Oleh Sartika Nasmar
Semua berawal ketika aku menerima sebuah sms dari seorang teman kampus pada pertengahan tahun 2007. Ia mengatakan akan berangkat ke Jakarta untuk mengikuti Kursus Narasi yang diselenggarakan Sindikasi Pantau. Aku senang. Pasti. Tapi belum memiliki keinginan yang sama. Aku sendiri sibuk memikirkan karirku di media elektronik, mengingat saat wisuda dan status pengangguran makin dekat.
Wisuda usai. Beberapa hari kemudian, temanku berangkat. Lalu melewati masa-masa kursusnya. Aku mendengar banyak cerita darinya. Sejak itu aku pun mulai rajin membaca tulisan-tulisan di Pantau (www.pantau.or.id). Aku sering mendengarkan darinya, bagaimana Andreas Harsono dan Budi Setiyono bercerita tentang dunia kewartawanan.
Beberapa bulan setelah wisuda, aku diterima bekerja di tvOne. Wilayah kerjaku adalah Kota Palopo dan Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Di waktu-waktu luang, aku selalu menyempatkan diri untuk membaca tulisan yang ada di Pantau. Sebuah tulisan tentang Jurnalisme yang ditulis oleh Sirikit Syah, cukup mengubah pikiranku tentang pekerjaanku. Judulnya membingungkan. Wartawan: Memotret atau Menolong?.
Sirikit Syah memberikan pertanyaan luar biasa dalam tulisannya. Bagaimana tindakan seorang wartawan jika mengahadapi situasi misalnya musibah, kecelakaan, tragedi, dan wartawan yang kebetulan berada di tempat kejadian harus menolong dulu atau memotret, merekam dalam kamera, melakukan wawancara?
Ia kemudian memberikan beberapa contoh tragis yang berhubungan dengan pertanyaan itu.
Kevin Carter. Fotografer pemenang hadiah Pulitzer 1994. Fotonya yang terkenal adalah tentang seorang anak perempuan Afrika yang kelaparan dalam perjalanan ke tempat pembagian jatah pangan. Anak itu jatuh dan dalam keadaan menunggu kematiannya di gurun pasir Afrika dengan latar belakang burung pemakan bangkai yang menungguinya mati. Foto itu menarik perhatian juri dan memenangkan Pulitzer. Kemudian muncul perdebatan: mengapa dia memotret foto mengenaskan itu? Mengapa dia tidak menolong gadis itu? Mengapa dia membiarkan burung itu menunggui si gadis meninggal dunia?
Beberapa bulan kemudian, Kevin Carter ditemukan mati bunuh diri. Banyak yang berspekulasi dan mengatakan dia tak tahan mendapat kritik atas fotonya yang kontroversial itu. Sebagian mengatakan, keganasan perang dan kekejaman alam Afrika di mana dia bekerja, membuatnya depresi.
Aku sendiri bingung. Apakah Kevin Carter adalah seorang yang tega atau menganggap itu adalah konsekuensi pekerjaan sebagai fotografer.
Contoh lain yang dipaparkan Sirikit Syah dalam tulisannya adalah kejadian pada tahun 1996 di Los Angeles. Sebuah stasiun tv, menerima telepon dari seseorang yang bermaksud melakukan bunuh diri dan minta diliput. Stasiun itu mengirim awak TV untuk mendatangi sang sumber dengan peralatan yang lengkap. Bukannya mencegah orang itu bunuh diri, dengan memanggil polisi misalnya, awak televisi itu malah mengantisipasi sebuah liputan “eksklusif.” Mereka mempersiapkan liputan langsung , menunggui orang itu melaksanakan niatnya, dan merekam langsung saat orang itu menembak dirinya sendiri. Orang itu mati di depan kamera televisi. “Live on air!”
Ribuan telepon masuk ke stasiun itu. Mereka mengecam tindakan stasiun televisi Los Angeles itu. Menurut pemirsa televisi yang protes itu, pertunjukan tersebut sama sekali bukan berita yang menarik. Bahkan mengerikan. Mereka keberatan anak-anak mereka menonton “siaran langsung sebuah peristiwa bunuh diri,” yang selain mengerikan juga khawatir dapat ditiru anak-anak. Mereka mempertanyakan “moralitas dan etika para awak televisi itu.” Stasiun tersebut langsung mohon maaf kepada publik.
Aku masih bingung. Untuk beberapa detik siaran berita, dengan harga sebuah nyawa. Demi sebuah istilah “eksklusif.”
Di akhir tulisan, Sirikit Syah memasukkan sebuah pernyataan menarik. “Pada persoalan sejauh mana kode etik dapat dilanggar, memotret dulu atau menolong dulu, saya tetap berpendapat bahwa kita takkan jadi wartawan yang hebat kalau pada mulanya bukan manusia yang baik. Be a good man, than a good journalist. Itu saja.”
Aku tidak lagi bingung.
Lalu aku pun mendengar kabar bahwa Pantau akan mengadakan kursus narasi di Yogyakarta pada bulan Juni 2008. Aku memutuskan untuk mengikuti pelatihan itu.
Sekarang, tiga minggu berlalu melewati masa-masa pelatihan yang menyenangkan bersama Budi Setiyono, Andreas Harsono, Anugerah Perkasa, Dian Lestariningsih dan tentu saja dengan 15 peserta lainnya.
Adam, bekerja sebagai koordinator pendidikan Cindelaras, asal Yogyakarta. Arie Oktara, mahasiswa UGM dan pengusaha warung kopi, asal Yogyakarta. Astri Kusuma, mahasiswa S2 UGM jurusan Hubungan Internasional, asal Yogyakarta. Ayya Zakiah, wartawan Majalah Gong, asal Yogyakarta. Danu Primanto (DP), seorang fotografer muda, asal Gambiran, Yogyakarta. G.S Purwanto, bekerja sebagai staf publikasi Cindelaras, asal Yogyakarta. Inna Hudaya, seorang blogger dan bergabung dengan PAS Healing, asal Tasikmalaya. Jati Kusuma, seorang apoteker dan aktif di International Planned Parenthood Federation sebagai Youth Representative, asal Semarang. Khanis Suvianita, seorang aktivis di GAYa Nusantara, asal Surabaya. L. Hardi Pranoto, staf pengajar dan konsultan manajemen di PPM-Manajemen, asal Jakarta. M.A Malik, seorang fasilitator desa, asal Mahamkaji, Sukoharjo. Nurul Kodrati, mahasiswa S2 di Umea International School of Public Health di Swedia, asal Kotagede, Yogyakarta. Novita Dwi Arini, aktivis Solidaritas Perempuan Kinasih, asal Yogyakarta. Punto Wijayanto, arsitek dan peneliti di Jogja Heritage Society, asal Yogyakarta. Siti Mazdafiah, seorang dosen di UBAYA, asal Surabaya. Dan terakhir, adalah saya, Sartika Nasmar, kontributor tvOne, asal Palopo, Sulawesi Selatan.
Banyak hal yang menarik terjalin selama kursus ini berlangsung. Santai tapi serius. Suasana kursus dilakukan dengan lesehan di pendopo Cindelaras atau di Warung Kopi Plus. Sangat menyenangkan. Penuh dengan lelucon. Bukan hanya karena bertemu dengan pemateri dan teman yang luar biasa, tapi membuatku mengenal lebih jauh pekerjaan sebagai wartawan.
Kami belajar bagaimana memasuki dunia menulis panjang dengan gaya narasi, dengan merekonstruksi adegan-per-adegan sebuah peristiwa yang akan ditulis. Membuat sebuah kebenaran adalah suatu yang mutlak dalam jurnalisme. Bukan agenda setting, bukan pula laporan fiktif. Tapi, fakta, fakta dan fakta.
Karena ini pelatihan, maka tugas-tugas pun tak luput sebagai kewajiban kami. Tugas pertama adalah membuat profil. Kami diberikan selembar kertas yang telah dipotong dan dibagikan kepada semua peserta. Masing-masing kertas mempunyai pasangan. Tugas kami adalah saling mencocokkan potongannya dan membuat profil sesuai pasangan dari hasil acak tersebut.
Masing-masing peserta yang telah menemukan pasangannya segera melakukan wawancara. Tentunya dengan semangat sebagai langkah awal. Ada yang membuat janji bertemu malam hari untuk wawancara dan ada pula memanfaatkan tekhnologi internet (chatting). Kami diberi waktu satu malam, untuk menyelesaikan profil pasangan acak kami. Besoknya, dua tulisan kemudian dibaca dan dikritik oleh Budi Setiyono.
Tidak hanya membuat profil peserta. Kami juga diberi tugas membuat outline untuk tugas akhir berupa tulisan narasi hingga 5.000 kata. Bagiku tentu sangat sulit. Aku sendiri sehari-hari telah terbiasa menulis naskah pendek untuk berita tv. Hanya sekitar 32 kata untuk satu paragraf. Jika harus menghitungnya, aku diharuskan membuat naskah tv untuk berita yang berdurasi satu menit empat puluh detik dengan lima atau enam paragraf saja, hanya sekitar 160 kata. Ini adalah tantangan terberatku.
Aku memilih menulis profil Rubiyem. Istri kedua Affandi, Maestro seni lukis Indonesia. Aku mulai melakukan riset tentang Affandi dan istri-istrinya. Aku membaca berbagai artikel dan berita, mulai dari yang beredar diberbagai situs di internet hingga mendatangi Perpustakaan Arsip Nasional Yogyakarta. Tidak hanya itu, aku pun mulai melakukan wawancara dengan Rubiyem meski kesulitan karena aku tak bisa Bahasa Jawa. Sungguh tidak mudah dan sangat berbeda dengan yang kulakukan sebagai wartawan tv.
Aku semakin sadar bahwa buku Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel seharusnya menjadi buku wajib seorang wartawan. Mereka merumuskan Sembilan elemen penting yang harus diperhatikan seorang wartawan.
1.Kewajiban pertama jurnalisme adalah kebenaran.
2.Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat.
3.Intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi.
4.Praktisi jurnalisme harus menjaga independensi terhadap sumber berita.
5.Jurnalisme harus menjadi pemantau kekuasaan.
6.Jurnalisme harus menyediakan forum kritik maupun dukungan masyarakat.
7.Jurnalisme harus berupaya keras untuk membuat hal yang penting menarik dan relevan.
8.Jurnalisme harus menyiarkan berita komprehensif dan proporsional.
9.Praktisi jurnalisme harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka.
Buku tersebut kini telah direvisi menjadi 10 elemen jurnalisme. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menambah satu elemen yaitu hak dan tanggung jawab warga.
Dengan sangat berhati-hati dan peduli dengan 10 elemen di atas, aku mengerjakan profil Rubiyem dengan penuh keyakinan. Sayang, setelah masuk ke dalamnya, aku kesulitan mendapatkan akses di keluarga Rubiyem. Aku pun mulai berkonsultasi dengan Andreas Harsono dan Budi Setiyono melalui email. Andreas Harsono menyuruhku mencari isu lain untuk tugas akhirku, dengan alasan akses yang sulit kudapatkan karena ini adalah proses awalku belajar menulis narasi. Aku kecewa, dadaku seperti ingin meledak. Aku belum pernah terlihat begitu kecewa dengan kegagalanku terhadap sebuah tulisan, bahkan ketika aku gagal mendapatkan gambar yang baik untuk satu liputan. Tapi kali ini aku gelisah. Entah kenapa. Aku seperti mempunyai tanggung jawab besar dalam keinginanku menulis. Ataukah karena aku merasa menulis narasi membuatku mengerti tugas seorang jurnalis dalam memberikan laporan? Di mana kejujuran selalu ada dalam setiap kata.
Seturan, Yogyakarta.
09 Juli 2008
20 komentar:
Lebih semangat lagi...
rubiyem, where are you?
assalamualaikum... memang itu Tik... Sirik sekali nah... Tidak bisa sekali liat orang senang.. Begitu memang kodong orang yang mau sekali dapat perhatian.. ehm... Sowry Tik... mau sekalika kandatto'ki itu kaka.. Nantipi kalo kugappa ki..
Btw.. saya baca tulisanmu yang "kata adalah kejujuran". Hummm.. bagus tapi terlalu teoritis Tik.. Hehehe.. kritik aje.. Banyaknyami itu pengalaman berharga ko dapat Tik, bagi-bagi nah.. Kalo mau meq balik ke makassar, bilang2 nah, mauka titip mukenah. Eh... satu lagi.. rajinnya eko comment.. ehm.. ehm.. siapa sihhh?? (",)
commentku di hapus??? (yang ini jangan)
untuk dia: we, anu kauji itu selalu sirik melihat ketampananku! awasko tidak sy balas-balas lagi smsmu, menangis darahko!
Buat Ve,
Makasih kritiknya. Btw, engkau dan K'Ibe sepetinya asyik bertengkar dengan menggunakan blogku? Hahahaaa... Tapi, tidak apa-apa ji yang penting banyak comment di blogku. Hahahaaa... Jadi ikut-ikutan ka narsis.
Ve, nda jadi ka pulang bulan ini. Mau ka lanjut kursusku di Kediri. Tapi, kursus Bahasa Inggris. Heheheee
assalamualaikum.. Tawwa Tika.. Berapa lama bede kursusx? Apa nama lembaga bahasa Inggrisx? Kenapa gak kursus bahasa Inggris di Makassar saja Tik? Pasti lebih bagus di'.
buat si jelek yang selalu jelek :
ededeh.. biar dia itu yang nge-fans abis sama saya. jangan laloq ka... pffffttttt!!!!
sowry Tik saya libatkan blogmu, soalx itu K Ibe memancing perkelahian sekali.
Buat Ve,
Kalau kursus di Makassar atau di Palopo butuh duit jutaan. Kalau di Pare, Kediri, 1 program tu cuma 85 ribu/bulan. Pertemuannya tiap hari. Kost cuma 60 rb/bulan. Murahkan??? Rencananya mau ambil 2 program: Speaking aktif & writing. Doakan ya??? Btw, apa diriku akan dipecat?? Hahahaaa...
Buat Kak Ibe & Ve,
Silahkan meramaikan blogku dengan pertengkaran adu narsis. Heheheee...
Saya seh, senang2 aja...
Thanks..
hah! ini juga pemlilik blog provokator, tepuk tangan liat cwo tampan & cwe jelek bertengkar di arenanya. hehehe, mau jadi wasit? bunyikan pale dulu loncengnya...TING!
We, sy lebih pilih nonton julia perez bernyayi dangdut daripada nonton berita!
Bawel sekali itu temanmu Tika, ta'10 pertanyaannya dalam 1 paragraf... posoki bati-bati...
assalamualaikum... Dehhhh bisanya itu dipecatko... Insya Allah tidak.. Justru bagus kalo ada kontri yang jago bahasa Inggris. Siapa tau dikirimko ke Australia jdi kontributor... Hehehehe.. Amin.. Tapi murah di'.. Berapa orang pesertanya Tik? Tiap program berapa lama Tik?
Buat ve,
Tiap program, 1 bulan. Murah to??? Btw, masa Kak Ibe na samakan ko dengan Julia Perez???? Waduh, kalu saya to ngamuk2 ma'...
Australia??
Mau..
Mimpi kali ye...
Btw, walaikumsalam nah..
Buat Kak Ibe,
Ting!!!
assalamualaikum...
My turn : Wehhhh!! Ka Ibe...!! Memang kalo saya perhatikanq toh, wajah saja satu tingkat di bawah pas-pasan, tingkah laku tidak ada sopan santunnya, tontonannya gak mutu.. Lebih suka nonton acarax Julia Perez dibanding berita. Kenapa? Ngarep JuPe naksir sama kaka yah???!! hoaaakkkkhhh... kumpul2q duit sama teman kost ta beli cermin yang lebih besar supaya bisaq bercermin dengan jelas dan kelihatan semua jeleknya. Atau kalo nda ada uang ta, pinjam meq tanganx siapakh begitu, terus suruh dia letakkan tanggannya dengan amat keras di pipinya kaka, supaya sadarq.
Jelek????? Kakak kaliiiiii... Masa ada orang jelek ditongkrongin di depan kamera tv nasional yang punya nama besar di masyarakat..
Dehhh biar itu dia yang selalu bati-bati saya...
ADuhh Tik... Jammoko tolo persilahkan ini kaka mondar-mandir di blogmu... Nanti terblokirq blogmu... Ko taumi dia to' sembarang na bilang... Btw... Tik... Lama-lama ini blogmu jadi ring tinju (",)
Wah, makin parah saja pertengkaran antar Kak Ibe dan Ve Miranty, saudara-saudara.
Sepertinya anda semua harus menentukan pilihan secepatnya. Jangan sampai terlena dengan pertengkaran mereka berdua.
Ting!
hai tik....salam kenal. ma kasih udah mampir ke blog-ku. jadi, di jogja ketemu eko, dooong? dia bela2in lho, ke jogja. demi...demikian...hehehe :p
jadi ngiri liat kelas narasi yg di jogja itu. kangen ma Dian, dan pengen ngikutin kelasnya Arif Budiman.
Baiklah! (berdiri sambil meregangkan otot habis di pijit di sudut ring) We, PANDA/SAMBUTUNG/NYET/BOND/ (berpikir, mengingat apa lagi yang jelek2) rewana anne kalo di blog... pas itu (?), deh ciut...iye iye terusji. Itu mulut kayak senjata otomatisnya Jhon Rambo...tidak ada jeda kalo takkala cerita....
Wasit! bunyikan lonceng sebelum sy tanggalkan satu-satu giginya, supaya tidak ada lagi t4 bertengger kawat giginya, bawel dudui bela...
Buat Mbak Yati,
Kelas Narasi bertemu Arief Budiman dilakukan bulan September. Masih lama kok. Mbak, aku tinggal ama Mbak Dian. Ntar aku sampaikan salamnya yak???
Eko masih di Jakarta Mbak. Demikian adanya. Hehehe..
Senang sekali berkenalan dengan Mbak Yati.
Salam,
Tika
Assalamualaikum... Demikian adanya apa Tik... Hehehehe... Ehm.. Ehm..
Ededeh... Kenapa tong ini ka Ibhe deeee... Ributnya di'Tik... Mengganggu ketenangan sekali.. Ko nda merasa terancam dengan keberadaannya di blogmu??? Usir mako do'
Buat ka Ibhe :
Astagaaaaaaaa... Kapan saya cuma "iye iye..."?!!? Justru sayami itu paling kritis tanggapi orang kayak kaka.. Mauki kasih rontok gigiku..?? Puiihhhh.. Kekuatannya saya kayak ranting pohon yang keriiiinnnggggg yang satu kali didatte', ta' belah dua mi.. Payahhh...
huehehehe....
menyerahma/KO ma saya deh....Wasit! kasimi pialanya sama itu imitasinya Kunfu Panda...
bye......
wahh..makin hebat aja neh, adek-ku yang satu ini..tetap semangat dan cepat pulang biar tim kita semakin kuat ...: )
waahhhh..makin hebat aja neh..adek-ku yang satu ini, moga sukses yah pelatihannya..trus cepat pulang, biar tim kita makin hebat lagi...: )
assalamualaikum... Tikaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa....
Posting Komentar