27 Nov 2008

Ucapan Selamat Malam Yang Tertunda

Hari kedua saat aku berada di Pare, Jawa Timur. Aku menghabiskan malam bersama Mbak Inna di sebuah warnet memanfaatkan Paman Google. Internet memang terkadang membuat kita lupa waktu.

“Tik, dah selesai belum?” tanya Mbak Inna.

“Iya, mbak. Dikit lagi.”

Aku segera menyelesaikan pekerjaanku. Berpamitan dengan Paman Google lalu menuju operator. 15 menit lagi pukul 22:00 wib. Gerbang kos akan segera ditutup. Kami mengambil sepeda onthel di tempat parkir lalu mengayuhnya dengan kecepatan yang biasa-biasa saja menuju kos. Pagar tinggi berwarna hijau di depan mata dan dalam keadaan tergembok. Kami terlambat.

“Gawat.” pikir kami.

“Bagaimana masuknya?”

Seorang wanita dengan mengendarai motor Shogun juga singgah di depan kos kami. Ternyata dia juga tinggal di kos yang sama denganku. Namanya Diah. Badannya gemuk. Tomboy. Dia agak marah melihat gerbang yang terkunci.

“Sial. Padahal aku sudah sms Mas Ari. Kosnya jangan ditutup, aku lagi ma’em,” katanya.
Dia kemudian mengeluarkan handphone dari saku celananya dan menghubungi Ari, penjaga kos. Tidak ada jawaban. Dia semakin marah.

Kami menunggu sambil berpikir. Aku tidak tahu Diah memikirkan apa. Tapi aku dan Mbak Inna sama-sama memikirkan harus tidur di mana malam ini. Memanjat pagar sempat singgah dalam benak kami, tapi tak mungkin membiarkan sepeda terparkir di luar gerbang. Secara, itu sepeda sewaan.
Mbak Inna menghubungi Kapit, seorang teman yang tinggal di Pare. Berharap ada pertolongan di saat-saat genting seperti ini. Selang beberapa menit ia tiba. Belum berkata apa-apa, ia sudah tertawa cekikikan melihat nasib kami yang terlantar.

Diah pamit akan nginap di kos temannya. Sayang sekali tak mengajak kami.

Kami terpaksa menumpang di teras Daffodils, salah satu lembaga kursus di Pare. Letaknya tepat di depan kos kami. Di atas kursi bambu kami bertiga bercerita. Tertawa meski bingung.
Lapar menyerang.

“Tok..tok..tok.., “

Wah, ada penjual bakso. Aku dan Mbak Inna makan.

Kapit mengetuk pintu kantor Daffodils. Ternyata ada pria di dalam. Namanya Momo. Ia bekerja di Daffodils. Beruntung karena ia dan Kapit saling kenal. Dia kemudian mengijinkan kami menginap di salah satu kelas bagian belakang dengan syarat hars bangun sebelum pukul 06:00.

“Alhamdulillah,” pikirku.

Kami masih duduk di teras, bercerita. Tak peduli malam sudah larut. Kami bahagia, setidaknya sudah mendapat tempat untuk tidur. Saatnya bersantai.

Mbak Inna memanjat sebuah pohon jambu yang ada di depan Daffodils menikmati rokok Tali Jagatnya. Aku duduk di kursi bambu sambil bersandar di dinding. Kapit duduk di lantai depan pintu kantor Daffodils.

Malam semakin larut. Sudah tak ada orang yang berkeliaran. Tak ada suara kecuali suara kami bertiga menemani malam. Kami memutuskan masuk ke dalam kelas, mencoba istirahat.

Di dalamnya ada 31 kursi plastik, warna hijau, mengelingi ruangan berbentuk U. Di sisi kanan ada meja dan kursi untuk guru alias teachernya. Ada Whiteboard. Sebuah kipas angin Panasonic yang terpasang di dinding mendinginkan ruangan. Dan lantai dibalut karpet.

Sangat nyaman untuk ukuran orang-orang terlantar seperti kami malam itu. Masing-masing mencari posisi yang nyaman untuk tidur. Aku memilih di samping kanan meja guru. Kapit berbaring di atas kursi dan Mbak Inna masih santai, belum memilih tempat. Ia kemudian mengambil sebuah spidol dan menulis di papan tulis. Sebuah puisi.

Satu,dua, lelaki perempuan di setengah malam
Ketuk 3 kali dan bulan mengintip di balik dinginnya malam
Rona merah sembunyi pada lesung pipimu
Tali hitam di atas pundakku
Rambutnya yang manja
Kantuk yang tertahan di balik pagar
Ucapan selamat malam yang tertunda…
Have a nice dream..

Aku tersenyum membaca puisinya. Aku masih baring di lokasi yang aku pilih. Mbak Inna belum mau tidur. Kapit sibuk menerima telefon. Mbak Inna kemudian berlatih yoga. Ia memang sering melakukannya. Ia mempelajari semua gerakan dari buku. Badannya lentur. Wajahnya tenang. Aku senang melihatnya.

Kapit datang membawa dua gelas kopi hitam. Kantuk lenyap seketika digoda kopi dan tawa. Ucapan selamat malam dan mimpi indah pun tertunda.

Pukul 03:00. Aku kembali ke tempat tidurku yang kuanggap nyaman. Kembali mencoba memejamkan mata. Aku menyetel alarmku jam 05:15. Pintu gerbang kos akan dibuka 05:30, berharap bisa kembali ke kamar tepat waktu. Aku harus kursus jam 05:30.

Alarmku berbunyi. Mbak Inna masih tidur. Kapit tak ada, ia tidur bersama Momo. Aku membangunkan Mbak Inna. Keluar dari kelas, Kapit sudah menyiapkan motornya, ia akan segera pulang ke rumah.

“Aku pulang dulu yah,” katanya.

“Iya, thanks yah..” kataku.

Aku dan Mbak Inna menuju ke depan gerbang. Belum terbuka. Aku menikmati udara pagi, meski kantuk yang tersisa masih terasa. Gerbang dibuka, kami mengayuh sepeda ke tempat parkir kos. Lalu masuk kamar. Mbak Inna melanjutkan tidurnya. Aku bersiap-siap berangkat kursus meski sudah terlambat.
Sepeda onthel sewaanku menemani perjalananku. Mata kupaksa untuk menikmati pagi sambil mengingat kejadian semalam.

“Tak ada ucapan selamat malam dan mimpi indah. Tapi selalu akan ada kenangan yang indah,” pikirku.

Pare, 13 Agustus 2008.

6 komentar:

Eko Rusdianto mengatakan...

hmmm... Tulisan yang menyenangkan. Pengalaman berharga memang jarang ada di kampung sendiri.

Tapi kenapa ya, di blog ini, tulisannya selalu sedih.

Salam,

Anonim mengatakan...

waaah...aku jadi kangen pare, pengen naik sepeda sore2 liat matahari terbenam di tengah ladang tebu dan sayuran...huhuhuhuuuu....

Arju Ashari Risandika mengatakan...

hehehe,bagaimana di pare,enak gak,lam kenal,ni juga nak pare

Karampuang Universitas Fajar mengatakan...

tolong dong nulis tentang karampuang. sedikit mo... yg penting ada... sering-seringlah menjenguk "rumah kami" di dunia maya...

Eko Putra mengatakan...

treims

w mengatakan...

Tulisan yg bgus.Salam dr negara jiran,kl.