18 Okt 2010

Si Ballang Juga Anak Tengah

PEREMPUAN kecil ini dipanggil Ballang atau belang. Itu karena sebuah bekas yang tak hilang hasil siraman air panas yang dulunya lepuh di sebagian tubuhnya. Beruntung, bekas lepuh itu hanya tersisa pada bagian kaki kanan saja. Sedang bagian tubuh lainnya, selamat.

Si Ballang kecil dan keluarganya hidup seadanya. Di rumah panggung itu tak ada listrik, tak ada juga kamar mandi. Mereka sekeluarga menumpang mandi di sumur sebuah kantor yang terletak sekitar 500 meter dari rumahnya. Di belakang rumah banyak rumput tinggi, di sana pulalah mereka membuang tinja. Jika malam dan ketakutan, mereka sekeluarga membuang tinja di atas koran lalu membuangnya.

Ayahnya Pegawai Negeri Sipil yang sederhana. Dialah orang pertama yang mengajari Ballang membaca dan menulis di sebuah meja kayu yang diterangi pelita. Tak heran, jika pagi hari Ballang terbangun, maka kotoran mata dan hidungnya akan menghitam karena asap tebal pelita. Si Ballang dan dua saudara perempuannya senang tertawa saling mengejek.



Si Ballang masuk TK. Adiknya, yang sering diejek si Ateng pun tak mau kalah. Padahal usianya dua tahun lebih muda dari si Ballang. Tapi ia ngotot ingin sekolah. Sedangkan kakaknya si Donggo sudah duduk di kelas dua Sekolah Dasar. Si Ballang tidak suka sekolah. Dia sering pulang lebih cepat sebelum waktunya. Sambil membawa tempat makanannya, ia berlari menuju rumah tanpa peduli panggilan gurunya. Dan si Ateng justru tak pernah membolos.

Setahun kemudian, masuklah si Ballang Sekolah Dasar. Teman-temannya sama, karena memang hanya satu sekolah di sana. Yah, itu di Kecamatan Malangke.

Dia lebih membenci sekolahnya yang ini daripada saat TK. Dia tak suka ikut upacara, tak suka berdiri di antara banyak orang, tak suka berada di luar kelas yang terang dan tak suka berteman dengan Adi dan Andi. Si Ballang menjadi bahan ejekan teman-temannya.

“Eh, lihat ko kakinya. Ada ballangnya. Hahahahaaaa..,”

Mereka menertawai si Ballang. Tak peduli saat upacara atau saat bermain diwaktu istirahat. Setelah mereka mengejeknya, maka yang lain akan tertawa. Tapi si Ballang tak pernah menangis, meski dia merasa tak nyaman karena malu. Tapi ia murung dan tak memiliki banyak teman.

Namun, ada obat yang mampu membuatnya tak menjadi pemurung. Adalah dongeng satu-satunya yang dimiliki ayahnya. Cerita tentang seorang pria yang jatuh dari pohon kelapa hingga akhirnya pincang. Nama pria itu, Faisal. Dia adalah kakak sepupu si Ballang. Ayahnya bercerita setiap kali si Ballang ingin mendengarnya. Dia tak pernah bosan melihat gerakan bibir mungil ayahnya bercerita. Tertawa cekikikan ayahnya usai bercerita. Dan, belaian lembut telapak tangan ayahnya di ubun-ubun kepalanya. Si Ballang pernah meminta ayahnya bercerita yang lain, tapi tetap cerita itu yang terdengar. Hingga dia tak pernah meminta lagi. Si Ballang dan ayahnya begitu bahagia.

Mereka berdua sangat dekat.

Suatu pagi, ayah dan ibu si Ballang bertengkar. Sangat ribut. Kaca lemari pecah, ibu menangis sambil terus bicara. Si Ballang dan dua saudara perempuannya mendengar. Ayah pergi membawa sebuah tas. Lalu menggendong si Ballang dan meninggalkan rumah. Mereka menuju pelabuhan. Lalu berangkat ke Palopo.

Dengan sebuah kapal, berangkatlah ayah dan anak ini dengan bimbang. Si ayah tak pernah bicara sepatah kata pun. Si Ballang tak mau lepas dari pelukan ayahnya. Saat itu ombak besar, kapal yang bermuatan 20 orang itu goyang. Baju-baju penumpang basah, wajah-wajah diterpa air laut. Setiap orang berdoa. 20 menit perjalanan, kapal itu terbalik.

Semua penumpang jatuh ke dalam air. Dengan cepat ayah si Ballang bergerak. Air telah masuk ke dalam perut si Ballang melalui mulut. Mereka terus bersama, kedinginan dan ketakutan. Si Ballang naik di atas pundak ayahnya yang sedang berenang. Ia dapat melihat laut yang luas sambil terus berpegangan kuat. Ombak terus menghantam.

Hingga kapal mengapung, semua penumpang dari yang tua hingga yang muda, perempuan dan laki-laki diselamatkan. Mereka duduk di atas kapal terbalik yang mengapung. Adapula yang memeluk kayu sambil menggoyang-goyangkan kakinya di dalam air.

Jeritan ibu-ibu meminta pertolongan membuat Ballang ketakutan. Tak pernah sekalipun dia lepas dari ayahnya.

“Pak, takut ka,”

“Nda ji nak. Ada bapak,”

Selama satu jam mereka bertahan di laut. Sebuah kapal tua pun lewat dan menyelamatkan mereka. Si Ballang masih dipelukan ayahnya hingga tiba di pelabuhan Palopo. Mereka tak tinggal lama, tapi langsung menuju rumah kakak angkat ayahnya.

Ibu si Ballang mendengar kabar kecelakaan yang dialami suami dan anaknya melalui telepon di rumah dinas Pak Camat. Dia pingsan.

MARIANI selalu menjenguk anaknya di Makassar. Si sulung dan si tengah. Mereka berdua kuliah. Si sulung di Nitro dan si tengah di STIKOM. Si sulung sangat sabar dan si tengah pemarah. Mariani tak pernah marah pada si sulung, karena dia rajin. Dialah yang sering membersihkan kamar yang selalu berantakan karena ulah si tengah.

Sedangkan si tengah, kerap mendapat makian. Dia tak suka menyapu, pakaian kotor menumpuk, tak suka mandi dan penampilannya yang dinilai tak menarik. Si tengah suka kaos oblong, celana jins dan sandal jepit atau sepatu kets. Tak suka high heels, kemeja dan bedak.

“Rantasa’ mentong ko kau. Pake’-pake’ ko itu rok tolo’ supaya tidak kaya’ orang balaki ko diliat. Kenapa ada anak perempuan rantasa’ sekali,”

“Biar mi. Disuka kita’ pake’ begini. Kenapa ki sewotkah? Mau-mauku saya,” jawab si tengah menantang ibunya.

Si tengah tak begitu dekat dengan ibunya. Selain sering dapat marah, dia juga selalu mendapat cubitan kecil di paha. Rasa pedihnya membuat si tengah mengeluarkan air mata. Hampir setiap si tengah bertemu ibunya, mereka akan bertengkar hebat. Selalu saja ada masalah. Kamar yang kotorlah, pakaian kotor yang menumpuklah, penampilan yang rantasa’ atau saat si tengah menyanyi dengan suara yang keras.

“Perempuan kuttu’,” kata ibunya.

Si tengah hanya ketawa. Cuek.

Mariani kewalahan mengurus si tengah sendirian. Apalagi, jika si tengah pergi dari rumah tanpa pamit. Mariani akan menangis membaca surat yang dituliskan si tengah. Maka pergilah si tengah bersama teman-temannya berkemah. Menumpang mobil truk dan menikmati angin dari atas truk. Tak peduli dengan perut yang mual atau bau babi yang ikut menumpang di atas truk.

Pernah sekali Mariani memeluk si tengah. Saat itu, si tengah kelas satu SMU. Seorang laki-laki menelepon Mariani.

“Bu’ anak ta’ sekarang sudah ada di penjara,”

Mariani menjerit seorang diri. Tak ada siapa pun di rumah. Dia kaget bukan kepalang, mengingat masalah si tengah yang baru saja dilapor polisi karena memukul siswi SMP hingga darah di bagian matanya membeku.

“Tidak saya percaya pak. Saya tahu, anakku sekarang ada di sekolah. Jangan ki sembarang bilang nah,” gertak ibunya kepada penelpon.

Mariani menutup telepon dan bergegas ke kantor polisi ditemani om si tengah. Ternyata penelpon itu bohong. Mariani menuju ke sekolah. Si tengah yang sedang menikmati bakwan di kantin tiba-tiba mendapat panggilan ke ruang kepala sekolah. Seorang pria yang dia panggil Mario Bross menjemputnya di kantin. Berjalanlah si tengah di belakang pria tambun pendek dan berkumis tipis itu.

“Kau lagi, kau lagi,” kata Mario Bross.

“Kenapa ka lagi pak?” protes si tengah.

“Ada mama’mu cari ko,”

Tiba di ruang kepala sekolah, Mariani langsung memeluk si tengah. “Oh, kodong anakku. Saya kira di dalam penjara mako. Ada orang telfon ka bilang na ambil ko tadi polisi,” keluh Mariani, khawatir.

Si tengah heran. Dalam hati, dia dendam pada penelfon itu. Mario Bross menggeleng melihat si tengah.

NASRUDDIN menyetir mobil dinasnya menuju rumah Mario Bross. Dengan marah, dia mengetuk pintu lalu mengajak pria tambun itu bicara. Mario Bross menerima Nasruddin ketakutan. Si tengah diam tapi merasa menang mendapat pembelaan dari ayahnya.

“Saya tidak terima pak, anda bilang anak saya sombong dan mengandalkan bapaknya untuk berkelahi. Anak saya berkelahi karena diejek.

Dia marah, makanya memukul. Tidak ada hubungannya dengan bapaknya,” gertak Nasruddin.

“Bukan begitu pak, ini anak ta’ setiap caturwulan pasti berkelahi. Ini keempat kalinya mi,” tegah Mario Bross.

Nasruddin dan Mario Bross bersitegang. Si tengah duduk menunduk. Jam 10 malam, Nasruddin mengajak si tengah pulang setelah Mario Bross minta maaf karena keceplosannya.

Pada caturwulan ke dua, di kelas keduanya di SMU, si tengah dikeluarkan dari sekolah. Empat kali sudah dia berkelahi dengan teman perempuannya. Pertama karena diejek. Kedua karena diejek. Ketiga karena adiknya dipukul. Dan keempat karena diejek.

Nasruddin hanya menggeleng kepala jika mendengar kabar si tengah berkelahi. Bahkan, saat si tengah dikeluarkan dari sekolah, Nasruddin tak marah. Dia hanya meneruskan mencuci motor si tengah dan hanya tertawa kecil sambil berkata, “Jadi, mau ko sekolah dimana?”

“Mau ka masuk sekolah musik pak. Ada di Makassar,” kata si tengah.

“Tidak boleh. Mau ko jadi apa besok-besok?”

Si tengah diam dan meninggalkan Nasruddin.

Hampir satu bulan si tengah tak bersekolah. Hanya di rumah. Omnya yang seorang guru sibuk mencarikan sekolah untuknya. Tapi, tak ada yang menerima si tengah. Kata omnya, sekolahnya full. Setiap pagi, si tengah duduk di teras rumah kecilnya dan bermain gitar. Sesekali ia menggambar tokoh-tokoh kartun.

Hingga, ibunya menyarankan agar si tengah disekolahkan di Pare-pare saja. Di sana banyak yang mengawasinya. Dijamin, dia tak akan berkelahi lagi. Nasruddin menyetujui. Berangkatlah si tengah dengan hati yang tidak ikhlas. Si tengah menangis. Berbekal koper berisi pakaian dan buku-buku, dia berangkat diantar ibunya. Nasruddin yang bekerja dan tinggal di daerah berbeda tidak bisa mengantar.

Sejak si tengah SMP, Nasruddin jarang tinggal di rumah. Kadang, Nasruddin datang seminggu sekali atau dua minggu sekali. Dia tinggal di rumah dinas kecamatan di daerah yang lain. Si tengah tak suka jika ayah kesayangannya tak ada di rumah. Bukan saja karena uang jajannya sedikit. Tapi, tak ada yang menemaninya makan dan menggendongnya saat bangun pagi.

Tapi, Nasruddin juga pernah memukul si tengah. Pertama, karena si tengah bersikeras ikut lomba dance di malam Lebaran. Nasruddin memukulnya dengan kayu ditambah hukuman menjaga burasa’ hingga masak. Kedua, saat menginap di rumah temannya tanpa pamit. Dua saudara perempuannya sering melapor pada Nasruddin. Dapatlah si tengah hadiah pukulan pada paha dengan menggunakan selang.

Sepertinya, keputusan Nasruddin dan istrinya benar telah memindahkan si tengah dari sekolahnya dari Palopo ke Pare-pare. Di rumah tantenya, si tengah tak bisa berkutik. Semua menjadi teratur. Harus sarapan pagi, berangkat dan pulang sekolah dengan becak langganan, makan siang di rumah, tidur siang setelah makan siang dan wajib bangun sebelum jam empat sore, jadwal les sore hari yang membludak, belajar setelah maghrib, matikan lampu dan tidur jam 10 malam hingga tak boleh menerima telfon dari laki-laki siapa pun meski dengan alasan bertanya tentang pekerjaan rumah.

SI Ballang mengenakan kerudung saat pindah ke sekolah yang baru. Dia tak pernah diejek lagi. Tak ada yang tahu kalau di kaki kanannya ada bekas siraman air panas. Dia juga selalu mendapat ranking. Mulai mengenal buku dan senang menulis diari.

Setiap hari, si Ballang menjual majalah di sekolah. Rumah tantenya yang juga sebuah agen berbagai macam majalah remaja dimanfaatkannya mencari uang tambahan. Setiap minggu, dia digaji dua puluh tujuh tibu lima ratus rupiah. Uang si Ballang setiap bulan lumayan banyak, apalagi dengan tambahan uang jajan dari ayahnya seratus lima puluh ribu rupiah setiap bulan.

Tamat SMU, si Ballang mendaftar ke beberapa perguruan tinggi negeri. Tapi tak lulus. Akhirnya mengikuti saran ayahnya masuk ke Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi.

Si Ballang mulai betah di kampus. Dia menemukan hal yang berbeda. Kekeluargaan yang dijalin antar senior dan junior, makan bersama, tertawa bersama dan bernyanyi bersama. Si Ballang juga bergabung ke Unit Kegiatan Mahasiswa Sanggar Seni Karampuang. Dia belajar bermain teater dan pentas beberapa kali.

Di kampus kecil yang menyenangkan itu, si Ballang memilih jurusan Broadcasting. Dia mulai belajar banyak hal. Masuk ke dalamnya dan mulai bercita-cita menjadi wartawan televisi.

Pada tahun 2003, si Ballang pun mengenal seorang laki-laki yang akhirnya menjadi pacarnya. Namanya Eko Rusdianto. Mereka berdua dekat, saat bermain teater bersama. Si Ballang belajar banyak hal dari Eko. Selalu diskusi, jalan-jalan bersama dan memiliki cita-cita yang sama, menjadi wartawan.

Ayah si Ballang, Nasruddin senang saat anak tengahnya diterima bekerja di sebuah media elektronik. Sedangkan, Mariani tidak begitu senang anak tengahnya menjadi wartawan. Dia lebih ingin anak tengahnya yang keras kepala menjadi PNS saja. Sedang Eko selalu mendukung si Ballang menjadi penulis. Dia pernah marah saat tahu bahwa si Ballang bekerja di sebuah LSM. Bahkan, Eko jugalah yang memperkenalkan si Ballang pada sebuah yayasan yang rutin mengadakan Kursus Narasi.

Si Ballang pun menjadi senang menulis. Dengan serius, dia mencari nama yang tepat untuknya sambil bercita-cita bahwa kelak, tulisan-tulisannya akan dibaca banyak orang. Dia ingat bahwa si anak tengah ini, namanya di akte kalahiran berbeda dengan dua saudara perempuannya. Si sulung yang donggo diberi nama lengkap Kartini Nasruddin. Sedangkan si bungsu yang tak suka dipanggil Ateng diberi nama Karmila Nasruddin. Lalu si Ballang hanya diberi nama Sartika.

Saat itu si Ballang berada di Jogja. Berpikir tentang nama dan tentang kedua orang tuanya. “Kenapa disetiap nama anak, selalu diikuti nama ayah saja? Tidak ada nama ibu.” pikir si Ballang. Dia pun mencatat-catat nama. Sampai ia ingat sebuah perbincangannya yang lama bersama Mariani.

“Ma’ apa keinginan ta’?”

“Mau ka punya mobil toh, baru kujadikan angkutan antar kota. Trus, di kaca depannya di bagian atas, kutempeli sticker tulisannya Nasmar,” kata Mariani.

“Apa itu Nasmar ma’?”

“Nasmar itu, singkatannya Nasruddin-Mariani. Jadi, orang tahunya kalau mama’ sama bapak bersatu terus,” lanjut Mariani.

Mengingat perbincangan itu, resmilah si Ballang menambahkan namanya yang dia anggap kurang menjadi Sartika Nasmar.

Pada tahun 2009, Nasruddin meninggal. Sedangkan Mariani tetap mencintai suaminya. Kadang, anak-anaknya bercanda menyuruhnya menikah lagi. Tapi, dia tak mau. “Saya tidak mau mengkhianati bapakmu,” jawabnya tegas.

Sekarang, tidak hanya si Ballang yang anak tengah itu menggunakan Nasmar di belakang namanya. Tapi, si sulung dan si bungsu pun ikut menggunakannya. Mereka tertawa saat si Ballang bercerita kenapa dia menggunakan Nasmar. Tapi, dua saudara perempuannya setuju. Mereka bertiga ingin Nasruddin dan Mariani tetap saling mencintai dan dikenang bersama ketiga anaknya.

Si Ballang yang juga anak tengah itu adalah Sartika Nasmar. Anak dari Nasruddin dan Mariani. Seorang Pegawai Negeri Sipil dan Ibu rumah tangga. Sartika Nasmar adalah saya. Si Ballang yang juga anak tengah.

Toddopuli VII, 02.00 Wita.

Tidak ada komentar: