22 Des 2009

Antara ODHA dan Tenaga Medis

Oleh: Sartika Nasmar

Panggil ia Dedes saja. Seorang perempuan dengan status ODHA atau orang yang hidup dengan HIV dan AIDS. Dengan suara yang tinggi, dia mengungkapkan kebenciannya terhadap dokter-dokter yang pernah merawatnya saat ia melakukan proses persalinan di salah satu rumah sakit di Kota Makassar.

Ia dipaksa tutup kandungan oleh dokter dengan alasan untuk memutus mata rantai penyebaran virus HIV ke anak. Dedes bersikeras mengatakan tidak. Alasannya kuat, odha perempuan hamil bisa memanfaatkan Program Preventing Mother-to-Child Treatment (PMTCT) yang bisa diakses di beberapa rumah sakit dan puskesmas serta lembaga penggiat peduli HIV dan AIDS. PMTCT merupakan salah satu program yang dikhususkan untuk ODHA perempuan yang mengalami kehamilan dengan tujuan untuk mencegah penularan virus HIV dari ibu ke anak.



Dedes, telah mengikuti program tersebut di kehamilan keduanya ini. Ia aktif untuk terapi sambil terus didampingi oleh salah satu aktivis peduli HIV dan AIDS di salah satu LSM sejak usia kehamilannya tujuh bulan.

Dedes belum punya pengetahuan yang cukup mengenai HIV dan AIDS saat itu. Dia baru saja melahirkan dengan operasi cesar pada 2007 lalu. Dalam keadaan sakit dan tidak berdaya, satu per satu dokter masuk ke dalam ruangan tempat Dedes dirawat.

“Ibu, anda kan sudah positif HIV. Sebaiknya tutup kandungan saja supaya virus tidak menular ke anak.” kata seorang Dokter.

“Kalau saya masih mau punya anak dok, bagaimana. Lagian saya kan ikut program PMTCT.” jawab Dedes.

Satu per satu dokter tersebut kemudian ditolak Dedes. Ternyata, Dokter tidak menyerah. Mereka kemudian melakukan pendekatan dengan keluarga Dedes. Dimulai dari suami hingga orang tua Dedes. Suami Dedes yang juga seorang ODHA menolak. Ibunya yang notabene tak mengerti mengenai HIV dan AIDS akhirnya berhasil tergiur oleh permintaan dokter. Ibu Dedes lalu membujuk Dedes. Dedes pun tak berdaya, ia melakukan operasi tutup kandungan.

“Sampai sekarang, saya sakit hati sama dokter. Mereka berhasil bujuk mama’ku. Saya tidak sanggup sekali tolak permintaannya mama’ku karna dia tidak tahu apa-apa. Hak Asasiku sebagai perempuan seperti dicabut sama dokter.” kata Dedes.

Dengan suara parau, ia menceritakan ketika ia marah kepada ibunya. Hampir sering ia lakukan jika mengingat bujukan-bujukan ibunya untuk melakukan operasi itu. “Padahal ibuku tidak salah, sadar ka ini salahnya dokter. Mama’ku pikir kalau saya tutup kandungan, saya bisa sembuh dari HIV.” katanya.

Menurut Dedes, saran penutupan kandungan bagi ODHA perempuan hamil tersebut masih berlanjut hingga sekarang. Bahkan, sering sekali terjadi dokter kemudian mengambil keputusan secara sepihak.
Pengalaman yang dianggap Dedes buruk itu kemudian membawanya untuk bekerja sebagai pendamping khusus di untuk ODHA perempuan hamil. Membantu ODHA lain tetap kuat dan mempertahankan Hak Reproduksinya. Dedes berharap tak ada lagi ODHA perempuan yang mengalami sakit hatinya.

DEDES berhasil membuktikan bahwa anak yang ia lahirkan tersebut tidak tertular HIV. Bulan lalu, ketika usia anaknya 2 tahun 3 bulan. Ia membawa anaknya untuk tes HIV. Hasilnya non-reaktif. Dedes bersyukur, keluarganya punya penerus, yakni anak keduanya.

Suami Dedes dan anak pertamanya yang berusia 6 tahun juga adalah ODHA. Anaknya lahir jauh sebelum ia melakukan tes HIV. “Rasanya dunia hancur. Lebih sakit saya rasa waktu tahu anakku reaktif. Ini salahku. Sekarang saya jaga dan perhatikan sekali anakku.” tuturnya.

Anak pertama Dedes sudah sekolah di sebuah Taman Kanak-kanak. Hampir setiap minggu, anaknya sakit. Dia rajin memberikannya vitamin, hanya itu. namun, jika tak konsumsi vitamin, anaknya akan lemas. Ia ragu untuk memberikan obat hasil racikan dari obat ODHA dewasa dari dokter. Takut anaknya tidak cocok.

Awalnya, status Dedes sebagai ODHA ketahuan melalui program PMTCT yang ia ikuti di Puskesmas dekat rumahnya. Saat itu usia kandungannya masih 3 bulan. Seseorang memberinya undangan, untuk hadir dalam sosialisasi yang dilaksanakan salah satu LSM. Dulu, Dedes pecandu narkoba, jadi setelah mendapatkan sosialisasi HIV dan AIDS dari pemateri, ia kemudian tertarik melakukan pemeriksaan darah lewat VCT. Ia sadar pernah berprilaku beresiko. Satu minggu kemudian hasilnya keluar.

Dedes dijemput untuk menerima hasilnya. “Saya heran, kenapa ini kader kejar-kejar ka terus. Saya harus tarima hasilku.” Dedes melakukan konseling.

“Seandainya ibu betul-betul terinfeksi HIV,” kata konselor. Dedes ketakutan. Ia kembali sadar pernah melakukan hal-hal yang beresiko. Tapi, di lubuk hatinya masih menyakini kata tidak karena saat itu, Dedes telah berhenti selama enam tahun.

Konselor membuka hasilnya. “Ibu, hasilnya reaktif.”

“Apa itu artinya reaktif?” tanya Dedes.

“Ibu HIV positif.”

“Edede.., “ keluhnya.

Dedes shock, lalu menghabiskan lima batang rokok tanpa mengingat bahwa ia hamil tiga bulan. “Padahal sudah berhenti ma’ merokok nah waktu itu.” katanya.

Dedes terus menangis dan pulang ke orang tuanya. Sulit sekali ia berterus terang saat itu. dipikirannya, esok ia akan meninggal. Perlahan-lahan ia mengatakannya.

“Ma’ ada sakitku, mungkin mau ma mati.”kata Dedes.

“Sakit apa ko nak.” Jawab ibu Dedes, heran.

“Saya terjangkit HIV ma’ yang tidak ada obatnya.” Kata Dedes sambil terus menangis.

Orang tua Dedes kaget. Awalnya, mereka tak mau menerima, namun akhirnya pasrah dan membantu Dedes dengan dukungan.

“Weh, na tarima ka orang tuaku, senangku kurasa. Dari orang tuaku kasi’ka semangat sampai saya seperti sekarang.” tutur Dedes. Suaranya semakin keras dan penuh semangat.

DEDES mulai keluar masuk rumah sakit dan melakukan pendampingan dengan ODHA perempuan hamil. Dia bekerja untuk sebuah LSM. Pengetahuannya tentang HIV dan AIDS telah membawanya sebagai seorang pekerja. Ia mengikuti berbagai macam pelatihan dan aktif dalam Kelompok Dukungan Sebaya (KDS).

“Sulit menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA.” lanjut Dedes. Di rumah sakit, ruangan yang disiapkan untuk ruang rawat ODHA sangat diskriminatif. Mulai dari lokasinya yang seolah-olah dikucilkan hingga pelayanan perawat. Padahal, mereka adalah orang-orang yang seharusnya memahami posisi ODHA dan sudah cukup punya pengetahuan tentang HIV dan AIDS.

Lain Dedes, lain pula pengalaman perawat. “Stigma dan diskriminasi dari dokter atau perawat tidak hanya dialami pasien ODHA saja, tapi kami juga mengalaminya.” kata seorang perawat. Sebut saja Suster Rima, Salah satu perawat pasien HIV dan AIDS di sebuah rumah sakit di Makassar.

Menurut Suster Rima, semua perawat memang seharusnya sudah mengetahui dan memahami mengenai HIV dan AIDS. Tapi, cara mereka memberikan pelayanan berbeda-beda.

Suster Rima bercerita. Pernah suatu kali, ruang rawat khusus ODHA penuh. Sebenarnya, salah satu tempat tidur masih kosong, namun belum bisa digunakan karena sedang disterilkan. Baru saja ada ODHA yang meninggal. Seorang perawat umum menelfonnya agar pasien tersebut segera dipindahkan ke ruangan khusus. Perawat itu tak ingin mengerti lalu memindahkan pasien tersebut malam hari. Saat pagi, suster Rima mencari pasien itu ke ruangannya. Ternyata, ia dipindahkan ke ruang khusus ODHA dan dibiarkan tidur di atas papan ranjang tanpa kasur.

“Saya marah sekali, sakit sekali hatiku. Kasihan sekali ka lihat ibunya pasienku menangis terus. Sampai hati sekali mereka biarkan pasien seperti itu.” kata Suster Rima.

Suster Rima terus menggeleng sambil mengingat-ingat kejadian-kejadian yang dialami oleh pasiennya di rumah sakit. Bahkan, menurut Suster Rima, untuk mengakses fasilitas di rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan, pasien ODHA akan diperiksa diurutan terakhir.

“Dibelakang pi itu karena HIV, nanti ada apa-apanya.” kata petugas laboratorium, saat suster Rima
membawa salah satu pasien melakukan foto rontgen.

Saat program VCT dan CST (Care, Support and Treatment) untuk HIV dan AIDS baru saja dibuka di rumah sakit tersebut, suster Rima sangat merasakan stigma dari perawat lain. Saat ia berjalan di lokasi rumah sakit pun, ia selalu mendengarkan perawat lain bergunjing atau berteriak memanggilnya dengan sebutan suster HIV.

“Saya nda peduli ji. Saya sudah bikin komitmen berbakti sama pasien HIV sampai habis masa pensiunku.” kata Suster Rima, sambil senyum meyakinkan saya.

Suster Rima bahagia dengan tugasnya. Perlu jiwa besar dan sosial yang tinggi melakukannya. Ini pekerjaan kemanusiaan, menurutnya. “Insyaallah pahalanya besar.” katanya, yakin. Kebahagian terbesar yang Suster Rima rasakan ketika melihat pasiennya pulang dalam keadaan membaik.

“Yang paling penting adalah dukungan dan konseling buat mereka. Jika stigma bisa dikurangi, keluarga, teman-teman dan tenaga medis bisa beri dukungan. Insyaallah, pasien bisa bertahan hidup lebih lama.” harap Suster Rima.

Catatan: Tulisan ini hasil revisi dari feature saya yang dimuat di Harian Seputar Indonesia edisi Senin, 21 Desember 2009.

1 komentar:

indobe mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.