22 Jul 2009

Ugo, Si Pemuja Kuda

Oleh: Sartika Nasmar

Suatu sore di Kersan, Bantul, Yogyakarta. Tepat di sebuah sudut jalan, berdiri bangunan sederhana yang difungsikan sebagai kandang kuda. Di tengahnya ada arena. Seorang pria berdiri sibuk melatih seekor kuda. Silver Surfer. “Trot, trot..” kata pria itu memberi perintah. Tak ada tanggapan dari Silver Surfer. Ia hanya diam. Sesekali cambukan menjadi ancaman latihannya. Namun ia hanya berlari kecil lalu mengangkat kaki belakangnya seolah ingin berontak. Silver Surfer diam. Menghadap ke jalan dengan perkasa. Semakin kaku dan tak ingin berlari. Mundur pun ia enggan. Pria tadi kemudian memaksa, mendorong lalu akhirnya menyerah.

Ugo Untoro yang sedari tadi memperhatikan dari luar, kini memasuki arena. Hari itu ia melatih Silver Surfer, salah satu kuda kesayangannya. Selain Silver Surfer, ia masih memiliki tiga kuda. Ia kemudian mengambil tali yang mengikat Silver Surfer lalu mengangkat dan memainkannya ke atas, ke bawah, samping kiri dan kanan. ”Trot.., Trot..,” perintahnya. Sebatang rokok masih menempel di bibirnya, mengeluarkan kepulan asap. Ia tampak serius. Perlahan-lahan Silver Surfer mau berlari dan akhirnya mengelilingi arena. Ugo keluar dari arena.

Tempat tidur kayu. Dispenser. Foto-foto Ugo menunggang kuda. Penghargaan Silver Surfer. Ada satu kamar dan dapur. Sebuah rumah sederhana terletak di sebelah kiri arena.

Ugo duduk di tempat tidur kayu. Menghisap rokok ditemani sebotol bir. Masih memperhatikan kuda-kudanya. Silver Surfer sedang berlatih dan tiga lainnya dibersihkan. Berkunjung di kandang miliknya adalah rutinitasnya sehari-hari apalagi jarak kandangnya tak jauh dari rumahnya. Ia cukup berjalan kaki.

Ugo meluruskan badannya sambil memegang punggung. Lalu menghembuskan nafas. Matanya terlihat lelah. Merah. Pengaruh alkohol mulai terasa. Ia masih memperhatikan kuda-kudanya.

***

UGO adalah seorang pemuja kuda. Ia mengenal segala seluk beluk kuda. Dimulai dari sejarah kuda yang mengikuti sejarah manusia. Ia tidak hanya memelihara kuda sebagai bentuk kesenangannya terhadap binatang ini. Tapi, ia membaca semua pengetahuan tentang kuda dan memahami literaturnya. Kuda adalah binatang yang setia, patuh dan berguna. Kuda sahabat manusia. Simbol yang membawa kecantikan pada wanita dan keperkasaan pada pria. Menurut persepsi Ugo, kuda mampu membawa kita menjadikannya patokan memahami realitas.

”Aku berpikir bahwa kuda adalah ciptaan manusia, bisa ditundukkan,” ujar Ugo.

Sebatang rokok ia bakar. Lalu dihisap dalam-dalam. Kepulan asap keluar dari mulutnya. Matanya memandang Silver Surfer.

”Aku dan kudaku seperti ada ikatan. Secara personal aku anggap kami saling melayani. Aku selalu berusaha mengetahui kuda bukan dari fisiknya, tapi dengan hati.” tambahnya.

Ia mulai tertarik dengan kuda sejak enam tahun yang lalu. Kuda pertamanya bernama Basuki Abdullah. Ia membelinya seharga 4,5 juta rupiah dari tukang andong di Imogiri. Waktu itu ia belum banyak tahu tentang kuda. Kala itu, seorang pria mendekati Ugo.

”Ngapain kamu pelihara kuda itu?” kata pria itu.

”Kuda itu tidak sehat, aku punya kuda bagus,” tambah orang itu.

