16 Nov 2009

Dari Silsilah Menuju Gender dan Seksualitas

Oleh: Sartika Nasmar

19 Juli 2009. Saya menuju ke sebuah rumah makan untuk menghadiri sebuah pelatihan seksualitas. Sebelumnya, Pino, seorang teman yang bekerja di Koalisi Perempuan Indonesia wilayah Suawesi Selatan memberi info mengenai pelatihan tersebut.
Saya datang terlambat pagi itu. Lebih dari 20 orang sedang santai menikmati kopi susu dan pisang goreng tepung. Semua peserta perempuan. Kebanyakan dari mereka berpenampilan seperti laki-laki.

Ini adalah PELATIHAN SEKSUALITAS, GENDER DAN HAM Komunitas Perempuan Serumpun (KIPAS). KIPAS adalah komunitas LBT (Lesbian, Biseksual, dan Transgender) di Makassar. Mereka adalah kelompok kegiatan dampingan Koalisi Perempuan Indonesia wilayah Sulawesi Selatan. Anggotanya cukup banyak, lebih dari 80 perempuan.
Pino berdiri di depan peserta. Ia adalah orang yang menyampaikan materi pada pelatihan tersebut. Semua peserta sudah saling kenal sebelumnya, kecuali saya. Ini adalah pelatihan pertama dalam komunitas ini. Kebanyakan yang ikut adalah lesbian hunter atau butchie, yakni lesbian yang berpenampilan seperti laki-laki pada umumnya.

Saatnya belajar. Pino tidak segan-segan memberikan dua tugas. Pertama, memetakan silsilah keluarga dari garis perempuan saja. “Hanya perempuan, kita tidak menerima laki-laki di sini,” kata Pino, berulang-ulang. Kedua, menemukan bentuk ketidakadilan yang dialami keluarga perempuan kita dalam silsilah tersebut. Pino sedikit bersabar menjelaskan tugas yang ia berikan, banyak pertanyaan dari peserta. Saya mulai menulis, mencoret, mengingat-ingat nama, dan mengeluh karena lupa nama sepupu, tante dan saudari nenek. Peserta lainnya juga sibuk sepertiku. Bedanya, mereka mencoba mengingat nama keluarga mereka dengan bertanya ke peserta lain yang bukan keluarga. Lalu akan ditertawakan oleh peserta lain. Nurmi, salah seorang peserta saya dapati kebingungan.

Ia kedapatan mengaktivkan handphone. Mulai menekan-nekan tombol. Lalu menunggu dan menyapa ibunya setelah mendengar suara. Saya tidak mendengar jelas percakapan mereka. Nurmi hanya melirikku dan memberi kode agar saya tidak memberitahu peserta lain. Ia takut ditertawakan.

“Sudah ki telfon mace ta’? tanyaku.

“Iye’. Sa lupa namanya sepupuku bela. Huss, jangan ki bilang-bilang sayang nah.” katanya, sedikit berbisik. Saya hanya tersenyum. Ingin rasanya tertawa terbahak-bahak melihat tingkah Nurmi.

Tugas selesai. Pino memerintahkan peserta mempresentasikan pekerjaan masing-masing. Peserta saling tunjuk dengan ejekan dan pujian. Lalu satu persatu berdiri dan membaca tugas mereka. Membaca silsilah mulai dari yang tertua hingga yang termuda. Lalu mengungkapkan ketidakadilan yang ada dalam keluarga mereka. Mulai dari poligami, tidak boleh melanjutkan sekolah, tidak dapat hak waris hingga trauma paska perceraian orang tua atau trauma karena perselingkuhan ayahnya. Semua tampak serius mendengarkan. Entah apa yang mereka pikirkan. Pino mencatat di kertas yang tertempel pada white board. Semua peserta mengungkapkan ada poligami dalam keluarga mereka, itu dialami oleh nenek, ibu hingga tante mereka. Bahkan, salah seorang kakek peserta mempunyai istri sebanyak 42 orang. Banyak juga di antara mereka tidak melanjutkan sekolah karena orang tua mereka lebih memprioritaskan anak laki-laki untuk mendapat pendidikan yang tinggi atau barang kesukaan.

Pukul 12.00 Wita. Pino memberikan peserta tugas sambil menikmati makan siang. Peserta dibagi menjadi empat kelompok. Pino menyuruh tiap kelompok untuk menuliskan kesan dan menganalisa alasan mengapa mereka harus membuat silsilah keluarga hanya dari pihak perempuan saja. Waktu peserta hanya 90 menit untuk mengerjakan tugas dan menyelesaikan makan siang. Peserta tersebar di beberapa tempat tergantung kenyamanan mereka. Lebih banyak yang mengerjakan tugasnya di lantai. Ada yang sambil merokok hingga melepas sepatunya dan berdiskusi bersama.

Waktu telah habis, masing-masing kelompok presentasikan hasil kerjasama mereka. Setiap kelompok sepakat bahwa perempuan adalah sosok dimana perannya masih dinomor duakan dalam lingkungan keluarga. Ketidakadilan masih berjalan dan hak-hak yang seharusnya juga dimiliki oleh kaum perempuan masih terkendali dan dipegang oleh pihak laki-laki. Ketidakadilan ini nampak dari silsilah keturunan nenek atau buyut mereka hingga pada diri mereka sendiri. Salah satu kelompok mengaku terharu karena dengan begitu mudahnya ketidakadilan itu terjadi dan terus berlanjut seiring dengan waktu.

Nasma, peserta yang melakukan presentasi mewakili kelompok satu merasa lega. Mereka bisa berbagi bersama peserta yang lain. Ini adalah kali pertama mereka dengan terbuka berbicara mengenai masalah-masalah dalam keluarga mereka. Menambah kekuatan dan memulai hidup tanpa diskriminasi.

“Teman-teman, dari semua yang anda sampaikan, dapat saya simpulkan bahwa tidak satu pun dari anda yang mengatakan bahwa silsilah keluarga itu tidak penting.
“Menurut anda, apakah orang tua anda lebih banyak mengungkit prestasi perempuan atau laki-laki?” Pino kembali melempar pertanyaan kepada peserta.

“Kebanyakan laki-laki kak,” jawab beberapa peserta. Ada yang mengangguk, saling balas pandang, bengong atau hanya tersenyum saja.

Pada sesi kedua, diskusi menjadi semakin menarik. Pino berbicara soal gender dan konstruksi sosial. Ia tetap melibatkan peserta untuk lebih interaktif dan punya inisisatif untuk berpikir terkait materi.

“Apa yang membuat teman-teman merasa sebagai perempuan?” tanya Pino. Peserta menjawab satu per satu dengan lantang.

“Karena punya ini’e,”kata salah satu peserta sambil mengarahkan tanganya ke vagina.

“Karena punya tete’ (payudara),”

“Karena berbeda secara biologis,”

Pino kemudian membagikan kertas dan menyuruh peserta menulis jawaban mereka. Hasilnya bermacam-macam, mulai dari perbedaan biologis, hal-hal yang umum dilakukan perempuan hingga menyinggung kodrat. Pino membagi tiga jawaban peserta dan menulisnya di white board. Pertama, menyatukan jawaban yang berkaitan dengan biologis dan menambahkan perbedaan-perbedaan susunan biologis antara laki-laki dan perempuan. Kedua, jawaban yang berkaitan dengan perasaan dan kesukaan. Seperti, suka memasak, suka bunga, butuh kasih sayang, ingin menikah tapi takut hamil hingga ketakutan tidur dengan laki-laki. Ketiga, Pino memisahkan jawaban yang menyinggung tentang kodrat. Hanya satu jawaban, yaitu takut melawan kodrat.

“Saya sengaja pisahkan yah, biar kita bisa bahas satu-satu,” jelas Pino.

“Mau ka tanya, apa maksudnya ini, mau menikah tapi takut hamil?” tanya Pino.

“Malu-maluin kak sebagai hunter.” jawab salah seorang peserta. Peserta yang lain kemudian tertawa dan berteriak.

Pino tersenyum dan mulai menjelaskan materinya sambil sesekali menulis di white board. “Perasaan apa lagi yang kalian rasakan dan bikin kalian merasa seperti perempuan?” Pino lagi-lagi bertanya memasuki pikiran peserta agar mendapat jawaban-jawaban lain. Tidak ada jawaban yang baru, hampir semua peserta mengatakan hal yang telah mereka tuliskan. Pino kemudian memberikan contoh. Saat ia kecil, Pino bisa dengan leluasa membuka baju dan telanjang dada di hadapan banyak orang tanpa rasa malu. Namun perlahan-lahan, seiring waktu ada perasaan dimana ada batasan yang harus ia pikirkan sebelum melakukan sesuatu, misalnya membuka baju. Perempuan tidak bisa leluasa membuka pakaiannya sama seperti yang dilakukan oleh laki-laki ketika sudah beranjak remaja. Peserta mengangguk seolah setuju dengan pendapat Pino.

Pino kemudian melanjutkan penjelasannya mengenai kodrat dan menghubungkannya dalam konsep penciptaan. Ada hukum yang bermain mengelilingi kodrat. Hukum alam dan hukum sosial. Hukum alam adalah sesuatu yang pasti, dimana ada kematian atau kehidupan, diciptakan oleh Tuhan. Ada hal-hal yang tidak bisa digugat. Sedangkan hukum sosial adalah hukum yang diciptakan oleh masyarakat dan dikonstruksi sedemikian rupa demi sebuah kepentingan.

Konstruksi sosial yang diciptakan masyarakat sangat mempengaruhi pola pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Mereka memisahkan dua peran dan memberikan nilai, ada plus dan minus. Hampir semua benda mempunyai jenis kelamin. Misalnya, warna. Pink identik dengan perempuan dan hitam diidentikkan dengan warna laki-laki. Dalam pembagian peran, laki-laki dikonstruksi sebagai kepala rumah tangga sekaligus pencari nafkah dan berada di wilayah publik sedangkan perempuan dikonstruksi sebagai ibu rumah tangga dimana wilayah kerjanya di dapur.

Pino kemudian membagikan lagi kertas dan memberikan tugas mengenai apa penilaian masyarakat terhadap penampilan peserta yang mirip seperti penampilan laki-laki pada umumnya. Macam-macam jawaban yang tertulis. Balaki (tomboy), perempuan jadi-jadian, pembangkang, kagum karena bisa bekerja dalam dua peran, aneh dan pembawa sial. Ada nilai di dalamnya. Plus dan minus.

***

Hari kedua pelatihan, beberapa peserta me-review materi hari sebelumnya. Lalu, Pino bersiap-siap dengan materinya di depan peserta. “Gender diciptakan oleh masyarakat seperti halnya warna, peran atau lainnya,” kata Pino. Ia mengajak peserta untuk menganalisa aktivitas para peserta bersama pasangannya selama 24 jam. Ia membedakan pembagian peran dalam hubungan lesbian dimana ada pengkotakan sebagai hunter (butchie) dan lines (femm) sesuai pengalaman peserta bersama pasangannya. Satu persatu mulai menjawab meski masih terlihat malu dan tertutup.

Beberapa peserta yang berperan sebagai hunter mengaku bekerja di luar rumah dan femmnya berada di rumah ketika ia bekerja. Ada juga yang membagi pekerjaan dalam rumah seperti mencuci pakaian, baju, menyetrika dan lain-lain. Nasma, peserta yang berperan sebagai hunter mengaku bahwa ia akan marah jika pasangannya pergi tanpa ijin. Ia akan mengontrol keberadaan pasangannya. Peserta yang lain menyetujui.

“Soalnya kita khawatir kalau ada apa-apa terjadi kak sama pasangan ta’,” kata Imel, meyakinkan Pino.

Ratna, seorang peserta kemudian mengomentari mengenai pembagian peran dalam hubungan lesbian dalam komunitasnya. Ia bercerita saat mengajak beberapa teman-teman berkumpul di posko komunitas mereka. Ia berteriak dan menyarankan para hunter agar mengajak pasangannya (femm) ikut berkumpul dan diskusi bersama. Namun, beberapa dari hunter menjawab bahwa lines sebaiknya berada di rumah saja.

Secara tidak sadar, masih banyak pasangan lesbian mengkotak-kotakkan posisi sebagai orang yang lebih kuat dan tidak kuat. Ketika kita merasa lebih kuat, ada kecenderungan seseorang meminta pelayanan khusus, memberi perlindungan, mengatasi rasa takut pasangan atau mengontrol aktivitas pasangan. Pino mencoba menganalisa dan menanyakan kembali kepada peserta. Beberapa peserta hanya mengangguk dan menunggu penjelasan dari Pino. Sama halnya pada hubungan pasangan heteroseksual, ada pembagian peran di dalamnya antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki akan dimaknai sebagai posisi paling kuat dan perempuan dimaknai posisi tidak kuat. Ada indikasi bahwa pola hubungan pasangan heteroseksual diadopsi pada hubungan homoseksual.

“Kemarin teman-teman mengatakan bahwa perempuan masih dinomor duakan dalam keluarga.
Jika teman-teman mengadopsi cara pasangan hetero dimana ada ketidakadilan di dalamnya bukankah anda juga sudah melakukan ketidakadilan pada pasangan anda yang juga perempuan?” tanya Pino.

Pada sesi lain, Pino mengajak semua peserta bernyanyi. Sebuah lagu lama yang telah ia ubah sebagian liriknya dengan kata anu.

Teringat pada suatu anu.
Kuberjalan-jalan di muka anumu.
Rasa bergetar, dalam anuku.
Ingin kuberanu.
Sekilas nampaklah engkau di balik anu.
Tersenyum dikau menusuk anuku.
Apa daya sejak saat itu.
Anuku terganggu di setiap waktu.
Rasa bergetar, dalam anuku.
Ingin ku beranu.

Semua tertawa terbahak-bahak ketika menyanyikan lagu itu. Anu adalah bahan utama kelucuan. “Apa yang pertama kali anda pikirkan ketika menyanyikan lagu itu?” tanya Pino.

“Itu kak, yang di bawah pusar,” kata Anjas, salah satu peserta. Bercinta, vagina, diraba, pelukan, french kiss, dll. Bermacam-macam jawaban peserta yang terdengar.

Mereka terlihat geli saat harus menyebut kata-kata yang berhubungan dengan seks. Pino mengajak peserta membahas pengasosiasian anu dalam kehidupan sosial. Dari dulu, anu sering diasosiasikan masyarakat sebagai pengganti kata untuk menyebutkan alat kelamin atau sesuatu yang berhubungan dengan seks. Sehingga ketika menyebut anu, pikiran secara otomatis akan mengarah ke perihal terkait seks, padahal anu bisa saja diartikan macam-macam.

Setelah makan siang, Pino mengajak peserta duduk di depan dan membentuk lingkaran. Semua peserta mengangkat kursi besi mereka masing-masing. Pino menginstruksikan peserta untuk melakukan apa yang ia perintahkan. Semua harus menutup mata. Ola, ketua KIPAS akan mengawasi peserta. Pino menyuruh peserta meraba bagian tubuh mulai dari kepala hingga kaki. Saat membuka mata, ia meminta tanggapan masing-masing peserta. Ada yang merasa geli dan ada juga yang tidak merasakan apa-apa. Setelah itu Pino membagikan kertas dan menyuruh peserta menggambar bentuk tubuh perempuan. Semua menggambar seadanya.

“Teman-teman, tolong tentukan titik rangsangan di tubuh anda masing-masing dan tulis di atas kertas yang anda gambar.” perintah Pino.

Sesi kali ini sangat penuh dengan tawa dan cekikikan peserta. Saya pun tak kuasa menahan tawa hingga rahang rasanya pegal dan mata berair. Saling mengejek dan menertawakan, saling mengintip jawaban peserta lalu mengganggu peserta lain. Ada yang malu memperlihatkan titik rangsang yang ia tuliskan namun tetap saja pada akhirnya ketahuan karena masing-masing harus merelakan rasa malu mereka. Materi ini berguna untuk memahami tubuh kita sendiri sebelum memahami tubuh pasangan kita. Komunikasi adalah cara yang paling ampuh untuk saling mengetahui keinginan, kesenangan dan apa yang diinginkan oleh kita dan pasangan. Kerjasama yang baik dalam hubungan akan dimulai pada komunikasi yang baik pula.

Pada sesi terakhir, Pino meminta semua yang berada di ruangan tersebut membuat lingkaran dan saling mengaitkan lengan. “Saya minta masing-masing mengungkapkan perasaan dalam satu kata.” pinta Pino. Spirit, senang, gembira, bangga, haru dan masih banyak kata terlontar dari bibir-bibir peserta. Saatnya berpisah, ada jabat tangan, pelukan dan mengucapkan terimakasih.

Senang sekali rasanya mendapat teman yang menurut banyak orang adalah pendosa karena orientasi seksual yang berbeda pada umumnya. Mereka perempuan, ada dan tercatat dalam realitas sosial. Saya ingat diskusi bersama beberapa peserta mengenai kondisi lesbian dalam ruang publik. Tidak penting harus melakukan sesuatu dan dinilai oleh masyarakat bahwa yang berbuat adalah seorang lesbian.

“Saya juga awalnya dicela sama tetangga saat membawa lines saya tinggal di rumah. Tapi saya buktikan sama mereka kalau saya juga bisa berbuat hal yang berguna dan inilah saya.” kata Imel.

“Saya berpikir, kemenangan paling besar adalah ketika seorang lesbian telah melewati pertentangan batin dalam diri dan mengakui bahwa ia seorang lesbian.” kataku kepada peserta.

“Iya, saya setuju kawan.” kata Imel. Kami semua tersenyum lalu sibuk dengan rokok dan kopi masing-masing.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

kak Pino dari Solidaritas Perempuan Indonesia lo Tika, bukan Koalisi Perempuan Indonesia. tulisannya bagus.