3 Agu 2008

Dari Tjangkir 70 ke Tugu Yogya

Senin, 14 Juli 2008. Satu hari setelah kursus narasi Yogyakarta selesai. Aku dan teman (Inna Hudaya) berencana menuju Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Tujuan kami adalah mencari tahu tentang Taring Padi, sebuah komunitas seniman. Mbak Inna ingin menulis tentang mereka, dan saya menemani saja, sekedar ingin berkenalan.

Pagi hari, Mbak Inna mengirim sms. “Tik, kamu ke kosku jam 3an saja yak. Aku masih instal laptop,” katanya. Aku ke kos Mbak Inna, di Jalan Kaliurang sebelum jam 3. Ia belum selesai meng-instal laptop barunya. Aku menunggu sambil bercanda dengan anak pemilik kos Mbak Inna. Namanya Jidan. Ia memperlihatkan beberapa permainan yang ia katakan sulap. Laptop Mbak Inna belum juga beres, aku malah sempat tertidur di kamarnya.

Saat bangun, Mbak Inna sudah selesai mandi. Sudah pukul 5.30. Kami tidak jadi berangkat ke Bantul. Kami ke warnet, hanya sebentar. Perut kami yang sudah meminta makan memaksa kami melanjutkan perjalanan pada sebuah angkringan di belakang Universitas Negeri Yogyakarta. Kami memesan nasi sego macan ditambah tiga sate usus, dua sate telur, satu ceker bakar, dua tempe goreng, satu gelas es teh dan air putih. Lalu duduk di tikar yang diletakkan di atas trotoar samping selokan mataram.

Makan selesai. Kami ke Jalan Janti. Warung Tjangkir 70, milik Ari, teman kursus juga. Ia tampak senang melihat kedatangan kami di warungnya. Kopi mentega (menu andalan Ari) dan kopi jahe menemani aku dan Mbak Inna dalam remang-remang lampu hias di warung itu. Ari menawarkan kami secara gratis telur asin. “Nih, ada telur asin. Gratis ko’. Tapi, awas loh kalau kentut bau,” katanya menghibur kami.

Kami bertiga bercerita, berdiskusi dan bercanda sambil memainkan dua laptop di atas meja. Foto-foto saat kursus menjadi bahan pembicaraan terhangat. Lagu-lagu dari laptop Mbak Inna, menemani kami berdiskusi. Berbagai macam aliran musik. Mulai dari Marginal Band, Ippank, Sapardi, hingga Trisna Livia (Gubuk derita). Tak perduli banyak orang di warung Ari. Suara tawa kami terdengar seperti dilakukan oleh lebih dari sepuluh orang.

Satu jam berlalu. Aku meminta segelas kopi jahe lagi ke Dita (teman Ari di warung).

Malam itu kami senang. Setiap mengakhiri perbincangan, Ari akan mengeluarkan dengkuran seperti babi dan berkata, “Bencong.” Ia memanggil aku dan Mbak Inna bencong. Kami memanggil Ari, tomboy. Hahaha…

Dua jam berlalu. Aku memesan Pizza mie kuah. Mbak Inna pesan teh tawar. Wajar saja kami lapar lagi, sudah jam setengah satu.

Aku dan Mbak Inna memang berniat begadang malam itu. Aku ingin menikmati Yogya malam hari. Aku ingat Ari pernah berkata padaku, jika berada di kota ini dan belum foto di Tugu Yogya, maka kamu belum sah menginjakkan kaki di kota ini. Entah apa alasannya. Mungkin karena nilai sejarahnya. Jadi, aku meminta Mbak Inna menemaniku ke Tugu tersebut untuk foto. Kebetulan malam itu aku membawa sebuah kamera digital. Ari ingin ikut. Kami menunggu hingga warungnya tutup.

Pukul 2.00, warung sepi. Pengunjung telah pulang. Tinggal aku, Mbak Inna, Ari dan Dita. Aku dan Mbak Inna masih berhadapan dengan laptop. Ari cuci piring. Dita menggulung terpal dan menghitung uang hasil penjualan makanan dan minuman di warungnya malam itu.

Lampu warung mati. Kami siap berangkat. Di depan ada dua wanita seperti menunggu seseorang. Tidak lama kemudian dua pria datang dengan mengendarai mobil. “Waduh, bahaya nih warung gua dijadiin tempat mesum,” kata Ari, khawatir.

Aku memilih naik sepeda Phoenix milik Ari. Sedang Ari dan Mbak Inna naik motor shogun hijau yang kupinjam dari teman. “Benar kamu mau naik sepeda? Jangan sok lo.” kata Ari meyakinkanku. Tekadku sudah bulat akan bersepeda malam itu. Meski kadang aku harus mengayuhnya sekuat tenaga. Sesekali aku memegang tangan Mbak Inna lalu ia menarikku. Mereka tertawa melihatku kelelahan. Tiba di tikungan dari Jalan Janti ke Jalan Solo, ada dua orang polisi berjaga. Dari pinggir jalan terdengar suara pria menggoda. Aku tidak peduli. Kali ini aku sendiri. Mereka meninggalkanku. Lalu hilang. Aku mencari, melihat ke kiri, kanan, dan ke belakang. Aku tak menemukan mereka. Aku mulai khawatir. Lalu ada suara tawa dari samping kiri, trotoar yang gelap. Aku mengenal suara tawa itu. Mbak Inna dan Ari. Seorang pria di atas becak sambil baring ikut menertawakanku. Aku sedikit lega meski masih ngos-ngosan. Kami melanjutkan perjalanan.

“Masih kuat ga’?” tanya Mbak Inna.

“Masih Mbak. Tenang aja.” kataku.

“Tik, giginya diganti. Biar ga’ keras kayuhnya.”

“Gigi apa?” tanyaku.

“Wah, dasar wong deso.” ejek Ari, sambil tertawa sekeras-kerasnya.

Aku mengikuti saran mereka. Ternyata memang benar, aku mulai ringan mengayuh sepeda itu. “Wah, dasar wong deso,” batinku.

Aku meminta singgah membeli minuman. Aku lelah. Lututku gemetar. Keringat mengalir. Punggungku panas dan pedis akibat koyo cabe pemberian Mbak Inna. Obat pegal-pegal katanya. Tawa mereka semakin menggila. Aku membiarkan mereka melakukannya. Aku pasrah. Kami singgah di Circle Klei. Aku langsung baring dan meluruskan kaki di tangga toko. Mereka terus menertawakanku sambil masuk ke dalam toko. Aku membeli pocari sweat. Mbak inna membeli sebotol bir (Heineken). Kami foto di depan toko dengan berbagai macam gaya. Kami bahkan meminta tolong kepada seorang pria untuk memotret kami bertiga. Kami tidak peduli pada orang lain malam itu. Yogya serasa hanya milik kami bertiga.

Ari mulai candaannya. “Tik, aku punya candaan,” katanya. “Tapi kamu harus janji jangan marah ya?” tambahnya, meyakinkanku. Aku tidak curiga sama sekali. Kami berhadapan. Ia kemudian mendengus ke wajahku. Ada cairan yang muncrat dari hidungnya. Ia lari. “Wah, kurang ajar kamu Ri’.” Aku mulai marah dan mengejarnya sambil mengeluarkan beberapa kalimat menyakitkan hati. “Tadi kamu kan sudah janji, tidak marah,” Ari membela diri. Mbak Inna hanya tertawa sambil menghisap rokoknya. Aku mencuci mukaku dengan air pocari sweat.

Aku mulai mencari cara untuk balas dendam. “Ri’, aku punya candaan. Tapi kamu jangan marah ya?” tanyaku. Ari curiga aku akan balas dendam. Aku memasukkan air pocari sweat ke dalam mulut lalu kusemburkan ke arahnya. Ia berhasil lolos. Tidak kena. Aku masih mencari cara lain.

Aku lapar. Wajar saja, naik sepeda menguras banyak tenagaku. Aku beli es krim dan Chitato. Sambil makan es krim, aku mulai berkata. “Ari, aku punya candaan.” Aku menyuruhnya menutup mata. Ia melakukannya. Lalu kucolek es krimku dan kutaruh ke wajahnya. Kali ini aku berhasil membalas, meski tidak terlalu menyakitinya. “Kurang ajar,” katanya sambil tertawa.

Makanan dan minuman habis. Kami melanjutkan perjalanan ke Tugu. Aku masih memilih naik sepeda. Ari dan Mbak Inna naik motor. Aku berusaha mengejar mereka. Kadang-kadang mereka melewati jalan yang tidak perlu dilalui, hanya untuk buatku makin lelah. Pukul empat, kami tiba di jembatan Gondolayu. Mbak Inna turun dari motor lalu berpose di tembok jembatan minta difoto. Kamera jatuh. Rusak. Mbak Inna masih bertahan dengan gayanya. Ari memeriksa kembali kamera. Mbak Inna kecewa tahu kamera rusak. Aku juga kecewa tentunya.

Tak ada foto. Kami berdiri menghadap Sungai Code. Sungai yang membelah Provinsi Yogyakarta. Mata airnya ada di kaki Gunung Merapi. Di sekitar sungai ada pemukiman. Tata bangunannya indah, arsitekturnya bernama Romo Mangun. Kami memandang dari sisi jembatan dengan cahaya lampu yang berdiri kokoh berjejer di sepanjang jembatan Gondolayu. Sangat indah.

Kembali ke tujuan awal kami adalah foto di Tugu Yogya yang letaknya sudah di depan mata. Ari mencoba perbaiki kamera. Tapi tidak bisa dipakai lagi. Kami memutuskan tetap ke Tugu. Akhirnya sampai juga. Ada dua wanita yang sedang berpose di sekitar Tugu. Mereka memakai baju tanpa lengan. Model rambut mereka sama, panjangnya sebahu dan lurus. Satu diantara mereka bibirnya sumbing.

Sedang kami, tak ada foto sesuai rencana. Hanya bercerita. Mbak Inna menceritakan sejarah Tugu Yogya kepadaku. Layaknya seorang ibu yang sedang mendongengkan anaknya. Aku mendengar cerita. Sesekali aku menoleh ke Mbak Inna, lalu menoleh ke Ari, dan kadang-kadang mataku tertutup karena ngantuk. Ia tetap bercerita.

Tugu Yogya terletak di perempatan Jalan Pangeran Mangkubumi di sisi selatan, Jalan AM. Sangaji di sisi utara, Jenderal Soedirman di sebelah timur dan Pangeran Diponegoro di sebelah barat. Tugu ini berdiri setinggi 15 meter dan diresmikan pada 3 Oktober 1889 atau 7 Sapar 1819 tahun jawa.

“Kamu tau ngga’ soal kosmik Jogja?” tanya Mbak Inna.

“Tidak,” jawabku.

“Di Jogja ada empat titik yaitu Laut Kidul di selatan, Merapi di utara, di timur ada Gunung Lawu dan di barat (aku lupa). Ke-empat titik itu adalah bekas tempat pertemuan kanjeng ratu Kidul dan panembahan Senopati. Tugu ada tepat di tengah-tengahnya. Itu sebabnya upacara labuhan biasanya diadakan di Parangkusumo, Merapi, Lawu dan...lupa.” katanya.

“Tik, konon katanya ada lorong atau jalan rahasia di bawah Tugu ini. Lorongnya menghubungkan empat titik itu.” kata Arie.

“Oh, ya? Terus kita bisa ke sana tidak?” tanyaku.

“Ye, orang bilang katanya. Tapi nggak tahu benar atau tidak.” balas Arie.

Kami memandang beberapa orang yang datang ke Tugu foto dengan bermacam gaya. Ada yang duduk di depan Tugu dan di tengah jalan sambil melompat. Wah, bikin iri saja. Aku mengeluarkan hpku. Berpose bersama Mbak Inna. Padahal hpku tidak punya fasilitas kamera, hanya sekedar mengobati kekecewaan karena kamera rusak.

Empat lampu yang mengelilingi Tugu mati. Lampu jalan juga mati. Sudah banyak kendaraan melintas. Kami masih di Tugu. Hanya kami bertiga. Duduk bercerita. Aku dipijat Mbak Inna. “Sepertinya nggak lucu kita masih duduk di sini kalau sudah terang, udah pagi nih,” kata Ari. Kami tertawa. Lalu memutuskan pulang. Sudah jam enam. Kami menyeberang menuju tempat kami memarkir motor dan sepeda. Kami pulang. Ari dengan sepedanya menuju Asrama Lampung. Aku dan Mbak Inna naik motor menuju Jalan Kaliurang.

Dingin sekali pagi itu. Tapi aku bahagia, meski tak tidur untuk satu malam. Pengalaman malam itu, kuyakin tak akan terganti di hari-hari berikutnya.

Tiba di Kaliurang, aku dan Mbak Inna singgah di warnet. Cek email (walah, sok penting buanget), tak terasa sudah setengah sembilan pagi. Kami makan bubur ayam, lalu pulang ke kos Mbak Inna. Tak ada lagi perbincangan. Aku bergegas tidur.

16 Juli 2008.

8 komentar:

Anonim mengatakan...

tika, jadi pengen jalan2 malem lagi di jogja..btw, kita kan bersenang-senang di pare tentunya :)

Ve Miranty mengatakan...

assalamaualaikum... waduhhh... non Tika.. sekalinya lama di Jogja... jadi suka lagunya Katon.. Kalo gak salah ada lagunya yang brjudul "Jogjakarta" toch... Btw.. Jammoko lagi naik sepeda malam-malam say.. Palagi mau tandingi motor.. Nanti sakitko... Kapan ine ko ke Makassar gang... Kangen nieeeyyy... Oh ya bilang-bilang nah kalo mau balik, Ve mau titip mukenah... (kayaknya ini pesan ke sekian kalinya dehhh :p)

Kopi Dan Tembakau mengatakan...

Kok aku ga kaya aku sih cara ngomomngnya???

K4p1t mengatakan...

Maaakk,,,kok gak di link blogku! awas yo
Btw, gimana suasana cangkir kopi di pare kemaren? Mudah2an tidak bakal terlupa sampai ujung hayat....
makasih Mak

Tabik

Ve Miranty mengatakan...

assalamualaikum Tik... kapan balik?? :( wahhh... sepertinya keasyikan di Jogja nieeyy...

Kopi Dan Tembakau mengatakan...

iya nih, emang si tika. blogku juga ga di link. dasar!!

Redaksi mengatakan...

aduuh, sepinya deh...ini terusji hujan pulangbale...berteduh bentar deh...misi mbak...

Eko Rusdianto mengatakan...

Bagaimana pertemuan dengan arief budiman, kirim foto untuk saya nah. Atau kopykan buku-buku yang menarik. Ok