Namanya Punto Wijayanto. Dipanggil Punto. Lahir di Jakarta, 16 November 1977. Oleh ayahnya, Waluyo, seorang karyawan PT. Pertamina, ia diberi nama yang mirip dengan salah satu tokoh wayang, Punto Dewo.
“Karena anak pertama kali ya, makanya dikasih nama Punto, kaya’ tokoh wayang itu kan anak pertama juga, dari lima bersaudara, tapi aku cuma tiga aja,” kata Punto.
Badannya agak gemuk. 70 kilogram beratnya. Kalau tingginya 165. Suka senyum dan ramah. Belum menikah. “Masih normal,”katanya sambil tersenyum. Di Yogya, ia tinggal bersama orang tuanya di Jalan Kaliurang Desa Sidoarjo, Sleman.
Sebelum tinggal di Yogyakarta, ia dan keluarganya berpindah-pindah. Mulai dari Jakarta, Kalimantan, Aceh, dan Palembang. “Ikut Bapak, kerja di kota-kota itu,”katanya. Beruntung pada saat di Aceh, ia tak pernah merasakan dampak dari perseteruan antara Gerakan Aceh Merdeka dan TNI. “Soalnya aku tinggalnya di Aceh bagian timur gitu, jauh dari tempatnya GAM.” Ia dan keluarganya meninggalkan Aceh pada tahun 1991 dan pindah ke Palembang.
Memasuki Sekolah Menegah Atas, Punto meninggalkan keluarganya dan sekolah di Yogyakarta. Nama sekolahnya SMU De Pritto. Salah satu sekolah swasta di Yogyakarta. Sejak di SMP, Punto senang menulis. Bahkan saat di SMU ia aktif menulis di majalah dinding (mading) sekolah sebagai kegiatan ekstrakurikulernya.
“Yogya terkenal sebagai kota pelajar, makanya aku memilih untuk sekolah di sini.”kata Punto meyakinkan.
Setelah lulus SMU, ia melanjutkan kuliahnya di UGM jurusan Teknik Arsitektur pada tahun 1997. Sejak kuliah, ia sudah mulai bekerja sebagai freelance di salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat, Yogya Heritage Society (YHS). Yaitu lembaga yang bergerak dalam bidang pelestarian warisan budaya namun, lebih fokus pada pelestarian pembangunan bersejarah. Sekarang Punto adalah konsultan arsitektur di LSM tersebut dan sedang menangani proyek pembangunan yang bekerja sama dengan Bank Indonesia Yogyakarta.
Gembiraloka. Nama kelompok yang ia buat bersama teman-teman kerjanya. “Gembiraloka itu nama kebun binatang di Yogya, soalnya anggotanya hewan semua,”ujar Punto sambil tertawa. “bercanda, kok.” Sebelumnya, ia juga mempunyai kelompok Gerilya Kota. Anggotanya tiga orang. Kegiatannya mengadakan pelatihan-pelatihan. “Biasanya film,”katanya. Tapi karena bekerja, ia berhenti dari kelompok Gerilya Kota.
Pasca gempa melanda Yogyakarta, ia dan teman-temannya mendatangi Desa Giriloyo, Kecamatan Imogiri. Mereka mencoba memperbaiki roda perekonomian di desa ini yang sempat macet akibat gempa. Mereka mengumpulkan para pembuat batik yang ada di desa ini. Dengan menyiapkan bahan-bahannya, Punto dan teman-temannya terus memberikan dukungan kepada warga desa agar kembali membangun perekonomian di Giriloyo.
“Ngga’ ada yang menarik, hidupku datar-datar saja. Aku lagi menunggu hidupku bervariasi,”katanya sambil menggerakkan ujung jari telunjuknya naik turun.
Kalau merasa bosan, ia lebih suka nonton film. Studio Twenty One pun menjadi tempat favoritnya. Kadang-kadang ia berkumpul bersama teman-temannya di cafe-cafe sekitar Yogya.
“Yogya dianggap sebagai kota yang enak untuk masa tua” sambil mengenang ucapan Ayahnya. “Ayahku mau menetap di sini. Tapi kalau untuk generasiku belum tahu,” katanya sambil tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar