9 Feb 2011

Orang-orang di Posko Mandiri

Oleh : Sartika Nasmar

ERNI Susanti baru saja mengambil cuti kantornya di Bank BCA Cabang Klaten, Jawa Tengah. Dia berencana akan memanfaatkan liburannya untuk berkunjung ke rumah keluarganya di kota lain. Erni adalah istri Ketua RT 13 Pemukti Baru, Kecamatan Tlogo Prambanan, Klaten.

Akibat erupsi besar Merapi pada Jumat, 5 November 2010. Erni dan warga RT 13 dikagetkan dengan kehadiran ratusan pengungsi yang tiba-tiba saja berkumpul di Gedung Serbaguna Tlogo Prambanan. Mereka dievakuasi dari desa-desa yang jaraknya berada dalam radius 10 hingga 15 kilometer dari Merapi.

Rumah Erni hanya diantarai satu rumah dari gedung serbaguna. Di tengah-tengah adalah milik ibunya.

Dengan cepat, warga RT 13 yang dikomando oleh Rochmat Haryono, suami Erni bergerak untuk tanggap bencana. Erni menjadi Koordinator logistiknya. Warga tak tega melihat kondisi pengungsi. Mereka kemudian menggunakan uang kas RT yang dikumpulkan melalui iuran per bulan jauh sebelum Merapi meletus.



“Warga di sini langsung tanggap dan langsung rapat untuk membantu pengungsi. Ibaratnyakan, kami kedatangan tamu,” kata Erni.

Rencana menghabiskan cutinya pun digunakan menjadi relawan bencana.

“Kami tidak mungkin pergi. Suami sayakan Ketua RT di sini, jadi tidak mungkin meninggalkan RT dalam keadaan begini,” lanjut Erni.

Berbagai cara dilakukan untuk membantu pengungsi. Mulai menghubungi siapa saja yang mereka kenal untuk memberikan donasi kepada pengungsi. Mereka juga mengumpulkan peralatan memasak dan membuat dapur umum di rumah ibu Erni tepat di belakang gedung serbaguna. Uang kas digunakan untuk membeli bahan makanan dan beberapa kebutuhan genting pengungsi.

Ibu-ibu mulai memasak dan bapak-bapak mengumpulkan logistik. Kelompok pemuda juga melakukan pendataan untuk mengetahui jumlah para pengungsi.

Gedung serbaguna penuh, sebagian pengungsi akhirnya tinggal di SMP dan SMK Muhammadiyah. Ada juga yang menumpang di rumah-rumah warga. Tiap rumah ditinggali pengungsi dengan jumlah yang berbeda-beda. Ada yang hanya 10 orang, 22 orang, hingga 120 orang.

Dari pagi, siang dan malam mereka bekerja mengurus kebutuhan pengungsi. Mereka juga menerima berbagai macam bantuan. Uang dan kebutuhan lainnya. Selimut, tikar, perlengkapan mandi dan makanan. Sedikit demi sedikit lalu dibagikan kepada pengungsi.

PENGUNGSI yang tinggal di gedung serbaguna bersyukur telah dilayani dengan ramah oleh warga RT 13. Mereka dijamu dengan hangat dan memenuhi kebutuhan mereka yang tidak sempat dibawa saat evakuasi. Hanya berbekal pakaian seadanya dan uang simpanan.

Setiap keluarga mendapatkan satu tikar sebagai alas untuk tidur. Selimut ke tiap pengungsi untuk bertahan dari dingin. Tak ada sekat berupa dinding antara satu keluarga dengan keluarga yang lain. Tak ada lagi privasi di sana. Mereka semua menyatu dalam sebuah gedung. Laki-laki dan perempuan. Juga yang tua dan yang muda.

Samijo, salah satu pengungsi siang itu tampak bercerita bersama Surtinem, istrinya. Di depannya, ada seorang pemuda. Muh. Sanisi, anak Samijo dan Surtinem. Entah apa yang mereka perbincangkan. Tapi, tak ada senyum apalagi tawa. Tak juga saling manatap. Mata Samijo merah, seperti ada air di sana. Tapi tak menetes.

Mereka bertiga berasal dari Desa Leses, Kecamatan Manesrenggo, Klaten. Jumat pagi mereka menuju ke gedung serbaguna setelah mendengar informasi bahwa desa mereka sudah tak aman. Mereka datang bersama sekitar 50 orang dari desa yang sama. Bau belerang sudah mengepung desanya yang hanya berjarak 20 kilometer dari Merapi.

“Kami takut ada apa-apa. Makanya kami mengungsi saja mencari tempat yang aman. Desa kami sudah tercium sekali bau belerang,” kata Surtinem.

Samijo tak banyak bicara. Saat bicara pun, suaranya hampir tak terdengar.

“Saya sangat bersyukur dan senang sekali bahwa warga di sini menerima kami dan beri kami makan. Mereka membantu meringankan beban kami,” kata Samijo.

Bersama keluarga kecilnya, Samijo akan tinggal sementara di gedung serbaguna hingga desanya aman. Saat ini, Samijo, Surtinem dan anaknya mau tak mau harus menerima gedung serbaguna itu sebagai tempat tinggalnya sementara.

PADA 26 Oktober 2010. Ribuan warga dari Desa Sangup, Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali turun ke Desa Jemowo untuk mendapatkan tempat yang lebih aman. Jarak Sangup memang sangat dekat dari Merapi, hanya lima kilometer hingga abu, bau belerang dan berbagai material yang dikeluarkan Merapi, senantiasa dengan mudah mengancam mereka.

Pengungsi-pengungsi terpecah-pecah ke berbagai titik. Ada yang tinggal di rumah Pak Kades, Sekolah Dasar Karanganyar, SMP dan SD Jemowo.

Ngatimo, Kepala Dusun Sudan dan 25 kawannya yakni perangkat-perangkat desa di Jemowo menjadi relawan untuk para pengungsi. Mereka mengadakan rapat dan mencari cara untuk menyelamatkan pengungsi seperti layaknya menjamu tamu. Tak ada uang, mereka terpaksa meminjam uang kas desa sebesar 1,7 juta rupiah. Itu dengan persetujuan kepala desa Jemowo yang menjadi relawan bersama Ngatimo. Uang pinjaman mereka digunakan untuk memenuhi kebutuhan pengungsi.

“Kami terpaksa pinjam uang. Awalnya itu 1,7 juta. Tapi, lama-kelamaan numpuk jadi 20 juta. Utangnya itu sekitar tanggal 26-31 Oktober,” kata Ngatimo.

Logistik mulai terkumpul dan dibagikan kepada pengungsi. Mereka juga mulai mengelolah posko mereka secara mandiri.

Pada 30 Oktober 2010, sekitar 10.000 warga Jemowo dan Sangup dievakuasi akibat erupsi besar Merapi. Awan pekat dan bau belerang yang telah menyebar menyebabkan warga Desa Jemowo harus diungsikan. Relawan yang awalnya membantu pengungsi akhirnya berubah status menjadi pengungsi. Warga panik dan bingung hingga berlari saling menuntun. Akibat kepanikan tersebut, salah satu warga bernama Niti Painem meninggal. Salah satu relawan mereka pun mengalami patah tulang.

Mereka mengungsi hingga memasuki area Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten yakni di bagian timur Gunung Merapi yang berjarak 14,5 kilometer. Mereka mengungsi di SMP Negeri 3 Jatinom. Pengungsi yang tinggal di sekolah tersebut merupakan pengungsi yang berasal dari Desa Sangup, Desa Jemowo dan Desa Sumur, Kabupaten Boyolali.

Kepala Sekolah SMP 3 Jatinom, H. Warsito menyambut mereka dengan terbuka. Pengungsi diperbolehkan untuk tinggal di 15 kelas, laboratorium, aula dan teras-teras kelas. Saat itu, suasana masih kacau. Hampir semua pengungsi kelaparan. Sejak dievakuasi pada sore hari, mereka baru bisa mendapatkan makanan setelah 24 jam kemudian.

“Waktu itu kami sudah gak kepikiran lapar, yang penting aman dulu,” kata Susilo, salah seorang relawan asal Jemowo.

Relawan Jemowo dan pihak sekolah bersepakat menjadikan sekolah sebagai Posko. Salah satu kelas dijadikan sebagai gudang penyimpanan logistik. Mereka melakukan pendataan pengungsi dibantu oleh 10 orang mahasiswa dari Universitas Gadjah Madha.
Selain itu, mereka menyusun mekanisme pengelolaan logistik yang kemudian berdatangan dari berbagai sumber.

Dipilihlah beberapa orang yang akan mengurus logistik dan pendistribusiannya. Salah satunya adalah Ari, seorang pemuda asal Jemowo. Setiap hari, Ari mengurus disribusi logistik. Jika pengungsi membutuhkan sesuatu, Ari akan menuliskannya di sebuah nota kosong lalu memberi paraf tanda persetujuan. Ada tiga lembar dengan tulisan yang sama. Nota asli warna putih untuk pengungsi yang nantinya akan diserahkan kepada penjaga logistik. Sedang lembar kopian akan diserahkan ke bagian arsip dan pendataan logistik.

Untuk dapat mengakses semua kebutuhan pengungsi, 9 November 2010, para relawan juga menyusun 21 kelompok pengungsi. Masing-masing dipilih ketua kelas yang bertugas untuk mengkoordinasikan kebutuhan pengungsi, tidak hanya di SMP Negeri 3 Jatinom, juga pengungsi yang tinggal sementara di SD Negeri 1 Kayumas.

“Yang pasti, kami mengupayakan keamanan dan kebutuhan dasar pengungsi,” tegas Ari.

DI Posko RT 13 Pemukti Baru, Tlogo Prambanan, Kabupaten Klaten juga memiliki mekanisme distribusi bantuan logistik kepada pengungsi secara rapi. Dari 15 desa yang mereka bantu, masing-masing desa memiliki satu buku yang dipegang oleh bagian administrasi Posko.

“Harus diatur seperti ini, biar bantuan merata. Semua pengungsi dapat,” ujar Erni.

Masing-masing desa memiliki koordinator. 15 koordinator tersebut bertugas untuk mengkoordinasikan kebutuhan pengungsi. 15 koordinator itu pula yang kemudian mengambilkan logistik ke pengelolah dan membagikannya. Saat mengambil logistik, koordinator wajib menulis nama dan bertanda tangan di buku mereka masing-masing sebagai bukti. Mereka juga mendapatkan ID card yang dikalungkan di leher mereka dan mendapat baju seragam.

“Mekanisme itu kami atur dan bicarakan dalam rapat panitia. Sudah di-manage dengan baik,” lanjut Erni.

Beberapa hari terakhir, banyak relawan khususnya ibu-ibu RT 13 kewalahan mengurus dapur umum. Apalagi, Erni juga harus mulai bekerja lagi pada jumat, 12 November. Langkah antisipasi Erni kemudian melibatkan pengungsi khususnya perempuan untuk membantu mereka memasak dan mempersiapkan bahan-bahan makanan. Setiap hari, koordinator tiap desa akan memilih lima perempuan yang bersedia terlibat di dapur umum. Itu dilakukan secara bergantian.

Erni dan warga RT 13 Pemukti Baru mengaku ikhlas membantu pengungsi. Menurut Erni, semua warga bekerja sama dengan baik dan merasa memiliki tanggung jawab demi kemanusiaan. “Buktinya, warga di sini menyumbang apa saja mulai uang, makanan, perlengkapan hingga tenaga,” jelas Erni.

Posko RT 13 dikelolah secara mandiri. Tak ada campur tangan pemerintah setempat. Namun, Erni pernah menerima sumbangan dari staf kecamatan Prambanan berupa tiga handuk, beras 10 kilogram, pakaian dalam satu plastik dan makanan ringan untuk anak-anak satu karung untuk keperluan lebih dari 1.000 orang pengungsi.

Dengan tegas, Erni menuturkan bahwa dalam hal ini pemerintah belum mampu untuk tanggap bencana, padahal sudah ada tim khusus yang mereka susun. Khususnya dalam pendistribusian bantuan kepada pengungsi.

“Tanggap bukan berarti memberikan bantuan berupa barang, menjenguk pun bisa jadi menolong dan membuat mereka merasa dipedulikan,” katanya.

Sedang di Posko SMP 3 Jatinom pun sama. Pemerintah kabupaten Klaten juga sudah pernah menyerahkan bantuan untuk pengungsi berupa 30 sak beras bulog, mi instan dan 1 kotak telur untuk 10.000 orang. Lalu, pemerintah Kabupaten Boyolali menyumbangkan 40 sak beras bulog, mi instan dan air mineral. Serta satu unit mobil Puskesling dan tenaga medis serta obat-obatan.

“Perhatian dari pemerintah sangat minim,” kata Susilo.

Hampir setiap hari ada saja staf pemerintah kabupaten baik Klaten maupun Boyolali yang datang untuk melakukan pendataan di posko ini. Tindak lanjutnya, tidak jelas.
Ngatimo, Susilo dan kawan-kawannya masih terlibat dalam belenggu utang sebanyak 20 juta rupiah. Belum ada uang untuk mengembalikannya. Mereka mengatakan bahwa hal yang terpenting adalah menyelamatkan warga. “Kami tak punya niat lain selain itu,” tegasnya.

Pada 8 November 2010, relawan ini bahkan mengirimkan surat kepada Gubernur Jawa Tengah untuk mempertanyakan nasib mereka dan pengungsi lainnya. Meski logistik yang mereka miliki masih cukup. Namun, proses pemulihan perekonomian setelah Merapi aman akan memakan waktu yang tidak cepat. Bagaimanapun, menurut Ngatimo, warga butuh perhatian dan tanggung jawab dari pemerintah setempat.

Samijo dan keluarganya juga menyimpan harapan untuk pemerintah. Menurutnya, negara punya tanggung jawab besar akan nasib pengungsi. Ia akan tetap tinggal di pengungsian dengan modal bantuan dari Posko RT 13. Ia mengatakan akan menunggu hingga status merapi dikatakan aman untuk bisa pulang ke rumahnya. Meski itu perlahan.

“Yah, mudah-mudahan pemerintah lebih banyak melirik nasib pengungsi,” harap Samijo.

Tidak ada komentar: