Pagi itu, pertengahan bulan Agustus di Yogyakarta. Aku telah bersiap-siap untuk keberangkatanku ke Jawa Timur. Tepatnya ke Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. Sebuah tas yang lumayan besar berisi pakaian dan kantong plastik putih berisi selimut dan buku telah siap menemani perjalananku. Pukul 8.30, sebuah mobil dari sebuah agen perjalanan akan menjemputku. Aku duduk di sebuah ayunan yang terletak di depan kosku menunggu.
Bunyi klakson mobil terdengar. Bunyinya bukan berasal dari mobil, tapi dari handphoneku, tanda pesan masuk. “Tik, kamu tunggu di luar yah. Aku sudah di jalan menuju kosmu.” Sms itu dari Inna. Seorang teman yang akan berangkat bersamaku ke Pare. Ini adalah kali kedua ia ke sana. Sedang aku, adalah pertama kali. Penasaran mengganggu di kepalaku. Seperti apa desa ini?
Mobil akhirnya tiba. Aku mengangkat barangku ke dalam mobil. Aku dan Inna duduk paling depan. Kami berangkat. Satu jam, dua jam lalu enam jam kemudian kami tiba di Kabupaten Kediri.
“Assalamu Alaikum,” sapaku untuk kota ini. Kata ibuku jika kali pertama datang ke sebuah tempat harus ucapkan salam. Itu selalu kuingat.
Satu jam kemudian. Sebuah gerbang tertulis Selamat Datang di Kecamatan Pare menyambut rasa penasaranku. Sawah dan perkebunan tebu menjadi sasaran empuk mata menikmati keindahan desa sepanjang jalan.
“Belok kiri pak,” kata Inna ke supir.
“Tik, kita singgah di warung Pak Nur saja yah untuk sementara. Kita bisa makan di sana, bisa ngutang juga loh. Abis itu, kita cari kos lalu daftar kursus.” kata Inna.
Tujuanku ke Pare adalah kursus Bahasa Inggris. Daerah ini dikenal dengan julukan Kampung Inggris, yaitu di desa Tulungrejo, ada sekitar 60-an lembaga kursus di sini. Murah dan kualitasnya tidak kalah dengan tempat kursus yang mahal, menurut Inna. Dan aku akan tinggal di sini ini selama satu bulan.
Kami memasuki gang, jalannya lumayan rusak. Kami tiba di rumah Pak Nur. Teriakan histeris Pak Nur menyambut Inna, cukup mengagetkanku. Beberapa pria yang menikmati hidangan di warung memperhatikan kami. Aku berkenalan dengan Pak Nur dan istrinya. Rambut Pak Nur seperti vokalis Nidji. Ia lucu. Bahasanya Indonesia campur Inggris. Meski tak pernah ikut kursus, tapi ia bisa menggunakan Bahasa Inggris walau sedikit kacau. Setidaknya, ia masih lebih bisa dariku. Mungkin? Hahaha…
Kami memesan makanan. Istri Pak Nur yang menyiapkannya. Inna membuat es teh. Saat makan, beberapa teman Inna mendatangi kami. Mereka berbincang, bertanya kabar dan membicarakan brondong yang ikut kursus di sini. Menurut Inna, mereka menjadi salah satu hiburan paling menarik di desa ini. Aku tertawa mendengar perbincangan mereka. “Sepertinya menarik,” pikirku.
Di dinding warung Pak Nur banyak potongan koran yang ditempel. Semua berisi informasi tentang pariwisata dan tempat kursus di Pare. Sangat menarik. Berbagai macam tempat wisata terasa sangat menyenangkan di potongan koran tersebut. Gunung Kelud, candi peninggalan Majapahit, gua dan air terjun. Aku berjanji akan mengunjunginya selama aku berada di desa ini.
Setelah makan, kami berjalan sekitar 20 meter dari rumah Pak Nur. Di depan tertulis Lucky House, salah satu kos-kosan yang tersedia di desa ini. Ternyata semua kamar telah disewakan. Kami bingung. Kami memutuskan untuk menyewa satu kamar di rumah Pak Nur saja. Ia pun mengiyakan. Semua barang kami letakkan di sebuah kamar. Hanya ada lemari dan kasur kapok. Itu sudah cukup menurut kami dan sesuai harga, 75 ribu per bulan.
Urusan kamar selesai, setidaknya untuk sementara. Selanjutnya kami mencari tempat kursus. Kami meminjam sepeda mini milik istri Pak Nur. Inna memboncengku. Sungguh menggelikan, karena ukuran badan kami berdua serasa menyiksa sepeda itu. Tawa pun menemani pencarian kami.
Daffodils, lembaga kursus pertama yang kami kunjungi. Seorang wanita menyambut kami. Namanya Mita. Ia bekerja di Daffodils bagian office. Badannya agak kecil, rambut pendek dan ramah. Beberapa program sudah tidak menerima peserta lagi. Yang tersisa hanya program Pre-Intermediete. Di program ini, banyak diskusi dan debat dalam Bahasa Inggris. Inna mendaftar. Aku tidak. Aku belum sanggup harus berdebat dalam Bahasa Inggris. Aku ingin mengambil program Grammar dan Speaking dasar saja. Sebagai pemula tentunya.
Mita merekomendasikan kami ke Kresna, lembaga kursus Bahasa Inggris juga, tapi khusus Grammar. Jaraknya tidak jauh. Kami mengambil sepeda dan melanjutkan pencarian. Di depan Daffodils sebuah tulisan menarik perhatian kami. “Sanjaya House”. Kos-kosan juga. Pengamatan ditunda. Kami harus mendaftar kursus terlebih dahulu.
Perjalanan berlanjut ke Kresna. Jalanan semakin sempit dan tidak beraspal. Aku seperti ingin berjalan kaki saja karena jok belakang sepeda yang saya duduki terbuat besi tanpa busa. Rasanya tulang seperti ingin patah saat ban sepeda melewati batu-batuan. Untung saja jaraknya lumayan dekat.
Tiba di Kresna. Halaman parkirnya luas. Banyak sepeda. Sebelah kiri ada gazebo sederhana. Di dalamnya ada beberapa orang sedang belajar. Di depan ada dua ruangan. Aku menuju ke sebelah kanan, di bagian office. Seorang pria bertubuh kurus dan berkulit hitam menyambut kami. Aku mendaftar kelas grammar. Uang yang ku keluarkan hanya Rp. 80.000,- untuk empat kelas. Wah, murah!
Pendaftaran selesai. Tiba saatnya kembali memikirkan tempat tinggal yang nyaman. Teringat rumah kos yang terletak di depan Daffodils tadi. Kami pun menuju ke sana.
Gerbang Sanjaya di depan mata. Kami masuk. Bertanya. Dan ada kamar yang kosong. Kami memutuskan akan pindah ke sini. Harganya Rp. 90.000 ,- per bulan. Satu kamar ada tiga tempat tidur lengkap dengan kasur busa. Ada lemari bersusun tiga. Cermin. Lantai keramik. Kamar mandi di luar. Dan paling penting adalah batas jam malamnya bisa sampai jam 10. Kebanyakan kos di sini, hanya membatasi jam malam sampai jam 9 saja. Jika terlambat, maka hanya ada ucapan silahkan mencari penginapan jika punya uang atau silahkan tidur di jalan saja jika tak punya uang. Ough!
Barang telah kami pindahkan dari rumah Pak Nur ke Sanjaya House. Dengan becak tentunya. Senang dan lega rasanya, akhirnya bisa istirahat, mandi dan gosok gigi. Hehehe...
Petang usai. Inna mengajakku menemui seorang teman lamanya di sebuah warnet. Namanya Kapit. Awalnya kupikir dia seorang wanita, “Ka' Fit dengan nama panjang Fitri”, ternyata aku salah. Dia salah satu brondong versi Inna. Pakaiannya serba hitam, baju, celana dan kupluk. Ia ketawa cekikikan ketika bertemu kembali dengan Inna. Setelah dari warnet, kami ke sebuah warung makan. Minum kopi, es teh dan makan sambil bercerita. Kapit juga senang menulis. Kami berdiskusi tentang tulisan dan organisasi SAMSARA Abortion Recovery malam itu. Ia akan menjadi pengurus SAMSARA di wilayah Kediri.
Cuaca sangat dingin, tapi menyenangkan. Namun sayang, waktu dan ancaman tidur di jalan karena gerbang kos akan segera ditutup terasa menghantui. Kami pulang pukul 9.40, padahal diskusi malam itu terasa bersemangat.
Tiba di kos. Gerbang sedikit lagi akan ditutup. Masuk kamar lalu tidur dan berharap mendapat mimpi indah. Akh, hari ini terasa melelahkan.
Pare, 11 Agustus 2008. Kali pertama ke Pare.
5 komentar:
Mana tulisan barunya. Bagaimana dengan Ugo Untoro, saya mau baca. Atau kirim ke e-mailku nah...
Assalamualaikum... Tikaaaaaa... Missyou, honey..
Hai, Aga Kareba...
Kamu masih nyimpen notel Daffodills ama Kresna ga.?
Aku pengen nanya2x detail nya sama mereka...
Thanks ya...
boleh nanya tentang sanjaya house ga..???
kira2 di sana da ga yang 1 kamar untuk 1 atw 2 orang aja...???
boleh minta no telp nya..???
Dear Anonim, kalau untuk Sanjaya kos bisa kok untuk 1 orang atau 2 orang saja di dalam kamar. Tapi, sewanya agak lebih mahal. Saya udah gak punya nomernya, maaf. Tapi kalau mau, langsung ke Sanjaya saja.
Posting Komentar