sayang sekali, pendidikan belum begitu penting di pulau yang kecil, menyenangkan dan ramah ini. Saya hanya butuh tiga hari untuk mengenal puluhan penduduk di sini. Hingga di setiap saya berjalan, banyak yang menyapa dan meminta saya singgah dan mengunjungi rumah mereka. Ikan segar senantiasa siap menanti. Pantai yang indah menyuguhkan air yang jernih dan pasir putih yang halus. Saya menikmati keindahannya.

Malam hari sebelum saya pulang ke Makassar, saya berjalan mengelilingi setengah pulau. Bersama gadis-gadis cantik dan belum menikah. Dua diantaranya berhasil kupengaruhi agar tak menikah muda. Mereka ingin kuliah dan mengambil jurusan Broadcasting. Rasanya tenang. Kami membuat acara perpisahan malam itu dengan membuat siomay. Di tengah acara, seorang gadis mencari saya. Namanya Hadrah, murid kelas tiga SMP di pulau Kodingareng. Kami sudah saling mengenal. Dia adalah Ketua OSIS di sekolahnya. Cantik, kulitnya putih. Saya kaget mendengar ucapannya. Ia akan menikah setelah lebaran nanti. Calon suaminya juga tidak lulus SMP, belum memiliki pekerjaan. Saya membujuknya agar ia menolak. Tapi kemudian sia-sia.

“Ini amanahnya Bapakku sebelum meninggal kak. Bapakku sama bapaknya calonku sudah kaya’ saudara mi jadi na titip suruh jaga ka karena sendiri ja’ bersaudara,” kata Hadrah.

Saya diam dan memikirkan Hadrah, hingga kapal membawa saya menuju Kota Makassar pagi hari.

Tidak ada komentar: