26 Agu 2010

Seks dan Gender

Oleh : Sartika Nasmar

“Bagaimana anda tahu bahwa anda laki-laki dan anda perempuan. Atau masih ada lagikah selain laki-laki dan perempuan?” kata Dina Listiorini pagi itu, ketika membuka sesi Seks dan Gender di Kedai Hijo WALHI, di Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi hari kedua.

Dina Listiorini adalah pemateri Seks dan Gender di SSKR pagi itu. Dina bekerja sebagai pengajar di Universitas Atmajaya Yogyakarta untuk Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Selain mengajar, Dina juga banyak mengikuti pelatihan-pelatihan mengenai Seksualitas dan Gender di skala lokal, nasional hingga internasional.

Dalam sesi yang dibawakan oleh Dina kali ini, dia membagi 15 peserta ke dalam empat kelompok diskusi. Kelompok pertama ada Indri Susanti, Juju Julianti, Yusak E. Kathi dan Endang Fatmawati. Kelompok dua ada Angga Yudhi, Astutik, Naviratul Karima dan Nurul Hunafah. Kelompok 3 ada Agung Prabowo, Darmayanti, Yemmestri Enita dan Ahmad Suhendra. Kelompok empat ada Syaiful Huda, Fira Khasanah dan Hellatsani.



Melalui LCD, Dina memperlihatkan fotonya bersama suaminya saat di pelaminan. Ada tulisan di sana, sama seperti yang dipertanyakan oleh Dina saat membuka sesi ini.
Setiap kelompok akan mendiskusikan pendapat mereka dalam mengidentifikasi seks dan gender sesuai dengan apa yang mereka pikirkan tentang laki-laki dan perempuan. Masing-masing akan mempresentasikan hasil diskusi mereka.

Lima menit kemudian. Hellatsani memulai dari kelompok empat. Menurutnya, cara membedakan bahwa anda laki-laki dan anda perempuan adalah dengan melihat secara biologis yakni alat kelamin. Jika laki-laki memiliki penis dan perempuan memiliki vagina. Selain itu, dapat juga melihat dari psikis individu serta melalui pengakuan masyarakat dengan faktor-faktor lainnya dari konstruksi sosial.

Hampir sama dengan Hellatsani, Astutik dari kelompok dua mengungkapkan bahwa ketika melihat konstruksi sosial dimana dalam gambar posisi laki-laki memeluk perempuan seolah ada wacana bahwa seorang laki-laki bisa mengayomi seorang perempuan. Selain itu, faktor biologis juga bisa menjadi pembeda dengan melihat anatomi tubuh. Ada pula, atribut-atribut sosial yang digunakan. Tuti mencontohkan, gambar laki-laki yang menggunakan blankon (topi khas Jawa). “Mungkin jika dulu ada laki-laki yang mengenakan konde, sekarang pun bisa jadi masih digunakan. Tapi kan perempuan yang menggunakannya,” katanya.

Sedangkan kelompok tiga yang diwakili oleh Ahmad mengatakan bahwa mereka mengklasifikasikan menjadi dua kategori yakni biologis dan sosial. Secara biologis dengan melihat anatomi tubuh seseorang dan melihat adanya konstruk-konstruk yang dibangun dalam ranah sosial hingga mengakibatkan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Salah satu dampaknya adalah adanya pembagian peran dan tanggung jawab di segala bidang mulai dari politik, ekonomi dan dalam kehidupan
bermasyarakat hingga yang terkecil yakni dalam keluarga.

Yusak, dari kelompok satu lebih singkat mengatakan saat mewakili teman-temannya bahwa anatomi tubuh laki-laki adalah penis dan perempuan adalah vagina. Dari anatomi tersebut seseorang bisa melihat apa yang dia miliki dan mengakui dirinya.
Dina menjelaskan perbedaan antara seks dan gender. Menurutnya, seks mengacu pada perbedaan biologis, anatomis dan biokimia yang kemudian mendefinisikan bahwa setiap orang lahir sebagai laki-laki dan perempuan secara anatomis dan kodrati sejak dia dilahirkan. Misalnya anak lahir dan memiliki vagina dan hormon estrogen maka dikatakan sebagai perempuan atau anak lahir dan memiliki penis serta hormon testosteron maka dikatakan laki-laki. Semua perbedaan akan ditentukan secara medis, fisik dan kodrati.

Namun, ada pula anak yang lahir dengan dua jenis kelamin yakni penis dan vagina secara bersamaan. Interseks atau berkelamin ganda.

Gender mengacu pada pembagian peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan serta dibangun dan dipahami secara sosial. Konsep gender bisa berubah dari waktu ke waktu, bervariasi di setiap tempat tergantung pada budayanya. “Jadi, belum tentu konsep gender di satu daerah dan daerah yang lain itu sama. Sekarang, 10 atau 20 tahun mendatang konsep gender juga bisa mengalami perubahan.”tegas Dina.

Dina memperlihatkan gambar berikutnya. Ada dua gambar. Gambar pertama, Dina berdiri dan di sampingnya seorang waria yang sedang duduk. Lalu gambar kedua, Dina duduk bersama tiga orang waria. Ada pertanyaan di atas gambar tersebut. Apa seks dan gender kami?

Beberapa peserta mengatakan perempuan. Dina membenarkan. Lalu bertanya, Kenapa?
Yusak menjawab, karena prilaku mereka seperti perempuan. Dina tampak belum puas dengan jawaban Yusak. “Tandanya apa?” tanya Dina lagi.

Satu per satu peserta kemudian mengidentifikasi. Mulai dari dandan, berprilaku lembut dan pakaian mereka. Ketika mereka mengakui bahwa identitas gender mereka adalah perempuan, maka ada beberapa fungsi yang tidak bisa mereka lakukan. Misalnya, melahirkan karena anatomi tubuh mereka adalah laki-laki dan tidak memiliki rahim.

Beralih kegambar berikutnya. Ada lima gambar. Gambar pertama, seorang perempuan berkerudung sedang melakukan presentasi. Gambar kedua, seorang laki-laki menggendong anak. Gambar ketiga, seorang perempuan sedang bekerja. Gambar keempat, seorang laki-laki yang sedang memasak. Dan gambar kelima, laki-laki sedang memijat pasangan perempuannya yang sedang bekerja. Lalu ada pertanyaan, adakah yang kurang tepat pada gambar-gambar ini?

Dina meminta peserta mendiskusikan pertanyaan tersebut bersama kelompok dan dipresentasikan. Hanya lima menit. Peserta tampak serius berdiskusi. Saya memotret mereka.

Tiba saatnya presentasi dimulai. Kelompok satu dapat giliran pertama. Menurut mereka, gambar-gambar tersebut belum tepat mengingat sejak dulu patriarki masih selalu ada. Gambar perempuan berada di kantor masih dianggap bukan hal yang wajar. Tapi, dengan adanya pergeseran dan masuknya budaya matriarki, hal ini menjadi sesuatu yang wajar. Jika tidak, ini akan menyentuh isu diskriminasi gender.

Agung mewakili kelompok tiga. Menurutnya, wajar atau tidak tergantung pada penempatan diri seseorang dalam konteks bermasyarakat. Hal tersebut menjadi kurang wajar karena kurangnya pengetahuan seseorang mengenai seks dan gender. Misalnya, gambar laki-laki menggendong anak menjadi kurang tepat karena ini tidak biasa terjadi dan pekerjaan itu lebih banyak dibebankan kepada perempuan. Sama halnya dengan memasak. Sama halnya gambar perempuan yang berada di kantor menjadi tidak tepat karena kebanyakan perempuan berada di dalam rumah.

Selanjutnya kelompok dua. Angga mengatakan bahwa menurut hasil diskusi bersama teman kelompoknya, mereka menyimpulkan bahwa tidak ada masalah dari gambar-gambar tersebut. Hanya, dari sudut pandang mana kita akan melihatnya. Jika dari anggapan tradisional, bisa saja itu tidak tepat. Bagaimana posisi, peran dan tanggung jawab seorang perempuan ada di wilayah domestik. Dan laki-laki, ada di luar. Tapi, untuk masyarakat yang lebih terbuka atau modern, gambar-gambar ini bukan suatu masalah.

Beralih ke kelompok empat. Diwakili oleh Syaiful Huda. Mereka sepakat bahwa gambar-gambar tersebut syah-syah saja dengan alasan menunjukkan kesetaraan. Tapi, sepertinya belum berlaku dimasyarakat karena masih ada diskriminasi dimana peran-peran gender masih terlihat. Itonk –begitu kami menyapanya- mencontohkan sebuah kalimat yang selalu dia dengar bahwa, setinggi-tingginya perempuan sekolah atau dia bekerja, tetap saja ujung-ujungnya kembali ke pekerjaan domestik atau dapur.

Dina memberikan pertanyaan baru, sejauh mana perempuan bisa melakukan pekerjaan di luar rumah ketika mereka sudah menikah? Bagaimana ukurannya? Ataukah ada saat-saat tertentu?

Fira mengatakan, seorang istri yang bekerja di luar rumah selalu diikuti dengan syarat-syarat tertentu meski telah mendapat izin dari suaminya. Misalnya, apapun pekerjaannya, seorang istri harus menyelesaikan pekerjaan domestik terlebih dulu atau saat pulang bekerja. Memasak, mencuci atau menjaga anak-anak. “Saya belum pernah melihat ada pekerja rumah tangga laki-laki,” kata Fira.

Berbeda dengan Fira. Yemmestri Enita menjawab pertanyaan Dina bahwa perempuan bisa bekerja sejauh mungkin. Tanpa ada syarat karena setiap perempuan punya kuasa atas dirinya baik dalam konteks pernikahan atau bukan. “Saya belum menikah. Saya menganggap bahwa pernikahan itu ibarat gitar. Dawainya akan berdiri sendiri-sendiri maka bisa bunyi. Jika dempet-dempet, gak akan bunyi,” katanya. Nita tetap tidak setuju ada syarat yang berkembang dimasyarakat seperti apa yang dikatakan Fira. “Tidak bisa,” tegasnya.

Astutik sepakat bahwa perempuan bisa bekerja sejauh mungkin. Tapi, dia mengatakan bahwa syarat akan tetap ada. Astutik memahaminya sebagai sebuah dukungan dalam rumah maupun dalam hubungan sosial. Artinya, ada akses yang seharusnya dibuka seluas akses yang dibuka kepada laki-laki.

Juju Julianti, juga bicara. Menurutnya, perempuan bisa melakukan pekerjaan di luar rumah seperti sebuah peribahasa yang mengatakan sejauh mata memandang. Juju mengatakan bahwa sebelum menikah harus ada kesepakatan bersama sesuai prinsip masing-masing untuk menyatukan perbedaan dalam hidup berpasangan. Juju menegaskan semua kembali kepada kesadaran masing-masing orang. Misalnya, jika laki-laki sibuk, perempuan membantu. Begitupula sebaliknya. Maka, diskriminasi dapat dihindari.

Diskusi mulai masuk dalam babak yang serius. “Bagaimana pendapat peserta laki-laki?” tanya Dina.

Yusak menanggapi pertanyaan Dina. Menurutnya, setekah menikah nanti dia akan mengizinkan istrinya bekerja selama tidak hamil. Kembali ke kodrat, katanya. Yusak tak ingin istrinya melakukan pekerjaan yang berat saat hamil. Yang kedua, pada saat baru saja melahirkan mengingat kondisi anak yang masih sensitif dan memerlukan seorang ibu jika usia bayi masih beberapa bulan. Tapi, tetap akan ada kerjasama.

Dina merevisi pertanyaannya bahwa pekerjaan yang dimaksud tidak harus dalam konteks di luar rumah, tapi ada pekerjaan yang bisa dilakukan tanpa harus keluar rumah.
Angga merespon. “Sebenarnya sih, biasa saja. Tergantung bagaimana kesepakatan yang dibuat antar pasangan,” Menurutnya, pekerjaan domestik apapun bentuknya dapat dikompromikan antar pasangan. Walau kadang-kadang memang sulit menihilkan pekerjaan domestik dalam keluarga. Mengenai pekerjaan di luar rumah atau pekerjaan yang
dikerjakan di rumah, itu syah-syah saja.

Dina membuka gambar berikutnya. Dua gambar bayi beserta atribut-atributnya. Bayi perempuan pertama menggunakan topi merah muda dan di bawahnya ada gambar boneka Teddy Bear dengan hiasan pita. Lalu ada gambar bayi laki-laki menggunakan baju biru dan gambar Teddy Bear memakai topi dan memegang bola. Lalu ada pertanyaan, adakah yang aneh dengan gambar ini?

Jawaban peserta berbeda. Ada yang menganggap aneh dan biasa saja.

Menurut Yemmestri Enita, warna membuat gambar-gambar itu tampak aneh begitu pula atribut-atributnya. Boneka perempuan dengan pita dan boneka laki-laki dengan bola.
“Ada apa dengan warnanya?” Dina bertanya.

Yusak menjawab, warna merah muda sering diidentikkan lebih feminim. Dina kemudian bertanya mengapa warna-warna itu menjadi aneh.

“Menjadi aneh karena warna tersebut telah dikonstruksi. Misalnya pink untuk perempuan dan biru untuk laki-laki. Padahal, siapa saja bisa menggunakan warna tersebut,” kata Yusak.

Hellatsani berpendapat bahwa gambar-gambar tersebut bukanlah hal yang aneh karena berhubungan dengan kostruksi sosial dimana penyelesaian akan ada di lingkungan sosial pula. Tidak masalah, siapa pun menggunakan pakaian atau atribut dengan warna apa saja. Hanya, perempuan yang akrab disapa Madha ini merasa jengkel jika beberapa kawan perempuannya mengejek kawan laki-lakinya saat menggunakan baju warna merah muda.

“Ih, kamu kok pakai baju warna cewek sih?” kata Madha menirukan ucapan teman-temannya. Peserta tertawa melihat aksi Madha yang menggelikan.

Gambar selanjutnya dari Dina. Ada tujuh gambar anak-anak yang sedang bermain. Ada gambar anak perempuan bermain congklak, bola bekel dan boneka. Sedangkan gambar lainnya anak laki-laki bermain layang-layang, sepak bola dan mobil-mobilan. Dan ada pertanyaan, siapa bermain apa dan dimana?

Fira masih berkutat dengan wacana konstruksi sosial yang terbentuk di lingkungan keluarga. Fira percaya bahwa secara kodrat, mainan apapun tidak memiliki jenis kelamin. Namun, ketika anak masih kecil mereka diberikan permainan sesuai jenis kelamin mereka. Misalnya bola untuk laki-laki dan boneka untuk perempuan hingga pola pikir anak terbentuk sejak itu. Jika laki-laki bermain boneka atau perempuan bermain bola akan terlihat aneh dan muncul ejekan, cemooh atau tertawaan.

Sedangkan Una juga mengungkapkan pendapat yang hampir sama dengan Fira. Permainan-permainan tersebut yang diposisikan berdasarkan jenis kelamin seperti telah menjadi budaya. Menurut Una, apapun permainannya seharusnya sesuai dengan keinginan hati dan bisa membuat anak-anak senang. Tapi, sekarang bola sudah menjadi permainan siapa saja, mau dia perempuan atau laki-laki. Dia menilai hal tersebut terjadi dipengaruhi dengan adanya pergeseran budaya.

Pada umumnya para orang tua akan memilih permainan dengan menyesuaikan jenis kelamin anak-anaknya. Endang Fatmawati menganggap bahwa lingkungan juga berperan penting membangun budaya tersebut. Dia mencontohkan, ketika dia masih kecil, dia akan meniru permainan yang dominan dilakukan oleh laki-laki karena dia lebih banyak bergaul dengan laki-laki.

Darmayanti juga menilai bahwa mainan, pemain hingga wilayah permainan tersebut adalah bentuk yang jelas dari budaya patriarki. Lihat saja, katanya, perempuan akan lebih banyak bermain di wilayah domestik atau dalam rumah sedangkan laki-laki di luar rumah atau biasanya di lapangan dengan posisi yang dideskripsikan sebagai sosok yang kuat dan melindungi.

Ahmad Suhendra menambahkan dengan kesimpulannya bahwa gambar-gambar tersebut menunjukkan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai sudut pandang dan wilayah bermain. Selain adanya tuntutan dari keluarga, juga munculnya kesadaran pribadi yang dipengaruhi oleh kultur sosial secara langsung. Hal tersebut, menurutnya membentuk sebuah perbedaan yang saling bertentangan atau dikotomi hingga kepada perbedaan gender itu sendiri.

Dina membenarkan bahwa jenis kelamin selalu dikaitkan dengan banyak hal, mulai dari warna, permainan hingga kepada wilayah permainan seperti gambar-gambar yang dia tunjukkan.

Selain keluarga, pendidikan di sekolah juga berpengaruh dalam membentuk pola pikir anak sebagai pelestarian kostruksi sosial tersebut. Dina menceritakan pengalaman seorang ibu yang mengeluh atas pelajaran yang ditemukan anaknya di sekolah dasar yang muatan lokalnya adalah Bahasa Jawa. Anak tersebut mendapatkan pekerjaan rumah dari gurunya tentang dolanan kanggo cah wadon (mainan untuk anak perempuan) dan dolanan kanggo cah lanang (mainan untuk anak laki-laki). Kemudian ada pertanyaan seperti ini : Bola bekel kui dohlanan kanggo cah lanang? Ada pilihan yang ditentukan yakni benar atau salah. Artinya, bahkan permainan pun akan diajarkan dengan menyesuaikan jenis kelamin dan itu terjadi di sekolah.

Lalu, media melakukan hal yang sama melalui tayangan-tanyangannya. Lepas dari wacana permainan namun masih dalam konteks gender. Dina mengatakan bahwa di sinetron-sinetron atau iklan patriarki hadir. Dia mencontohkan salah satu iklan sebuah produk susu untuk anak. Yang memerankan sebagai orang tua adalah perempuan atau ibu sementara dalam iklan tersebut mengarah pada sikap dan peran orang tua sebagai orang yang akan memenuhi kebutuhan anak. Dina berpikir, kenapa orang tua yang merawat si anak dan ditonjolkan dalam tayangan tersebut hanya sosok ibu.

“Apakah ini iklan untuk seorang ibu yang berperan sebagai single mother?” pikirnya.

“Tapi, bahasanya menunjukkan orang tua, lalu kemana laki-lakinya?” kata Dina.
Seingatnya, tayangan iklan tersebut pernah diceritakannya saat mengajar di sebuah kelas. Dia bertanya kepada mahasiswa-mahasiswi di kelas tersebut.

“Kemana laki-laki dalam tayangan tersebut? Kenapa hanya perempuan yang berperan sebagai orang tua untuk anak?” tanyanya.

“Laki-lakinya sedang shoting minuman kesehatan di lokasi lain bu’,” kata seorang mahasiswi sambil tertawa. Sebuah lelucon yang menghibur sebagai kritik untuk media.
Selain itu, menurut Dina, agama serta hukum juga selalu mengajarkan kita bagaimana seharusnya menjadi laki-laki dan perempuan. Ada aturan-aturan khusus dimana seorang perempuan dan laki-laki sebaiknya dalam sikap-sikap, peran dan tanggung jawab tertentu.

Pendidikan seks dan gender sebaiknya diberikan sebagai pengetahuan awal kepada anak sesuai dengan tahap-tahapnya. Langkah yang paling awal adalah dengan memberikan pengetahuan mengenai anatomi tubuh dengan kata yang benar khususnya untuk anatomi tertentu yakni penis yang kemudian pada umumnya diganti menjadi “burung”. Hingga akhirnya, setelah anak berkembang dengan bertahap, nama-nama organ-organ seksual dan reproduksi jarang disebutkan dengan benar melainkan diganti dengan simbol-simbol tertentu yang sudah jelas salah.

Butuh perjuangan untuk merombak kembali semua hasil-hasil konstruksi yang mengajarkan banyak mitos-mitos yang berkaitan dengan seksualitas khususnya seks dan gender. Dalam hubungannya dengan relasi antara laki-laki dan perempuan pun bahkan masih ada ketidaksetaraan. Banyak hal yang bisa dilakukan hingga akhirnya posisi tawar perempuan pun sama dengan laki-laki dalam hal apapun. Salah satunya bahwa semua perempuan memiliki keberaniannya meyakini bahwa siapa pun dia, akan memiliki hak yang sama tanpa ada kata ‘tapi’.

Tidak ada komentar: