2 Agu 2009

“Mereka Adalah Obat Saya.”

Oleh: Sartika Nasmar

Saya memasuki sebuah gang di daerah pesisir kota Palopo, Sulawesi Selatan pada 25 Mei 2009, saat itu pukul 11:00 wita. Semakin ke dalam, gang semakin kecil. Saya menuju ke sebuah rumah. Hanya ada seorang anak perempuan, umurnya tujuh tahun. Saya menyapa dan bertanya apakah ibunya ada di rumah.

“Bunda ada di dalam.” kata anak itu.
Ibunya ternyata sudah mengetahui kedatanganku. Pintu memang sedang terbuka. Dia memanggilku. Saya sedikit mencari-cari, posisinya lumayan tersembunyi. Dia membantu ibunya membuat kue pesanan seseorang.

Saya menunggu di teras. Seorang bocah yang lebih muda datang ke sampingku. Ia memandangiku.

Saya memberinya nama Windinara, adalah ibu kedua anak itu. Ia ODHA (orang dengan HIV dan AIDS). Pagi itu, ia sedikit kumal dengan daster merah bertuliskan Bali. Rambutnya diikat berantakan. Ia tak bisa menemaniku. Ia menyuruhku datang saat sore.
Pukul 16:00 wita, saya kembali ke rumahnya. Saat kuparkir sepeda, ia memanggilku dari arah belakang rumah. Ia masih dengan dasternya, tapi lebih kumal dari sebelumnya. Ia belum bisa menemuiku. Saya pulang.

Malam, saya datang lagi dan ia menyambutku dengan penampilan berbeda. Rambutnya basah terurai. Dasternya sudah berubah warna hitam bermotif bunga. Wajahnya nampak riang. Windi menyuruhku masuk. Kami duduk bersebelahan. Terasa akrab.

***

Windi tahu bahwa HIV ada dalam tubuhnya pada awal 2006. Ia tertular dari suaminya. Sebut saja, Raka. Seorang pecandu narkoba suntik. Empat bulan suaminya sakit parah. Kata dokter, paru-parunya rusak. Windi membawa suaminya ke Rumah Sakit Umum dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

Belum terpikir bahwa suaminya mengidap HIV, walau ia tahu suaminya seorang pecandu. Raka awalnya tidak ingin diperiksa saat alat tes HIV dan AIDS ada di hadapannya. Ia takut dan tidak siap menerima hasilnya. Dokter menyuruhnya pulang dan berpikir.

“Bunda, dokter menyuruh saya tes HIV.” kata Raka.

Windi kaget.

“Periksa saja. Lebih baik tahu sekarang daripada terlambat.” bujuk Windi.
Besoknya mereka kembali ke rumah sakit.

Windi menerima hasil pemeriksaan keesokan harinya. Reaktif. Raka belum melihatnya. Windi terpaksa bohong. Ia memperlihatkan tulisan non reaktif, beruntung Raka percaya.

Sebulan di Makassar, kondisi Raka makin parah walau ia rutin check up. Ingatannya sudah tidak kuat lagi dan kulitnya bersisik. Windi membawa suaminya kembali ke Rumah Sakit. Kali ini Raka harus dirawat, CD4nya hanya 11. Windi menyampaikan kepada dokter bahwa suaminya belum tahu tentang penyakitnya. Saat itu juga Windi berterus terang.

“Ayah, saya berada di sini karena saya dukung ayah. Saya ingin lihat ayah sembuh.” kata Windi, lembut.

“Memangnya kenapa?”

“Sabar ayah. Ini mungkin cobaan buat kita. Ayah positif HIV.”

Raka shock, mulai bertanya-tanya dan tidak terima. Windi kewalahan.

“Ayah, sabar. Seandainya saya ingin marah dan memakimu kasar, saya akan bilang ini pelajaran buat ayah. Saya sudah sering bilang agar ayah berhenti menggunakan narkoba. Ayah tidak mendengar saya. Sering pulang malam, mengajak saya bertengkar. Tapi saya masih di sini. Dukung ayah supaya sembuh.” keluhnya.

Raka akhirnya sadar.

Selama di Rumah Sakit, Windi setia mendampingi Raka. Raka ditempatkan di ruangan perawatan Lontara 1. Ada 6 pasien yang penyakitnya sama. Mereka sering saling menghibur dan tertawa bersama. Dua orang konselor juga membantu mendampingi seluruh pasien. Mereka adalah waria. Ade Rinalda dan Indri Morisette.

Mereka berkenalan satu sama lain. Windi mulai menerima dan beradaptasi dengan kehidupan di rumah sakit. Raka tetap putus asa, dia depresi seolah tidak siap menerima kenyataan bahwa sebuah virus ada dalam tubuhnya.

Seminggu kemudian, Windi berpikir untuk periksa juga. Dia curiga virus tersebut juga ada dalam tubuhnya. Dia tidak ingin tahu setelah ia sudah benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Windi mendatangi seorang perawat. Perawat itu menyarankan untuk menunda dan fokus pada perawatan Raka. Windi tetap penasaran. Ia tidak mau virus ini merenggut kekuatannya. Cukup terjadi pada suaminya.

Windi melakukan tes HIV bersama Ade Rinalda. Hasilnya reaktif. Windi tidak kaget virus itu juga ada dalam tubuhnya. Ia yakin mengingat usia pernikahannya dengan Raka sudah tujuh tahun. Mustahil jika ia tidak tertular, pikirnya.

Tiba di kamar, Raka terus-terusan mengeluh. tidak mau makan dan minum obat. Windi lelah mendengarnya. Mereka bertengkar.

“Saya capek lihat kamu seperti itu. Saya bahkan kasihan lihat diriku. Saya tidak tahu apa-apa, saya tidak pakai narkoba, tidak melakukan hubungan seks dengan siapa pun selain kamu, saya tidak pernah keluar rumah tanpa seizinmu. Tapi apa yang saya dapat ayah. Ini hasilnya.” teriak Windi.

Raka kaget. Windi tiba-tiba diam. Ia tidak ingin suaminya tahu bahwa ia juga positif HIV.

“Saya hanya ingin beri ayah dukungan. Tapi saya juga butuh dukungan dengan lihat ayah kuat agar saya juga kuat. Ayo minum obat, jangan suka mengeluh. Terima kenyataan ayah.” pintanya.

Windi sempat mengalami dilema. Ia memikirkan anaknya yang berada 360 kilometer darinya. Mereka diasuh oleh ibu Windi di Palopo. Anak pertamanya masih berusia 5 tahun saat itu. Yang kedua 3 tahun. Namun, di sisi lain, Windi tidak bisa meninggalkan Raka sendirian.

Menjelang tiga bulan Raka dirawat di rumah sakit. Kondisinya sudah mulai membaik, CD4nya meningkat menjadi 175. Satu minggu sebelum keluar dari rumah sakit, Indri mengajak Windi mengikuti sebuah pelatihan. Indri ingin Windi mewakili kota Palopo untuk belajar banyak mengenai HIV dan AIDS. Windi minta ijin ke Raka lebih dulu. Raka tidak setuju. Mereka akan kembali ke Palopo. Windi terus membujuk, akhirnya Raka memberi ijin.

Pada hari terakhir pelatihan adalah jadwal yang sama mereka pulang ke Palopo. Pelatihan selesai pukul 18:00 wita. Windi tidak langsung pulang. Ia menghadiri acara perpisahan panitia dan peserta. Pukul 20:00 wita, ia tiba di rumah. Raka baru saja berangkat dan membawa semua pakaian serta uang. Windi kecewa. Tujuh bulan Raka sakit, tak pernah ia meninggalkan Raka. Tapi untuk waktu lima menit, Raka tidak bisa menunggunya.

Keesokan harinya Windi berangkat ke Palopo. Ia langsung menuju ke rumah orang tua Raka.

“Mana pakaianku?” tanya Windi.

Raka hanya diam. Windi makin marah, kecewa.

“Ayah, tega sekali. Asal ayah tahu, saya juga positif HIV. Virus ini saya dapat dari ayah.”

Windi pulang ke rumah orang tuanya.

***

Sudah tiga bulan ia tidak bertemu Raka. Ia gunakan waktunya untuk belajar dan memotivasi diri. Lalu salah satu saudara Raka tiba-tiba datang menemuinya. Ia memberi kabar.

“Dek, Raka sakit parah. Tidak ada gunanya menjenguk jika ia sudah meninggal.”
Kata-kata itu meluluhkan kemarahan Windi selama ini. Hari itu juga ia menjenguk Raka. Windi menangis. Raka sangat kurus, kakinya kaku, lama tak bergerak. Daya ingatnya sudah tidak kuat.

“Sama siapa ke sini?” tanya Raka.

“Ayah.”

Raka tertawa.

“Kamu semakin gagah.” puji Windi.

Raka tersenyum.

“Saya minta maaf bunda.” kata Raka.

“Iya, saya juga minta maaf. Kenapa berhenti minum obat?”

“Parcuma saya hidup. Tidak ada gunanya.”

“Ayah, ingat anak-anak.”

“Kamu yang mendapatkannya.”

Saat itu Raka menghentikan Anti Retro-viral Theraphy. Ia mengkonsumsi buah merah yang disebut-sebut mampu menyembuhkan HIV dan AIDS setelah menyaksikan berita di televisi.Windi sangat ingat peristiwa itu. Saat bercerita, Windi menyandarkan kepalanya di kursi dan memegang tangan anaknya. Lalu meneruskan ceritanya.

“Bunda, saya akan pergi ke suatu tempat yang sangat indah tapi saya tidak tahu harus lewat mana.” kata Raka.

“Kalau mau tahu, Ayah sebaiknya zikir. Pasti akan Ayah temukan jalannya.”

“Jadi, kalau saya zikir, saya bisa buka pintunya?”

“Iya, Ayah bisa zikirkan?”

“Pasti, saya kan Islam.”

Windi terus menjaga Raka. Mereka bercerita sepajang malam.

“Saya ingin cium bunda tapi saya tidak bisa bergerak.” kata Raka. Windi mendekatkan pipi ke bibir Raka. Raka tertawa, air matanya mengalir. “Bunda, kapan kita bisa bertemu lagi?”

Itu pertanyaan terakhir Raka.

Pukul 10:00 wita, Raka akhirnya menemukan jalan itu. Ia berhasil membuka pintu menuju tempat yang ia katakan indah.

***

Windi bergabung dalam Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Palopo Plus. Saat ini anggotanya hanya tiga orang. Dua ODHA dan satu lagi OHIDA (Orang yang hidup dengan ODHA). ODHA lainnya memilih menyembunyikan diri. Di Palopo ada 38 kasus HIV dan AIDS. KDS Palopo Plus dan KPA Kotamadya Palopo sering bekerjasama melakukan sosialisasi dan edukasi mengenai HIV dan AIDS di Kota Palopo. Sayang, sejak lima bulan terakhir KDS Palopo Plus vakum.

Windi masih menyimpan harapan untuk ODHA di Palopo.

“Saya ingin punya satu usaha bersama teman-teman. Keuntungannya ingin kami pakai untuk membantu biaya pengobatan dan perawatan ODHA di Palopo. “

Orang tua Windi sudah tahu. Mereka kadang khawatir Windi ikut dalam kegiatan KPA dan KDS. Ibu Windi takut jika ia hanya menjadi objek dengan status ODHA.

“Saya tidak pernah menangis. Kasihan orang tua dan anak-anak saya. Jika saya mengeluh mereka akan lemah. Tapi jika saya kuat, mereka juga akan lebih kuat menerima saya.” kata Windi.

Windi tidak menyerah. Ia mengerti kekhawatiran Ibunya. Tidak semua orang bisa memberinya dukungan sosial. Mereka bisa tidak hanya menjauhi Windi, tapi keluarganya. Apalagi pengetahuan masyarakat di kota Palopo masih minim tentang HIV dan AIDS.

Si sulung sedang asik bermain, Windi mengelus kepalanya. Ia memeluk dan mencium si bungsu.

“Ini mungkin salah satu mukjizat dari Tuhan. Kedua anak saya sehat. Mereka adalah obat saya.”

3 komentar:

bangsatkecil mengatakan...

Say apa kabar.. gk nyangka kamu jadi artis dalam cerita kamu... esensi tulisan tidak menyentuh objek secara utuh.,..

Unknown mengatakan...

Hai K'Ana.., Baik-baik ja' kk'. Alhamdulillah.

Terimakasih sekali kak, udah mau comment tulisanku. Jadi makin semangat membuat karya yang lebih baik lagi.

Anonim mengatakan...

Tulisan naratif yg menarik, dan mengajarkan: mereka teman kita.

Mantap, Mba!