Suara Michael Buble menyanyikan lagu I Wanna Go Home mengingatkanku suasana rumah. Aku rindu rumah. Aku rindu kampung halaman. Aku rindu Ibu. Aku rindu Ayah. Aku rindu kakak, adik dan keponakanku Lingga.
Aku tak pernah menyangka meninggalkan mereka adalah kepedihan yang mendalam.
Sunyi.
Rindu.
Tentu saja ada air mata.
Tapi bukan menyerah. Air mataku hanya sebatas ungkapan rindu saja.
“Hati-hati ko nak, di kampungnya orang. Jangan ko lupa salat sama berdoa. Ingat kalau tinggal di sana, jangan suka tumpuk baju kotor. Kalau mandi, langsung dicuci. Rajin-rajin ko bersihkan kamarmu le’,” pesan Ibuku sebelum aku meninggalkan rumah.
Sebelum berangkat, aku pamit kemudian memeluk, mencium pipi dan tangan Ibu. Ia menangis. Ini kali pertama ia melepasku ke Pulau jawa, Yogyakarta. Tatapannya seolah-olah ingin melarangku pergi. Tapi tak ia lakukan. Selain Ibu, ada Tante Ida, saudara sepupu Ibu yang datang berkumjung ke rumah. Sama seperti Ibu, ia juga memeluk dan menciumku. Keponakanku, Lingga sedang tidur di dalam sebuah ayunan berwarna biru. Aku menatapnya dengan penuh kasih sayang kemudian mencium pipi lembutnya. Hanya sebentar. Aku tak ingin mengganggu tidurnya. Adikku berteriak mengucapkan selamat tinggal dari kamar mandi belakang. Sedang Ayah dan Kakakku tak ada di rumah saat aku berangkat. Mereka ke kantor. Aku hanya pamit lewat telepon.
“Hati-hati ya nak, jangan lupa kasi’ kabar kalau sudah tiba,” pesan Ayah melalui telepon.
Matahari sangat terik. Saat itu pukul 14:58 wita. Kupandangi rumah petak Ayah yang belum selesai dibangun. Ibu dan Tante Ida masih berdiri di pintu rumah. Memandangku dengan doa. Dadaku seperti ingin meledak. Bibirku bergetar. Mataku merah menahan tangis. Aku tak ingin Ibu melihatku menangis. Aku ingin tampak tegar dan kuat di depan Ibu agar ia bisa lebih tegar dariku.
Aku ke Yogyakarta. Kota pelajar, kata banyak orang. sebut saja perjalananku ini dengan merantau. Di Yogya, aku akan mengikuti kursus narasi yang diselenggarakan Pantau.
Pesawat Merpati membawa aku bersama Eko menuju Yogyakarta. Aku menginjakkan kaki di kota ini malam hari. Pukul 22:30. Kami dijemput Mbak Dian Lestariningsih di Bandara Adi Sucipto Yogyakarta. Dengan Taxi, kami menuju rumah kos-kos-an Mbak Dian di jalan Seturan. Hatiku masih berdebar-debar. Aku berpikir, bagaimana beradaptasi dengan lingkungan baru lagi. “Setelah hotel Seturan, belok kiri ya pak,”kata Mbak Dian kepada supirTaxi.
Kami singgah di sebuah rumah bergaya minimalis. Di depan pagar ada tulisan: terima kos putri. Mbak Dian membuka pagar besi cat warna merah. Di sisi kiri ada sebuah kolam kecil. Airnya sangat kotor. Sebelah kolam ada sebuah mushollah. Sedang di sisi kanan, dekat garasi ada sebuah ayunan besi.
“Mas Aan…” teriak Mbak Dian sambil berdiri di salah satu pintu. Seorang pria, kemudian membuka pintu dengan tersenyum. Dialah Mas Aan, pemilik rumah yang ia jadikan kos-kosan. Sebuah jam berukuran kecil di atas televisi Mas Aan kemudian menarik perhatianku. Pukul 21:47 wib. Saat itu aku baru sadar kalau perbedaan waktu di Yogya lebih cepat sekitar 60 menit dari Makassar.
Eko dijemput oleh Nay di kos Mbak Dian. Tinggal aku, mbak Dian dan Mas Aan. Mbak dian mengajakku ke lantai 2, tepatnya di kamar yang telah ia sediakan untukku.
“Ini kamarmu lo Tik. Sudah ta’ bersihkan. Sudah ada kasur dan dua bantal,” kata Mbak Dian.
“Di sini kamar mandinya,” sambil membuka pintu kamar mandi. Sudah tersedia sebuah baskom lengkap dengan gayungnya. Ia kemudian berjalan keluar. Aku memperhatikannya. Tak lama kemudian, ia datang membawa kursi plastik dan menaruh baskom di atasnya. Di bawah keran air. Lalu memutar keran air tersebut.
“Biasanya anak kos mandinya kaya’ gini,”sambil memainkan gayung naik turun seperti sedang mandi. Aku memberikan senyum termanisku kepadanya.
“Apalagi ya? Kamu butuh apa lagi?”tanyanya kemudian.
“Ndak usah Mbak, ini sudah cukup,”jawabku lugu.
Ia kemudian keluar dari kamarku. Ia belum berhenti bicara. Ia kemudian memberiku air mineral dan roti tawar yang dibungkus dalam kantong plastik warna putih. “Makasih banyak Mbak,”kataku.
“Besok ada peserta juga yang mau nginap di sini. Dari Surabaya. Namanya Khanis. Ia kerja di GAYa NUSANTARA. Tapi kayaknya ia akan bolak-balik Yogya Surabaya deh,” jelas Mbak Dian.
GAYa NUSANTARA sebuah lembaga yang mendukung adanya keanekaragaman seks, gender dan seksualitas. Anggotanya banyak kaum homo dan lesbian. Aku bertanya dalam hati, “jangan sampai Mbak Khanis juga lesbian, bisa gawat.” Malam itu aku gelisah. Intinya aku penasaran. Apakah Khanis seorang lesbian.
Mbak Dian kemudian membuyarkan pikiran tentang Mbak Khanis dengan mengajakku ke warung kopi. Tentu saja aku mau meski lelah masih mengganggu tubuhku.
Udara malam Yogya sangat dingin. Aku mengancing rapat resleting jaketku. Dingin masih juga aku rasakan. Motor Mbak Dian terus melaju dengan kecepatan agak tinggi sambil memberitahuku nama jalan yang kami lewati. Kami kemudian tiba di warung kopi plus di daerah Bandeng. Memasuki warung itu, aku merasa seperti berada di desa. Suasananya begitu nikmat. Remang-remang. Lagu bahasa Jawa makin membuatku seperti di desa.
Kami memesan makanan dan minuman. Aku memesan mie goring telur dan teh manis hangat. Mbak Dian memesan teh jahe dan roti coklat keju. Sedang teman Mbak Dian, Mas Andre memesan kopi dan nasi kucing. “empat belas ribu Mbak,”kata pria yang bekerja seagai kasir di warung itu. Aku kaget. “Apa? Pesan sebanyak ini bayarnya hanya empat belas ribu? Apa tidak rugi?”tanyaku dalam hati. Pulang dari warung itu, aku menanyakannya pada Mbak Dian. Mbak Dian hanya tersenyum.
Sekitar pukul 00:00 kami kembali ke kos-kosan.
Malam itu aku tidur di kamar Mbak Dian menemaninya nonton bola. Pertandingan belum selesai aku sudah tertidur. Paginya aku kembali ke kamar. Tak lama kemudian, Mbak Dian berangkat ke kantor. Aku sendiri bingung mau ke mana. Eko tak bisa keluar, ia tak tahu jalan di Yogya. Karna bosan di kamar, aku memilih keluar. Singgah di sebuah bengkel yang juga menjual pulsa. Kuhabiskan pagi pertamaku di sebuah bengkel bersama Pak Juanda, pemilik bengkel.
Aku bosan. Lama menunggu kabar Eko selanjutnya, aku kemudian mengirim sms ke Jalling, temanku yang sekarang berada di Yogya. Ia membalas, dan menyuruhku menunggu di Bengkel Pak Juanda. Hanya dua puluh menit, ia sudah tiba. Ia pun mengajakku keliling Yogya dengan Trans Yogya atau lebih dikenal Busway.
Masih hari pertama di Yogya, aku sudah rindu rumah. Rindu Ibu. Rindu Ayah. Rindu kakak, adik dan keponakanku Lingga.
Ibu kemudian menelponku.
“Di mana ko nak?”tanyanya.
“Di atas busway,”jawabku.
Ia kemudian tertawa.
“Hati-hati ko le’ nak, belajar ko baik-baik di situ. Jangan lupa salat,” kata Ibu mengulang pesannya saat aku berangkat.
“Iye’ ma’. Jangan khawatir. Baik-baik ja di sini,”
Setelah mengucapkan salam, Ibu mematikan telepon. Aku masih di atas busway.
Mengingat Ibu.
Merindukan Ibu.
Seturan, Yogyakarta.
25 Juni 2008
3 komentar:
Betul sangat keren. Tetap semangat. Ayo terus belajar.
Assalamualaikum! Wuiihhh tawwa… enaknya itu merantau ke kota lain, Yogya lagi gang… At least more peace than Makassar might be… By the way, kenapakah kalo pun dia lesbian, GR nya ine… Kayak tong dia mau sama kau, pilih-pilih tonji itu dia, tenang mako… Hehehehe….Tapi saya tunggu ceritamu tentang dia dan GaYa NUSANTARA, saya yakin ko punya banyak cerita yang menambah pengetahuan. Baek2 ko nah di sana, jaga dirimu nak, belajar yang giat, dan ingat shalat… (hehehe kayak tong ma macemu).. Oh satu lagi.. kalo ko kangen sama saya, nonton mako Kabar Petang tvOne..
hhhmmm, dimana-mana saya liat ini orang narsis/Vee beredar mempromosikan diri, sekaligus berceramah...mauka undang berceramah di masjid dkt rumahku deh..kenapa setiap sy pindahkan chanel tvku ke TVOne, selalu roboh antena-nya. hehehe
Posting Komentar