Ugo terjebak oleh kata-kata pria tersebut. Terpaksa ia tukar. Beberapa lama kemudian, ia sadar bahwa ia telah ditipu. Dibodoh-bodohi. Basuki Abdullah adalah kuda yang sehat.

Dari kejadian itu, ia belajar tentang kuda. Mencari tahu segala informasi yang berkaitan dengan kuda.

Pada tahun 2005, seekor kudanya mati dalam pacuan kuda. Namanya Badai Lembut. Saat di arena, Badai Lembut jatuh. Ugo panik. Meski ia tahu bahwa itu adalah resiko pacuan kuda.

Malam sebelum Badai Lembut bertanding, Ugo duduk di sebuah ruangan dalam rumahnya sambil menggambar sketsa di sebuah buku tulis. Imajinasinya memberi Ugo petunjuk kepada penanya menggambar keperkasaan Badai Lembut. Lalu ia membayangkan jokinya kemudian menggabungkannya bersama Badai Lembut dalam satu kertas. Jokinya bernama Jumadi. Ia kemudian melanjutkan dengan menggambar kuda yang akan menjadi lawan Badai Lembut. Wijaya. Semua bersatu menjadi sketsa sederhana malam itu.

Esoknya, pacuan kuda di mulai. Badai Lembut jatuh bersama Jumadi ketika nyaris mencapai garis finish. Disusul Wijaya. Ugo panik mendengar ringkik kudanya. Badai Lembut, Wijaya dan Jumadi tewas dalam kejadian itu.

Mira Utami, nama seekor kuda. Teman Ugo, pemilik hewan itu, meminta Mira Utami menjadi obyek lukisannya. Ugo menyetujui. Ia kemudian dengan serius melukis kuda Mira. Selesai. Beberapa lama kemudian ia mendengar kabar bahwa Mira Utami mati. Ugo tak mau melukis kuda orang lain lagi.

Ringkik Badai Lembut menjadi inspirasinya berkarya. Derap kaki Badai Lembut yang lincah memberi semangat untuk lebih memahami kuda meski kematiannya masih menjadi mimpi buruk bagi Ugo.

Ia tidak hanya sekedar melukis atau mambuat karya instalasi tentang kuda. Tapi, melakukan riset mulai dari sejarah dan anatomi kuda.

Pada Maret 2007, karya seni lukis dan instalasi Ugo Untoro dipamerkan di Taman Budaya Yogyakarta. Poem of Blood. Materi utama karyanya menggunakan kulit kuda dan bangkainya. Sebuah karya yang terkesan horor. Pada masing-masing bagian tubuh kuda diberikan identitas atau tanda dari besi panas.

Ugo menciptakan Poem of Blood seolah menceritakan nasib kuda. Ia menggantung kulit kuda di atas besi lalu ia beri judul ”Menjemur Sejarah”. Ia juga meletakkan bangkai kuda yang teronggok di atas pasir yang penuh dengan jejak kuda dalam sebuah arena. Tampak mengharukan.

Kuda memberinya semangat dan pemahaman yang tidak sama dengan yang dimiliki orang lain. Ia memahami kuda secara klise dan personal. Kuda tidak hanya perkasa tapi adalah saksi sejarah. Sejak dulu, manusia tak pernah memilih Zebra, Jepara atau binatang lain sebagai alat tunggang. Tapi, mereka memilih kuda. Memahami dan saling melayani. Kuda tidak hanya untuk tunggangan atau alat transportasi baginya. Namun, lebih kepada sahabat.

Sosok keperkasaan dan romantis yang ia rasakan dari seekor kuda juga dipengaruhi dari kegemarannya membaca komik dan menonton film. Pendekar dan kuda. Penuh petualangan. ”Pokoknya romantis banget gitu loh..” katanya meyakinkan. Ia bahkan tak segan untuk menunggangi kudanya berjalan-jalan keliling kampung atau ke tempat yang ramai sambil bergaya koboi.

