Di penghujung tahun 2007. Aku sedang berjalan-jalan di salah satu pusat pertokoan di Kota Makassar. Rencananya ingin membeli sandal. Tiba-tiba handphoneku yang sedikit lagi akan lowbet berdering. Kulihat nama seorang pria yang lama tak kujumpai. Kak Abo memanggil… . Jujur saja saya heran. Tak biasanya. Pasti ada sesuatu, pikirku. Setelah kuterima, ia hanya berbicara sebentar.
“Tik, lagi di mana dek? bisa telfon balik ka’??” pintanya.
“Iya Kak. Tunggu beberapa menit. Saya cari wartel dulu, soalnya tidak ada pulsaku kodong..” jawabku jujur.
Handphone kemudian kami matikan.
Saya berjalan menuju sebuah wartel yang berada di lantai 1 pertokoan. Saya menekan nomor telepon milik Kak Abo sesuai yang tertera di handphoneku. Cepat sekali ia menjawab. Seperti biasa, awalnya basa-basi, Kak Abo sering bercanda. Meski telah kuduga sebelumnya, ia menawariku sebuah pekerjaan yang sesungguhnya sangat kuinginkan. Kebetulan pada saat itu, statusku pengangguran. Maklum, baru 1 bulan selesai wisuda.
Menjadi kontributor. Tapi, untuk wilayah Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu Timur. Aku tidak langsung memberi jawaban kepada Kak Abo. Barulah setelah beberapa hari aku menerima tawaran tersebut, tapi aku meminta wilayah lain yaitu Kota Palopo dan Kabupaten Luwu. Mungkin aku sudah keterlaluan karena harus memilih wilayah sendiri. Tapi, aku mempunyai pertimbangan lain mengapa aku ingin di tempatkan di Palopo.
Setelah mengirim lamaran, wawancara, hingga belajar meliput dan ngedit di Biro Makassar, beberapa bulan kemudian, tepatnya tanggal 3 Januari 2008 aku berangkat ke Palopo. Sebelum berangkat berbagai macam pesan-pesan dari senior-seniorku di Biro serasa mengepung telingaku. Aku tidak keberatan. Karna kupikir aku memang masih perlu banyak belajar.
Hari pertama di Palopo aku langsung diperkenalkan dengan beberapa wajah-wajah lama dan wajah-wajah baru yang tentu saja asing bagiku. Akan kuperkenalkan satu persatu..
ADAM DJUMADIN. Lebih sering dipanggil Adam atau DJ, singkatan dari Djumadin. Kadang-kadang ia selalu marah jika aku salah menyebut Djumadin menjadi Djumain. Adam adalah kontributor TRANS TV. Wilayah liputannya cukup luas mencakup seluruh Kabupaten dan Kota di Luwu Raya, ditambah Kabupaten Tana Toraja dan Enrekang.
Adam kuliah di Stikom Fajar Makassar semester tujuh. Sekarang ini ia sudah Kuliah Kerja Lapang Plus (KKLP).
“Tak perlu susah..” katanya. ”Saya kan sudah diterima di TRANS TV, jadi saya tinggal mencari judul laporan dan yang saya tulis pengalaman liputan saya di Palopo.” tambahnya.
Aku kemudian meminjamkan laporan KKLPku sebagai contoh. Masalahnya, adam tidak mempunyai buku petunjuk membuat laporan KKLP sesuai keinginan Stikom. Entahlah mengapa Adam tidak memilikinya, mungkin ia tidak tahu.
Di pagi pertama bertugas di Palopo, aku mengirimkan pesan ke Adam melalui sms. ”jemput dulue..” pintaku. Sekitar jam 10 dengan motor Thunder kesayangannya ia menjemputku.
Adam pria yang baik, kadang-kadang lucu, tapi kadang-kadang menjengkelkan.
“Ia tipe pria melankolis dan centimentil”kata seorang teman wartawan wanita yang juga bertugas di Palopo.
Adam tidak pelit, peduli dan bersahabat. Pintar memainkan gitar dan bernyanyi. Suaranya lumayan bagus. Terkadang jika ia ingin melucu, ia akan bernyanyi sambil menirukan suara vokalis Naff atau Fadli Padi.
Bahkan Adam sendiri kadang tidak menyangka jika saat ini ia bisa bekerja di media elektronik. Padahal ia kuliah di Stikom jurusan Jurnalistik. Awalnya, ia hanya iseng-iseng melamar di Trans tv untuk wilayah Sulbar. Namun, tak ia sangka 2 minggu setelah lamaran ia kirim, pihak Trans tv Makassar memanggilnya untuk bergabung di wilayah lain yaitu Luwu Raya, Toraja dan Enrekang.
Awal ia bekerja, ia mengaku kesulitan. Apalagi dalam pembuatan naskah, karena ia telah terbiasa membuat berita untuk media cetak.
”saya dulu setengah mati sekali ka bikin naskah berita tv , karena basic ilmuku di media cetak. Tapi, setelah biasa ma’, itu mi naskah berita tv yang paling bodo’.!!” kenangnya.
Di Palopo, Adam tinggal di Biro Tribun Timur bersama kakaknya yang juga bekerja sebagai wartawan Tribun di Kota Palopo. Irwandi Djumadin. Kami biasa memanggilnya Kak Wandi. Yang tinggal di Biro Tribun, bukan hanya mereka berdua, tapi juga istrinya, Sandra dan anaknya yang baru berumur 3 bulan, bernama Tiara.
Kak Wandi sudah sekitar 5 tahun menjadi wartawan Tribun Timur untuk Kota Palopo. Dari masih bujangan hingga ia punya 1 anak. Mungkin juga akan lebih. Sebelum Tiara lahir, kami sering berkumpul, bercerita, tertawa hingga numpang tidur di Tribun. Tapi, sekarang tidak lagi. Kami tidak ingin tawa terbahak-bahak kami mengganggu bayi mungil itu.
Kak Wandi sangat baik. Orangnya santai. Ia senang memelihara ayam jantan. Di samping Biro, ia memiliki kandang ayam. Entah berapa jumlah ayam jantan yang ia punya. Jika ingin buat ia marah, caranya gampang. Tinggal curi ayam jantannya saja. Hahaha... Setiap pagi kegiatan rutinnya adalah memandikan ayam lebih dulu sebelum ia mandi. Jika ingin melihatnya begitu lucu juga gampang, suruh saja ia bernyanyi. Ekspresinya akan membuat anda tertawa terbahak-bahak.
Orang ketiga yang akan kuperkenalkan adalah Suaib Laibe. Ia kontributor RCTI untuk wilayah Luwu Raya, Kota Palopo dan Kabupaten Toraja. Sebelum bekerja di RCTI, ia pernah menjadi redaktur di koran harian Palopo Pos. Ia Bekerja di RCTI baru sekitar 8 bulan. Selain di RCTI, ia memiliki beberapa pekerjaan lain. Ia adalah salah satu konsultan publik di Komisi Pemilihan Umum Kota Palopo. Ia juga bekerja di Komisi Penanggulangan Aids Kota Palopo.
Pria berkulit hitam ini sangat cuek. Tidak lagi bujangan. Ia sudah punya 5 anak. Ia penyuka warna hitam. Setiap hari warna bajunya sama dengan warna kulitnya, hingga jika gelap ia bisa saja tak terlihat.
Pria asal Kecamatan Wotu ini sulit bangun pagi. Jam 12 malam handphonenya tidak aktif lagi. Setelah jam 10 pagi menjelang sianglah baru handphone kembali ia aktifkan. Jika sedang istirahat, ia tak mau diganggu, katanya.
Pria yang tak kalah gilanya adalah Son Abdul Rahim. Awal saya di Palopo, ia masih bekerja sebagai stringer di SCTV. Tapi, 1 bulan kemudian ia menjadi kontributor setelah mendaftar di tvOne untuk wilayah Luwu Utara dan Luwu Timur. Sebelumnya, ia juga pernah bekerja di Palopo Pos. Ia pernah menjabat sebagai Kepala Biro Palopo Pos di Kabupaten Tana Toraja.
Ia ulet. Pekerja keras. Lucu. Kadang menjengkelkan. Harus kuakui ia punya jaringan yang kuat di Kota Palopo. Karena berada di naungan perusahaan yang sama, saya dan Son sering sama-sama. Mulai dari diskusi sampai liputan. Saya menyebutnya Pria Perantau. Ia berasal dari Pulau Sumatera. Bertahun-tahun di Palopo, hanya sekali ia berkunjung di kampungnya. Bahkan ketika ayahnya meninggal, ia juga tidak pulang ke kampungnya. Tapi, keluarganya banyak di Palopo. Cek percek, ayahnya keturunan Bua Kecamatan Luwu Sulawesi Selatan.
Ia pandai berpantun. Rencananya paling menggiurkan dalam waktu dekat ini adalah menikah. Bulan Agustus rencananya. Nama pacarnya Anni Salkar. Umurnya jauh bedanya minta ampun. Sebaiknya tak kusebutkan, karena dijamin anda akan menyebut kata TIDAK ADIL.
Pria lainnya adalah Wahyudi Baso. Bekerja sebagai Koresponden SCTV. Ia wartawan Tv yang paling tua di Palopo, karena memang umurnya sudah melebihi usia panik. Ia belum menikah. Bukannya tidak mau, tapi entahlah.
Kak Yudi sangat baik. Sabar. Suka tertawa dan suka mengalah. Apalagi jika menghadapiku. Ia memanggilku Tikko. Badannya gemuk, tinggi, berkulit putih dan kepalanya hanya berambut sedikit.
Selain menjadi wartawan, Kak Yudi juga membantu dokumentasi Komisi Pemilihan Umum Kota Palopo selama Pilwalkot 2008 ini. Ia sering mengajariku pengambilan gambar, meliput di lapangan hingga menasehatiku soal apapun.
Wartawan lainnya yang ingin kuceritakan adalah Mulyadi Abdillah. Tapi lebih sering dipanggil Ipung. Ia alumni Stikom Fajar juga. Sekarang bekerja di Koran Sindo. Ia sudah mempunyai pengalaman jurnalistik yang lumayan banyak. Beberapa media pernah ia tempati bekerja. Mulai dari Harian Fajar, Pedoman Rakyat, Majalah Ekspose dan sekarang Seputar Indonesia.
Jujur saja aku segan padanya. Waktu kuliah dulu, kami belajar dalam organisasi yang sama. Sanggar Seni Karampuang. Saya banyak belajar darinya bukan hanya dalam hal jurnalistik tapi persoalan hidup. Saya sering konsultasi dengannya. Jujur saja, di Kota Palopo ini, ia-lah yang sering kumintai pendapat, apalagi dalam hal pekerjaan.
Sulit menjelaskan karakter pria satu ini. Ia cool. Tidak banyak bicara, tenang tapi kalau marah bisa bikin ketakutan. Hahahaaa... Dari segi penampilan, Kak Ipung, pria gondrong sebahu ini cuek. Baju kaos, celana jeans dan sandal atau sepatu kulit sudah cukup baginya.
Dan lelaki lain sudah sedikit berumur yang ingin kuceritakan bernama Ucenk Husain. Bekerja sebagai kontributor di Metro Tv. Badannya kecil dan berambut keriting. Ia sudah pernah menikah. Tapi, dua tahun yang lalu, istrinya meninggal karena kanker payudara. Kak Nia nama almarhum istrinya. Cantik, perhatian dan sosok wanita yang kuat. Waktu Kak Nia masih hidup, mereka sering liputan berdua. Kebetulan Kak Nia juga bekerja sebagai wartawan tv.
Saat penyakit Kak Nia semakin parah, Kak Uceng setia menemani, bahkan hingga ajal menjemputnya. Saat Kak Nia meninggal dan dikuburkan, Kak Uceng menangis sambil memeluk nisan istrinya dan terus berkata sayang pada mendiang istrinya.
Kak Uceng, penikmat rokok Dji Sam Soe ini akhirnya harus menikmati masa tuanya di Kota Palopo dengan berat hati. Setelah lama bekerja di Makassar, ia kembali ditugaskan di Kota ini. Sebelum di Makassar, ia memang sudah lama menjadi wartawan tv untuk Metro tv di Kota Palopo dan Luwu Raya bahkan Kabupaten Tana Toraja.
Pernah sekali waktu, kami mengadakan pesta kecil-kecilan di Biro Tribun Timur. Kak Son membeli beberapa ikan Baronang untuk dibakar. Salah satu ikan ukurannya lumayan besar. Kak Uceng dengan rasa percaya diri dan keyakinan yang entah tiba-tiba berasal dari mana kemudian menawarkan diri untuk membuat masakan dari bahan ikan tersebut. Katanya mau buat parede (ikan masak yang dimasak dengan bahan sederhana misalnya, cabe, garam dan kunyit. Biasa dicampur daun kedondong atau belimbing biar kecut). Tapi karena tak ada daun kedondong dan belimbing, Kak Uceng mencampur bahan lain untuk membuat masakannya sedikit kecut yaitu jeruk nipis. Melihat atau mendengar, sepertinya enak jika ia hanya memeras air jeruk nipisnya. Tapi Kak Uceng membiarkan biji dan kulitnya ia ulek dan dicampur ke dalam parede. Hasilnya, pasti pahitlah. Tak ada rasa bersalah di wajahnya. berniat membela diri ia bahkan mencoba membohongi kami dengan berkata, ”biji jeruk nipis bisa jadi obat,”. Sambil tertawa kami semua membalas dengan menyebutnya, ” betul-betul Kak Uceng gila. Hahaha..”
Membicarakan masakan, teman yang akan saya ceritakan lagi adalah seorang wartawan wanita yang katanya jago masak. Belum terbukti sih... aku Cuma pernah merasakan sayur kangkung tumis buatannya yang rasanya lumayan enak juga.
Wanita ini bekerja di Harian Fajar. Rosmini Hamid. Diperkeren menjadi Mimi. Tomboy. Jago Taekwondo dan jago main billiar. Sedikit-sedikit mau hajar orang. Setiap hari ia menggunakan jilbab. Warna biji matanya tidak seperti warna biji mata pribumi. Warnanya coklat. Mimi pakai softlens. Matanya minus 3.
Di Palopo, ia tinggal di kamar kos ukuran 4 X 4 meter. Sendirian. Kadang-kadang aku menemaninya menginap di kamar kos itu. Kami dekat. Sering bercerita berdua. Biasa, urusan wanita. Hal yang paling mnjengkelkan darinya karena ia sulit dibangunkan saat tidur. Butuh tenaga dan taktik khusus untuk membangunkannya.
Sebelum di bertugas di Palopo, Mimi ditempatkan oleh perusahaan tempatnya bekerja di Kota Makassar. Selama empat tahun, ia bekerja sebagai wartawan Hiburan. Tak heran jika ia tergila-gila jika ada artis ibukota yang akan datang ke Makassar, maka Mimi tidak tanggung-tanggung akan mengeluarkan teriakan histeris. Ia pernah meliput dan melakukan wawancara khusus dengan Tibo beberapa hari sebelum ia di eksekusi di lembaga pemasyarakatan di Palu, Sulawesi Tengah. ”Saat itulah aku betul-betul merasa menjadi wartawan,” katanya bangga.
Kawan lain yang akan kuceritakan adalah Salam Abadi. Bekerja di ANTV. Kupanggil ia Kak Salam. Sudah punya istri dan dua orang anak. Ia ayah yang baik. Setiap pulang kerja, ia selalu menyempatkan untuk singgah ke toko membeli roti tawar untuk anaknya. Ia termasuk wartawan paling sabar di kota ini. Tak pernah mengeluh pada saat liputan. Kak Salam selalu tersenyum meski pada saat liputan, isi kantongnya sudah tak mendukung lagi.
Ukuran tubuhnya hampir sama dengan Kak Ipung. Badan agak kurus. Tingginya sekitar 165 cm. Kulit putih dan rambut ikal dan cara berpakaiannya sederhana.
Pada saat banjir melanda Kabupaten Luwu Utara, kami sering meliput bersama. Dan yang tak bisa kami lupa, ketika aku, Kak Salam dan Kak Son meliput banjir di Desa Lara I Kecamatan Baebunta. Untuk menuju ke desa itu, kami menggunakan dua motor. Aku berboncengan dengan Kak Son dan Kak Salam sendiri dengan motor Shogunnya. Motor kami harus melewati jalan-jalan desa yang sudah tergenang air. Kadang aku harus turun berjalan kaki dan Kak Son serta Kak Salam harus mendorong motor. Banjir yang lumayan tinggi, membuat motor Kak Salam mogok karena kemasukan air. Kami terpaksa harus berhenti dan mencoba memperbaiki motor tersebut dengan sekuat tenaga. Kak Salam dan Kak Son bahkan harus mengangkat dan membalikkan motor Kak Salam agar airnya bisa keluar. Dan yang paling lucu, pada saat mereka mengangkat motor itu, Kak Salam masih sempat memohon padaku agar difoto sebagai kenang-kenangan. Kami pun tertawa terbahak-bahak, meski beban mereka berkilo-kilo.
Tenaga dan pikiran yang kami keluarkan ternyata tak membuat motor Kak Salam bisa kembali normal. Waktu terus berjalan. Matahari semakin dekat dengan kepala. Keringat mulai menetes deras dan terasa mengalir di kulit. Kami memutuskan untuk meninggalkan motor Kak Salam disalah satu rumah penduduk sambil menjemurnya di bawah terik sinar matahari. Untuk menuju ke lokasi banjir terparah, kami bertiga naik dalam satu motor dan memaksa motor kesayanganku mengangkut kami dan melewati genangan air.
Semua teman dekatku di Palopo telah kuceritakan. Di antara mereka aku yang paling muda. Mereka sering bilang aku anak kecil. Mungkin karena badanku yang kecil dan sikapku yang sedikit manja kepada mereka. Kami semua sering berkumpul bersama. Meliput peristiwa bersama. Saling menukar informasi. Saling bercanda. Saling mencela. Kadang tak sependapat. Kadang pula bersitegang. Tapi tak ada dendam karena kami hidup dan bekerja dalam kota yang sama. Palopo. Kota kecil dimana semua kenangan masa kecilku mengalir indah di kota ini.
Sartika
Malili, 16 Juni 2008
1 komentar:
Wuih privasi bgt. But nice,asal ada lisensi hehehe....
Posting Komentar