14 Mar 2011

Alfabet

Ini hari yang mengagumkan. Bisakah kau bayangkan ketika impianmu akan segera menghampirimu? Hari ini, 20 Februari 2011, saya melakukan hal-hal yang menyenangkan untuk menyambut sebuah sore.

Eko, teman saya, mengirimkan sms bahwa beberapa anak telah menunggu di tempat tinggalnya. Sebuah rumah kecil yang ia sewa di Jalan Borong Raya.

Lima anak itu datang satu jam lebih awal. Mereka tak sabar ingin belajar dan menikmati kelas pertama mereka. Tentu saja saya merasakan hal yang sama. Jujur, jantung saya berdetak tak seperti biasanya. Kali ini lebih cepat. Saya gugup, mungkin. Walau hanya ingin bertemu lima orang anak yang usianya delapan hingga sepuluh tahun.



Dalam perjalanan, saya belum bisa mendapatkan nama yang cocok untuk sekolah ini. Awalnya, saya berpikir untuk menggunakan nama Lontara’. Lontara' adalah abjad Bugis-Makassar. Tapi, entah kenapa saya belum merasa puas.

Kutinggalkan dulu soal nama. Saya sudah bertemu lima anak yang penuh semangat. Mereka menyambut saya di pintu.

“Ibu Tikaaaaaa...,” sapa mereka.

Saya senyum dan mengajak mereka masuk. Ruangan yang kami gunakan tidak begitu luas. Ukuran 4x4 meter. Belum lagi kardus-kardus yang berisi buku. Membuat ruang semakin sempit.

Saya membuka gulungan kertas pengganti papan tulis. Kubeli seharga dua ribu rupiah. Menempelnya ke dinding dengan selotip pinjaman dari salah satu anak. Lalu mengambil spidol hitam dari dalam ranselku.

Dan, “Halo semuanya? Apa kabarkah kalian hari ini?” tanyaku membuka kelas.

Mereka serentak teriak, “Baik bu Tika,” Aduh, sungguh saya malu dipanggil ibu.

Kami sepakat memulai dengan berkenalan. Satu per satu. Saya memulai. Nama lengkap, nama panggilan, umur, nama orang tua, hobi dan cita-cita. Oh iya, kukatakan juga kepada mereka.

“Kalian tak perlu memanggil saya Ibu Tika. K’Tika saja cukup,” kataku.

Lalu seorang anak menyeletuk, “Iya tawwa anak-anak, supaya tidak kelihatan tua ki’ toh K’Tika?”

Ingin sekali saya tertawa keras.

Perkenalan diri saya selesai, saya akan menunjuk satu anak yang maju selanjutnya. Ini adalah aturannya. Dan, saya menunjuk Eva.

Eva memperkenalkan diri. Suaranya serak dan sangat pelan. Teman-temannya meminta agar Eva membuat suaranya lebih keras. Eva menggunakan kemeja merah dan rok denim pendek abu-abu. Rambutnya kuncir satu. Rapi sekali. Kedua tangannya saling menggenggam di depan. Senyumnya begitu malu. Eva kelas dua SD. Seharusnya dia kelas tiga, tapi tinggal kelas karena belum bisa membaca. Cita-citanya, ingin menjadi dokter.

Selanjutnya, Eva menunjuk Jenni.

Jenni kaget dan belum siap berdiri di depan. Dia sangat malu. Berkali-kali dia menggeleng dan meminta agar yang lain menggantikan. Tapi, teman-temannya tak setuju. Mereka menyemangati Jenni dengan bertepuk tangan dan menyebut nama Jenni berulang-ulang. Jenni akhirnya berani. Walau saat bicara, suaranya hampir tak dapat kami dengar. Tapi dia bisa menyelesaikan tantangannya. Jenni belum lancar membaca. Dia masih terbata-bata. Saat ini dia kelas dua SD. Dia bercita-cita jadi guru.

Jenni menunjuk Nisa.

Nisa sudah bersiap-siap. Dia begitu lincah bicara. Suaranya tak terkesan malu-malu. Nisa kelas empat SD. Tubuhnya paling tinggi. Dia ingin menjadi dokter atau guru. Cepat sekali dia memperkenalkan diri. Selesai lalu menunjuk Akda.

Akda, anak yang paling bersemangat. Wajahnya imut. Suka tertawa. Centil. Suaranya keras. Lincah. Akda paling aktif di dalam kelas. Dia selalu mengacungkan tangan saat diberi pertanyaan. Dia juga tak malu-malu bertanya. Sekarang duduk di kelas 3 SD. Akda bilang, dia suka membaca dan menulis. Cita-citanya ingin menjadi guru.

Yang terakhir adalah Firda. Saat ini kelas empat SD. Firda juga centil. Susah sekali diajak duduk dengan tenang. Dia sangat memperhatikan penampilannya. Selalu saja meminjam syal saya dan menata di leher atau di pinggangnya.

Hanya lima anak. Tapi, kupikir ini awal yang baik. Kuajak mereka diskusi soal nama sekolah kami. Mereka memberi saya beberapa kata, mulai dari mandiri, Inpres dan bahagia. Saya bilang kalau kita akan tetap belajar walau belum menemukan nama yang tepat.

Saya membagikan lima majalah untuk dibaca. Membiarkan mereka memilih bagian apa saja yang ingin mereka baca. Eva menunjuk sebuah cerita yang bergambar komik. Lalu mengeja hurufnya satu per satu. Jenni maju ke depan dan membacanya keras-keras. Yang lain menyimak dan mencatat kata yang salah disebutkan Jenni. Ada tujuh kata. Mereka menyebut satu per satu dan Jenni menulisnya di kertas. Akda membantunya mengeja kata-kata yang salah ia sebutkan.

Saya selalu mendampingi Eva. Membantunya mengeja tiap kata. Saat ia membaca di depan teman-temannya, Nisa membantunya. Mengoreksi setiap kata yang salah.

Di hari pertama ini, mereka juga belajar Bahasa Inggris. Adik saya, Iin Purwanti bersedia mengajar tanpa harus dibayar. Kelasnya jam empat sore. Mereka diajarkan mengenal abjad dan menyebutkannya. Lalu belajar mengenal kosakata.

Mereka bekerja sama. Saling membantu. Ini yang ingin kuajarkan. Tidak hanya bisa membaca, menulis atau berhitung. Tapi bekerja sama, berani bermimpi, punya semangat dan rendah hati. Saya percaya bahwa ketika kita belajar tidak hanya untuk membuat kita pintar atau cerdas, tapi menjadi bijaksana dan rendah hati.

Yah, ini memang impianku. Membuat sekolah gratis. Memimpikan anak-anak yang ada di sekitarku menikmati pengetahuan tanpa harus mengeluarkan uang.

Saya tahu betul, ini akan sulit. Tantangannya jauh lebih banyak.

Kelas kami sekarang pun sangat sederhana. Tak ada fasilitas lain kecuali lima majalah anak yang kusimpan. Atau, kertas dan spidol. Mereka duduk di atas tikar. Tak ada meja saat mereka menulis hingga setelah satu jam kelas berlalu, mereka tak segan mengeluh karena sakit pinggang.

“Sabar nah dek, nanti kalau K’Tika punya uang, kita beli papan tulis dan meja,”

“Kumpul ki saja uang k’, seribu satu orang baru beli ki papan tulis,” kata Jenni.

Saya meminta mereka bersabar. Mereka setuju.

Sebelum kelas berakhir, saya meminta mereka memikirkan satu kata yang menggambarkan suasana hati mereka hari ini. Lalu, menulisnya di kertas. Ada lima kata di sana; senang, gembira, ceria, persahabatan dan baik.

Jam lima sore mereka pulang. Katanya mau ke mesjid, mengaji. Kami akan bertemu hari Selasa, 22 Februari.

Saya dan Iin pulang. Eko sudah pergi sejak dua jam yang lalu. Tapi, sekali lagi dia mengirim sms. Isi smsnya, “Saya sudah dapat nama untuk sekolahnya. Bagaimana kalau Alfabet.”

Saya suka.

Tidak ada komentar: