26 Apr 2010

Antara Bapak, Samsara dan Saya

Oleh : Sartika Nasmar

USIAKU saat itu 23 tahun. Bapak masih rutin memberiku uang saku. Padahal, saya sudah bekerja. Di sebuah lembaga bernama Samsara. Bapak tidak pernah protes, hanya dia yang memberikan motivasi. Bapak senang saya bekerja sambil belajar. Saat itu, bapak akan tertawa ketika saya bilang, “Saya punya pekerjaan pak, bukan pengangguran. Hanya belum digaji,”

Bapak yang membuatku bertahan di Samsara. Waktu itu tahun 2008. Saya selalu berusaha meyakinkan bapak bahwa Samsara akan menjadi sebuah lembaga yang akan membawaku pada cita-citaku dan bapak. Melanjutkan sekolah dan mendapatkan uang untuk hidup yang sederhana seperti yang telah bapak tanamkan sejak kecil.



Bapak meninggal di usia 56 tahun, tepatnya pada 30 Agustus 2009. Tak bisa kujelaskan seperti apa bentuk luka di hatiku. Tapi, sangat sakit. Luka bertambah perih saat melihat ibu menangis, kakak dan adikku yang tak sadarkan diri. Hingga saya harus lupa mengatakan bahwa saya juga terluka dan lemah. Mereka membuatku harus kuat. Memberikan pundak ke ibu untuk sejenak menyandarkan kepalanya, memberikan pelukan dan ciuman serta doa. Kita semua harus bertahan tanpa bapak.

Saya masih di Samsara saat bapak meninggal. Tapi masih belum memiliki gaji. Hingga saat ini, penyesalan masih terus ada. Tak memberikan bapak sesuatu yang berharga sebelum dia benar-benar pergi. Saya hanya menawarkan mimpi yang isinya cita-cita kami berdua.

Bapak sakit selama lebih dari tiga bulan. Kami terus menjaganya di rumah sakit. 29 Agustus 2009, dokter menyarankan agar bapak dirawat di ICU. Tekanan darahnya turun drastis. Jantungnya melemah. Tak tega melihat bapak, saya membisikkan kata-kata ke telinganya. Menyuruhnya tenang dan berjanji akan menjaga ibu dan saudara-saudaraku. Entah kenapa, saya seperti merasa ini yang diinginkan bapak sebelum pergi.
Memastikan bahwa kami akan baik-baik saja tanpanya. Setelah itu bapak tertidur. Tak pernah kutinggalkan bapak saat ia terlelap. Tangannya terus kugenggam. Malam itu saya yakin semua akan tenang. Bapak akan sembuh lagi. Pukul 04.00 Wita, ibu menyuruhku tidur. Satu jam kemudian, bapak meninggal dan saya tak sempat mengucapkan maaf.

DUA tahun yang lalu, pada Januari 2008 dengan sepeda ontel sewaan, saya dan Inna mengunjungi beberapa lembaga kursus bahasa inggris dan asrama-asrama di Kecamatan Pare. Saya dan Inna Hudaya tak memiliki banyak uang untuk melakukan sosialisasi lembaga kami. Hanya berbekal proposal lalu menawarkan diskusi kecil di tempat-tempat tersebut. Ada hujan, petir, panas dan dingin. Tapi selalu ada tawa dan semangat.

Kami menyebut program tersebut project idealis. Salah satu project kere dengan misi edukasi dan sosialisasi. Diskusi yang kami tawarkan untuk mengkampanyekan Post Abortion Syndrome (PAS).

Dengan bantuan Kapit, salah satu anggota di Samsara yang bertanggung jawab untuk wilayah Pare, Kediri, Jawa Timur kami melalui project dengan sukses.
Awalnya, ide edsos di Pare hadir dengan kondisi yang menyedihkan. Untuk sosialisasi ke daerah-daerah, butuh dana yang banyak. Kami tak memilikinya saat itu. Hanya keinginan untuk melakukan diskusi kecil dan membantu lebih banyak orang.

Pare, setiap bulan selalu didatangi oleh pelajar dan mahasiswa dari seluruh nusantara untuk belajar bahasa inggris. Ide gila kami muncul dengan menawarkan diskusi-diskusi di sana, bahkan tanpa harus mengeluarkan banyak uang. Rasanya menyenangkan. Saya ingat sekali, ketika membawa proposal tawaran diskusi ke suatu camp di Pare. Di atas sepeda, saya berteriak ke Inna.

“Mbak, suatu hari kalau kita bertemu dan saya sukses lalu sombong atau lupa saat-saat kita kere, tolong tampar saya yah,” kataku sambil tertawa.

Kami pernah menyerah. Menangis. Tak punya uang sepeser pun. Inna berniat untuk kembali ke rumah ibunya, di Tasikmalaya. Saya marah dan kecewa. Saya belum mau menyerah. Entah mengapa tiba-tiba saya menawarkan diri ikut ke Tasik, bukan untuk numpang hidup. Tapi, melanjutkan perjuangan kami. Melakukan edukasi di sana. Inna setuju. Kami tertawa lagi.

Selalu ada jalan untuk perjuangan, bukan.

SAMSARA lahir dari ide tiga orang perempuan. Inna Hudaya, S. Kikie dan Grace Susilo. Awalnya mereka tak saling mengenal. Isu aborsi kemudian membuat mereka berkenalan dan mendirikan sebuah lembaga bernama Samsara Abortion Recovery. Program awalnya adalah membantu pemulihan mental paska aborsi yang dialami oleh orang-orang yang menderita akibat aborsi dengan memberikan konseling dan pendampingan.

Saya mengenal Samsara dari Inna Hudaya. Kami bertemu saat bersama-sama mengikuti sebuah kelas menulis Yayasan Pantau. Ketertarikan saya kepada Samsara berawal ketika membaca pengakuan Inna dalam tulisan yang ada dalam blognya. Inna seorang post-abortus yang pernah mengalami sindrom paska aborsi.

Sekitar bulan Agustus 2008, saya bergabung dengan Samsara. Inna dengan senang hati menyambut. Kami kemudian bekerjasama. Melakukan kegiatan dengan dana seadanya. Dan berkenalan dengan anggota Samsara yang lain mulai Kapit dan Grace.

Tidak banyak orang yang punya keberanian mengaku sebagai seorang post-abortus. Inna mempunyai keberanian untuk itu. Dan saya belajar banyak dari keberanian Inna. Dia memberikan saya pengalaman berbeda. Bekerja dengan hati, pengetahuan, keberanian dan kekeluargaan. Tentu saja dengan tawa dan tangis. Kami belajar bersama dan saling percaya bahwa keadaan yang terlewati akan membawa kami pada kesuksesan.

Inna rutin melakukan konseling dengan beberapa klien Samsara yang juga post-abortus melalui chating, email, sms, telefon atau bertemu. Hal tersebut terjadi bertahap. Kenyamanan dan rasa percaya kemudian menciptakan tahap-tahap konseling tersebut. Inna hebat. Dia mampu melalui traumanya dan berbagi dengan orang lain melalui konseling dan pendampingan.

Sedangkan, kawan-kawan yang lain, menambah semangatku untuk ikut menjadi hebat. Kami semua luar biasa.

Ada Kapit, pria asal Pare. Zul, pria berdarah Bugis kelahiran Kalimantan Timur. Hera yang awalnya melakukan penelitian di Samsara dan akhirnya bergabung menjadi bendahara kami. Ai’ yang sedang menyelesaikan tesisnya dan Reza yang entah kemana.

Kami dulu sering melakukan rapat. Mendengarkan kritikan dan teori-teori dar Ai’. Melakukan penguatan organisasi dengan cara-cara yang strategis Reza yang sulit saya mengerti. Karena pada saat itu, saya menganggap itu tak perlu. Saya ingin sesuatu yang ril. Namun, tak lagi kutemukan.

Samsara seperti vakum. Hanya konseling dan pendampingan yang dilakukan oleh Inna. Saya belum mampu melakukannya. Saya memutuskan pulang ke Makassar.

SAYA akhirnya menemukan sebuah rumah sederhana yang berada di tengah daerah persawahan. Inna dan Hera menyambutku saat turun dari mobil yang ku bayar untuk mengantarku ke Kersan, Bantul. Tempat saya akan tinggal dan berkantor.

Dua tahun di Makassar, saya kembali ke Jogja di bulan Maret 2010. Samsara sudah berubah. Salah satu ruang yang seharusnya berfungsi sebagai dapur disiapkan untuk menjadi kantor Samsara. Dindingnya sudah di cat warna merah dan putih. Lantainya masih kotor. Sedikit demi sedikit ruangannya terisi. Mulai dari karpet, meja kantor, dan bantal untuk duduk. Untuk membuatnya terkesan ramai, Inna menempelkan poster-poster di dinding. Yang tak pernah terpikirkan, bahwa kami telah memiliki satu unit komputer.

“Wah, akhirnya kita punya komputer. ASEM..., rasanya kok beda yah. Kebiasaan miskin nih,” kataku pada Kapit. Kami hanya tertawa.

Saat ini kami mengerjakan sebuah project edukasi. Kami memberinya nama Sekolah Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi (SSKR). Kami mulai sibuk dan saling berbagi tugas. Bekerja memang butuh cinta. Dan saya memilikinya. Walau lelah, tak pernah kubiarkan cintaku pada Samsara mati.

Kami menikmati lelah itu. Tetap tertawa bangga. Marah dan kecewa adalah hal yang wajar. Bahkan, kami mendapatkan satu tambahan personil perempuan. Namanya Wita. Ini tentu saja menyenangkan.

Jika ada senang, juga ada sedih. Zul, koordinator kami mengundurkan diri dari project ini. Dia akan fokus pada kuliahnya. Kami tak mampu menahannya. Saya merasa bersalah. Tiga hari sebelum ia mengundurkan diri, dia memintaku untuk menggantikannya sebagai koordinator. Zul memiliki banyak kegiatan hingga kesulitan mengatur waktu.

Usai mengundurkan diri, saya menangis dihadapan teteh. Kami menyayanginya. Saya ingin dia tetap menikmati lelah bersama kami. Samsara adalah organisasi yang personal. Kekeluargaan. Zul adalah anggota yang paling muda diantara kami. Kami memiliki harapan yang besar padanya. Saya ingin dia kembali. Menyelesaikan tugas dan tanggung jawab kepada HIVOS, sebuah lembaga pendonor dari Belanda. Ketika dia kembali, saya mau mendengarnya bercerita tentang ayahnya. Yang paling penting, kami dapat berkumpul seperti sebuah keluarga yang utuh dan saya akan mengenang bapak bersama Samsara.

“Pak, sekarang Samsara sudah bisa memberiku gaji. Tidak banyak. Tapi ini bisa membantu. Setidaknya tak lagi meminta uang bapak.”

Catatan:
Teman-teman, selamat untuk kita semua. Saya menghadiahkan tulisan ini buat kalian. Semoga bermanfaat dan menyemangati. Saya menyayangi kalian. Jika tak keberatan, setelah membaca ini, saya meminta satu pelukan penuh cinta dan kekuatan. Lalu kita berpesta. Satu lagi.

“Teman-teman, suatu hari kalau kita bertemu dan saya sukses lalu sombong atau lupa saat-saat kita kere, tolong tampar saya yah,”

6 komentar:

Astutik Kashmi mengatakan...

Kenangan...masa mengingat dan melupakan...good rendezvous!

Anonim mengatakan...

LUARRRRR BIASA.... :)
tanpa kalian sadari, aku sudah banyak mencuri semangat dari proses dan sekolah kalian. tapi rasanya kalian semakin kaya saja :)

odieL paLm mengatakan...

benar-benar tulisan yang menggugah dan mengharukan Kak...
Salut buat k'Tika.. Two thumbs up..!!
Good luck Kanda..

btw sy b'harap tidak akan pernah t'jadi "ada yang menampar ta' Kak.."

Nay mengatakan...

Anjrittt....gila kamu Tik....puas kamu ya buat aku nangis baca tulisanmu....aku pingin punya semangat sepertimu....

NaY mengatakan...

Anjrit......Kampret mang ni orang...puas ye kamu bisa buat aku nangis baca tulisan kamu....

Aku pingin punya semangat sepertimu...

Sukses yack buat Samsara....:-)

yufinats mengatakan...

semangat TIK!!!!