***

MASA kecil Ugo berlalu dengan kesederhanaan. Ayahnya adalah seorang guru Sekolah Dasar. Ia lahir di Purbalingga, Jawa Tengah pada tanggal 28 Juni 1970.

Ugo kecil tergolong anak yang nakal. Ia dan adik laki-lakinya senang menggambar. Lantai rumahnya terbuat dari semen dan berwarna agak hitam. Mereka menggambar di lantai. Setiap hari ibunya harus mengepel setelah mereka membuat lantai kotor dengan coretan. Sehari bisa sampai berkali-kali. Jika ibunya lelah, ia terpaksa membiarkan lantai rumahnya penuh dengan gambar karya anak-anaknya.

Ia tidak hanya menggambar. Ugo senang baca komik. Nonton kartun. Membuat wayang. Layang-layang. Boneka. Ikut gerobak sapi. Bermain hujan. Dan bolos sekolah.

Ayah Ugo juga senang membuat wayang dari kardus. Ia kadang-kadang memberikan hadiah wayang kepada anaknya. Bahkan jika tidak diberi, Ugo tidak ingin masuk sekolah. Sejak kecil, ayahnya sudah memberinya kebebasan membaca komik dan menonton film kartun yang ia senangi.

Seperti anak-anak pada umumnya, cita-citanya ingin menjadi dokter atau insinyur. Saat di Sekolah Dasar. Ugo menjadi murid ayahnya sendiri dalam mata pelajaran matematika. Ia benci matematika. Ia selalu bolos. Lalu ikut gerobak sapi tetangganya. Hingga di SMU pun, ia tetap saja suka bolos sekolah.Suatu hari gurunya bosan memperingatinya untuk tidak bolos sekolah.

”Pokoknya kamu harus belajar. Harus masuk kelas. Tidak boleh bolos. Kalau kamu masuk, aku beri kamu nilai enam,” kata gurunya.

Ugo pun tak lagi membolos. Ia masuk ke kelas tapi tetap tak belajar. Hanya duduk dan menggambar gurunya yang sedang mengajar. Saat ijazah diterima, ia langsung memeriksa nilai yang dijanjikan oleh gurunya tersebut. Hasilnya, tetap saja nilai lima.

Selepas sekolah menengah, Ugo bingung dengan cita-cita. Ia bahkan tak memilikinya. Tak ada yang menarik menurutnya. Ia memutuskan menganggur selama satu tahun sambil terus memikirkan masa depannya. Yang terbersit saat itu hanya ingin menggambar. Ia juga tidak mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi (UMPT) Nasional seperti banyak pelajar yang baru saja menyelesaikan sekolah menengahnya.

Suatu hari, Ugo duduk di sebuah kursi dalam teras rumahnya. Santai, pikirnya. Sebuah koran jatuh tepat di belakang punggungnya. Ia heran. Yang melempar koran ternyata ayahnya, tanpa suara. Hanya lewat saja. Ia membaca halaman yang sudah sengaja dibuka oleh ayahnya. Isinya adalah iklan pendaftaran mahasiswa baru di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta.

Tahun 1988, Ugo tiba di Yogyakarta setelah mengetahui dirinya lulus di ASRI. Dia pun mulai menjalani awal-awal kuliahnya. Meski ia tetap harus dipertemukan lagi dengan mata pelajaran teori pada semester awal. Lagi-lagi ia bolos. Bertemu dengan teman barunya yang sama-sama tak suka pelajaran pada semester awal. Mata kuliah dasar umum.

”Woi, tinggal wae. Udah ditinggal saja. Nggak usah masuk.” kata teman-temannya saat itu.

Lama-kelamaan Ugo menikmati masa ia menjadi mahasiswa.Suasana kampus yang terletak di Gampingan membuatnya betah berlama-lama di kampus. Sejuk. Asri. ”Seperti rumah sendiri,” pikirnya. Tidak ada senioritas di sana. Ugo mulai sering berkumpul bersama teman-temannya. Main. Bolos. Minum alkohol. Dan menyelesaikan masalah sama-sama. Dosennya pun seperti teman. Jika tak bisa bayar uang semester, bisa pinjam pada mereka.

Tahun 1995. Ia mendengar kabar bahwa kampusnya akan pindah ke daerah Bantul dan berganti nama menjadi Institut Seni Indonesia (ISI). Ia khawatir. Kuliahnya belum kelar. Sedang teman-teman seangkatannya sudah selesai. Dengan cepat, ia menyelesaikan tugas akhirnya. Selesai dan mendapat gelar sarjana.

”Kalau ASRI gak pindah, aku mungkin akan tetap di sana. Jadi mahasiswa terus,” kata Ugo.

Ugo adalah pelukis yang sarjana.

Setelah menyelesaikan kuliahnya ia memutuskan menikah dengan Trisni Rahayu. Wanita yang telah ia pacari selama dua tahun. Usianya jauh lebih tua dari Ugo, terpaut 10 tahun.

Menikah menjadi pilihan Ugo. Ia ingin membuktikan kepada dirinya untuk lebih bertanggung jawab. Ia melamar dengan modal nekat menghadap orang tua Yayuk, seorang anggota Angkatan Laut. Sendirian dan dalam keadaan mabuk. Tak heran, jika ia mendapat suara gertak dari ayah Yayuk. Awalnya, ia tak mendapat restu karena berbeda agama. Ugo, islam dan Yayuk, katolik.

Kenekatan membuahkan hasil. Pernikahan dilakukan di Purbalingga.

Anak semata wayangnya, Tanah Liat, juga banyak mempengaruhi karya-karya, baik itu lukisan atau puisinya.

***

DI Yogyakarta, Ugo menghabiskan waktu di Jalan Malioboro. Di sanalah ia mengerti realita hidup. Setiap hari ia berkunjung ke sana. Ia bergaul dengan siapa saja, hingga mencari uang. Saat itu ia kembali bingung, ingin menjadi penulis atau pelukis. Ia senang menulis puisi.

Di sepanjang jalan Malioboro, ia menghasilkan uang dengan menjadi pelukis potret. Bayarannya lumayan untuk kebutuhannya sehari-hari. Selain melukis, Ugo dan seorang temannya juga menjual barang dagangan seperti souvenir dan gelang manik-manik di jalan Mallioboro. Kadang-kadang jika di sana tidak laku, maka ia akan pindah sambil membawa dagangannya ke jalan Solo. Dagangannya juga tidak laku. Ia menyerah.

”Sabar, mas. Sabar. Orang dagang itu harus sabar.” kata seorang temannya.

”Ah, ora iso aku. Ora iso.” Kata Ugo, menyerah.

Ia kembali melukis demi mendapatkan uang. Ia sadar bahwa gaji yang didapatkan ayahnya sebagai seorang guru tidak bisa mencukupi kebutuhannya. Apalagi jika harus membeli perlengkapan mengikuti praktek melukis di kampusnya.

***

UGO mengawali karir melukisnya saat kuliah di ASRI. Berbagai karyanya muncul dengan gaya corat-coret.

Karya-karya pertamanya selama ia kuliah membawa Ugo Untoro pada pameran pertamanya bertajuk ”corat-coret 91-95”.
Melukis kemudian menjadi pilihan hidupnya. Ia menemukan kenikmatan melukis. Dalam katalog pameran Corat-coret 91-95. Ugo menulis:
“Tak perlu lagi saya mengejar bentuk, sebab sudah ada David, Rembrandt, Vermeer, Cezanne ataupun Basoeki Abdullah. Tak perlu lagi saya mengejar warna, sebab sudah ada Delacroix, Manet, Monet atau Seurat. Tak perlu lagi saya mengejar garis, sebab sudah ada Durer, Matisse, Miro ataupun Oesman Effendi. Tak perlu lagi saya mengejar isi, sebab sudah ada Van Gogh, Gauguin, Dali ataupun Rusli dan Amang Rahman. Belum lagi keterpukauan akan para jenial seperti Michelangelo, Da Vinci, Picasso, Kandinsky, Mondrian dan Paul Klee.”
Pada tahun 1998, Ugo memenangkan Lomba Lukis Nasional yang diselenggarakan Yayasan Seni Rupa Indonesia dengan promotor Phillip Morris. ”Huruf-huruf Baru”, judul karyanya berhasil masuk dalam nominasi. Dalam karyanya, ia membagi gambar dengan kotak-kotak yang berisi simbol kehidupan baru. Kertas rokok menjadi media yang digunakan menggambar. Menurut Ugo, yang dikutip Bernas (22/10), ”Lukisan yang diikutkan lomba ini saya anggap puncak karya corat-coret karna telah banyak yang menggunakan gaya ini.”
Padahal awalnya, gaya corat-coret yang ia tekuni selama bertahun-tahun kadang ditertawakan oleh teman-teman dan dosen di kampusnya. Ia tetap melukis hingga orang-orang yang tadinya menertawai akhirnya menerima. Bahkan ada yang mengikuti.

Ia meninggalkan gaya corat-coretnya. Ugo tak ingin punya style dalam menggambarkan karya-karyanya. Tak ingin dicap pelukis dekoratif. Ia tidak terikat oleh teknik atau ’isme’ yang berlaku dalam ilmu seni rupa. ”Silahkan saja orang menggunakan istilah itu, selama ia tetap konsisten. Tapi untuk aku sendiri, aku menolak dan tidak suka istilah itu.” tambahnya. Ugo menggunakan bahasa dan caranya sendiri dalam melukis apa yang ada dipikirannya atau batinnya saat itu dan dituangkan dalam kanvas.

Melukis adalah kejutan. Ugo kadang tak bisa menebak hasil lukisannya akan seperti apa meski telah merencanakan objeknya. ”Sama ketika orang memancing. Tak tahu apakah ia akan mendapat ikan yang besar atau kecil. Hasilnya adalah kejutan. Menargetkan sesuatu yang belum kita tahu.” kata Ugo.

Tahun 1998, Ugo membeli sebidang tanah di kawasan Kersan untuk membangun sebuah rumah yang akan ia huni bersama istri dan anak semata wayangnya. Ia berharap agar segera pindah dari rumah kontrakannya karena tak nyaman baginya untuk bekerja.

Ia akhirnya pindah ke rumah barunya, tapi tidak untuk dihuni melainkan sebagai studio. Lama-kelamaan teman-teman Ugo juga sering berkumpul di sana. Ada yang melukis atau sekedar kumpul-kumpul hingga mabuk-mabukan. Pada akhirnya, ia tak bisa bekerja di sana lagi. Hingga seorang temannya menyarankan agar studionya dijadikan tempat pameran. Ugo setuju dan ia kembali bekerja di rumah kontrakannya.

Bekas studio Ugo pun berubah menjadi tempat pameran bernama Museum dan Tanah Liat. Keinginan Ugo melihat seniman muda terus berkarya membuatnya harus merelakan studio miliknya dijadikan museum. Disewa atau tidak, bukan masalah baginya.
”Aku ingin melihat para seniman muda terus berkarya. Sekali mengayunkan pedang, ya sudah. Apa yang terjadi, terjadilah. Menang atau kalah. Itu pilihan kita.” pesannya.

Tahun 2007, Ugo dinobatkan sebagai salah satu tokoh seni versi majalah TEMPO melalui karyanya Poem of Blood.

“Aku tak peduli harus ikut bahasa atau konsep apa, aku punya bahasa, kekhasan dan sudut pandang sendiri untuk mengungkapkan keindahanku,” kata Ugo.

Tak peduli dengan istilah professional, ia berkarya tanpa berpikir ingin menjadi siapa atau mendapatkan gelar apapun. Bahkan untuk predikat maestro.

”Yang terpenting adalah aku tetap berkarya. Selesai atau tidak, aku merasa melukis adalah tugasku dan itu full kulakukan.” yakinnya.

Ps: Tulisan ini pertama kali dipublikasikan oleh http://www.panyingkul.com

Tidak ada komentar: