29 Mar 2011

Bersaing dengan Dagangan

Alfabet, nama yang sederhana. Saya tak butuh waktu lama untuk katakan setuju pada Eko saat menyarankan nama itu untuk sekolah ini. Katanya, dari Alfabetlah semua pengetahuan bermula. Saya selesai dengan urusan nama. Saatnya membuat sekolah ini adalah tempat belajar yang menyenangkan. Bukan karena gratis tentunya. Tapi karena kebersamaan.

Pada 22 Februari 2011, saya dan enam anak-anak Alfabet seharusnya belajar bersama. Ini adalah pertemuan yang kedua. Sebelumnya, hanya ada lima anak. Tapi, saat pertemuan berakhir, Eva membawa seorang teman perempuannya. Kata Eva, temannya ingin ikut les gratis. Dengan senang hati kuterima dan memintanya hadir pada pertemuan kedua. Mereka berdua berlari pulang. Saya mendengar tawa bersama suara kaki mereka. Menyenangkan.



Hmm, di pertemuan kedua, pada hari Selasa, saya datang terlambat 15 menit. Kami janjian berkumpul sekitar pukul 15.00. Tak ada satu pun yang datang. Berkali-kali saya mengintip setiap mendengar suara anak-anak di jalan. Ternyata bukan suara anak Alfabet.

Menunggu saja, pikirku. Hingga pukul 16.00 mereka belum juga datang. Kukirim sms ke Eko, mengadu. Sedih juga rasanya.

Saya pulang sekitar pukul 17.00.

Tiba di kamar kost, saya terus berfikir. Ketakutan dan khawatir anak-anak tak mau belajar lagi. Menurut Eko, mereka tak pernah terlihat lagi bermain di sekitar rumah kontrakannya. Entah kenapa. Saya makin tak tenang saja.

Pada Selasa diminggu berikutnya, saya datang ke kontrakan Eko. Rencananya ingin mengunjungi rumah mereka. Bertanya ke pemilik rumah kontrakan Eko, lalu mengantar saya ke rumah Firda. Kata ibu Firda, anaknya keluar sejak tadi pagi.

Saya sempat berfikir bahwa anak-anak tak mau lagi belajar di Alfabet. Tapi, sekitar 30 menit berada di rumah kontrakan, anak-anak datang mencari saya. Ada Firda, Akda, Eva, Jenni dan seorang anak yang baru kukenal bernama Nia. Firda memeluk saya. Lalu kami bercerita. Kutanyakan kenapa mereka tak datang minggu lalu. Banyak juga alasannya, Firda ke rumah neneknya, Akda tidur siang, Eva ke acara nikahan, trus Jenni ada acara Maulid di sekolah. Saya tertawa mendengar mereka bercerita.

Saat kami berkumpul. Seorang anak laki-laki datang membawa dagangannya. Ada Jalangkote, bakwan dan Onde-onde. Anak laki-laki itu dipanggil Ambon karena kulitnya yang hitam. Ambon adalah adik Firda. Ia tertarik ikut Alfabet, tapi karena harus menjual setiap sore, ia bilang masih bingung.

Saat kami diskusi mengenai jadwal bertemu, tiba-tiba Eva bicara. Ini membuat saya sedikit kaget.

“Kak, jangan mi les sore karena jual ka juga Jalangkote,”

Sudah dua hari ini Eva juga membantu tetangganya menjual Jalangkote. Sama dengan Ambon. Mereka berdua berjalan keliling di sekitar Lorong Emas jalan Borong sambil menjinjing kerangjang kue. Menurut mereka, setiap hari bisa dapat uang sekitar empat ribu rupiah. “Untuk uang jajan sama uang sekolah kak,” lanjut Eva.

Saya ingin sekali Eva dan Ambon tak berjualan. Saya ingin mereka menikmati masa kecilnya dengan nyaman. Bermain, belajar dan tak perlu berfikir tentang uang. Usia mereka kupikir belum saatnya untuk bekerja. Tapi, ini mauku. Mereka, orang tuanya mungkin saja tak berpikiran sama denganku. Saya hanya bisa memotivasi mereka agar tak berhenti belajar. Anak-anak Alfabet harus punya mimpi dan cita-cita.

Saya mengajak anak-anak mendiskusikan jadwal belajar setiap minggu. Mencari waktu yang tepat tanpa harus mengganggu aktivitas mereka yang lain di luar Alfabet. Kami sepakat bertemu tiap Sabtu pukul 14.00 dan Minggu pukul 10.00. Jadi, Eva dan Ambon bisa tetap berjualan saat sore.

Tidak ada komentar: