17 Des 2011

Bau Mulut Kecemasan

SAYA memilih tidur lebih cepat dari biasanya. Malam itu, pukul 10.00 pm, semua tugas sudah selesai. Mulai dari berkemas-kemas, menyelesaikan e-Learning Seksualitas dari TARSHI dan mencatat beberapa trik perjalanan untuk esok hari. Legah sekali rasanya.

Tanggal 4 Desember 2011, ponsel saya berdering. Ada nama Eko, pacar saya, memanggil. Ia membangunkan. Panggilan Eko cepat 30 menit dari alarm saya. Pagi ini adalah jadwal saya menuju ke India. Namun, perjalanannya akan cukup panjang karena akan singgah dalam waktu yang lama di Kuala Lumpur sebelum melanjutkan perjalanan dengan pesawat yang berbeda.

Zul mengantar saya ke Bandara Adisucipto Yogyakarta. Saya semakin deg-degan, ini pengalaman pertama saya mengunjungi negara lain. Ini pasti akan berbeda.

Saya tak langsung masuk dan melakukan check in. Saya ke mesin ATM dan mengambil sejumlah uang untuk membayar Airport Tax dan persiapan transit di Kuala Lumpur. Lalu berjalan ke pintu masuk keberangkatan. Seorang pria memeriksa tiket saya lalu mempersilahkan saya masuk. Tiba di mesin pemeriksaan barang-barang, saya cukup gelisah karena masalah rokok. Di ransel 40 liter saya, tersimpan 13 bungkus rokok. Jumlahnya 208 batang. Seharusnya tak boleh lebih dari 200 batang. Semua segel kemasan rokok saya lepas, untuk memastikan agar rokok-rokok tersebut tidak untuk dijual.
Namun, ransel saya bergerak mulus. Bahkan ransel kecil saya juga berjalan mulus. Padahal, terdapat empat bungkus rokok lainnya. Syukurlah.

Saya menuju ke counter Air Asia. Menyimpan ransel besar saya ke bagasi. Saya mendapat kursi nomor 14 F. Dekat jendela. Karyawan meminta paspor saya dan tiket. Memberikan boarding pass dan meminta saya ke pintu keberangkatan internasional. Saya singgah di sebuah kotak kecil. Di dalamnya telah siap seorang pria. Saya menyerahkan boarding pass dan paspor lalu pria itu meminta saya membayar 100 ribu, untuk Airport Tax. Dan masuk ke sebuah ruangan. Di sana sudah antri. Saya mengisi Kartu Keberangkatan / Kedatangan untuk Warga Negara Indonesia. Lalu antri. Tiba pada giliran saya, seorang berseragam, dengan tegas meminta paspor dan kartu saya.

“Mau kemana?” katanya.

“Ke Kuala Lumpur pak,”

“Kenapa ada visa India,”

“Saya Cuma transit saja di KL, lalu melanjutkan perjalanan ke India,”

“Untuk urusan apa?”

“Training,” kata saya akhirnya menyelesaikan pertanyaannya.

Selesai. Saya menuju ruang tunggu. Di sana ada pemeriksaan lagi. Barang, boarding pass dan paspor. Seorang perempuan muda tak dibolehkan masuk hanya karena membawa sebuah gelas di ranselnya. Ia diminta untuk mengeluarkannya dan menyuruhnya menaruh di bagasi. Tapi, saya tak ingin mengikuti perbincangan mereka, saya memilih masuk ke ruang tunggu. Tas saya aman. Boarding pass aman. Paspor aman. Menunggu berangkat.

Saya duduk di sebelah seorang perempuan yang mungkin seusia dengan ibu saya. Ruang tunggu keberangkatan internasional Bandara Adisucipto tidak luas. Perkiraan saya hanya cukup untuk penumpang satu maskapai saja. Ada beberapa orang yang bahkan tak mendapatkan tempat duduk. Seorang gadis Korea memberikan tempat duduknya kepada perempuan Indonesia yang jauh lebih tua darinya. Tapi, baru saja sebentar perempuan itu duduk, karyawan Air Asia datang dan meminta semua penumpangnya antri untuk naik ke pesawat.

Ada dua pintu pesawat yang terbuka. Saya naik ke tangga pintu depan. Lalu mencari kursi saya. Seorang perempuan duduk di kursi saya. Saya menyapanya dan menanyakan nomor kursinya. Dengan dialeg Melayu, dia menyarankan agar saya bisa duduk dimana saja. Saya kemudian mengatakan bahwa saya memang telah memilih nomor kursi saya sebelumnya, dekat jendela. “Sebaiknya ibu duduk di kursi yang sesuai dengan nomor di boarding pass ibu,”

Akhirnya dia mengalah. Dia pindah. Saya mendapatkan hak saya. Perempuan itu memilih duduk di 14 E, padahal seharusnya di 14 D. Namun tak ada lagi yang komplein karena kursi 14 E kosong.

Saya duduk dengan tenang. Mematikan ponsel. Memasang sabuk pengaman. Lalu mengambil majalah. Tapi saya tak bisa tenang. Wajah perempuan di sebelah saya sangat dekat dari bahu kiri saya. Matanya terus memandang ke jendela. Saya jadi penasaran dan gemas.

“Ibu, tinggal dimana?”

“Jepara,”

“Kerja di KL?”

“Iya,”

“Sudah berapa lama?”

“4 tahun,”

Tadinya saya ingin mengalah dan pindah ke kursinya agar dia bisa melihat jendela sepuasnya. Tapi, tidak jadi. Ini penerbangan pertama saya menuju KL, saya juga ingin melihat apa saja di bawah sana.

Kami bicara banyak. Namanya Rotika. Seorang Tenaga Kerja Indonesia di Kuala Lumpur. Ia akan pulang dan melanjutkan pekerjaannya setelah cuti selama dua bulan. Menurutnya, ia sangat beruntung dibanding dengan teman-teman sekampungnya. Alasannya, karena hanya dia yang bekerja di Malaysia. TKI asal kampungnya banyak yang bekerja di Arab Saudi. Rotika tak ingin ke sana. Takut. Ia selalu membayangkan beberapa kawannya yang disiksa, bahkan ada yang meninggal. “Baru-baru ini mbak, ada yang mati. Kelaminnya itu mbusuk. Diperkosa ama majikan laki-lakinya, anak majikannya sama saudara majikannya,”

Kepala saya tiba-tiba pusing membayangkan cerita Rotika. Ia terus bercerita dengan tenang. “Majikan saya baik sekali. Saya cuti dua kali setahun. Pernah sebulan setengah. Sekarang dua bulan,”

Rotika punya satu anak laki-laki. Ia meninggalkannya bersama ibunya. Saat saya bertanya mengenai suaminya, ia menggelengkan kepala. Seperti tak ingin menjawab. Diam sebentar, lalu berkata, “Sudah tidak lagi,”

Kami mengganti bahan obrolan. Tentang KL. Namun ini tak menarik buat Rotika. Katanya, ia belum pernah jalan-jalan. Hanya mengurus rumah. Saat ia tiba, akan dijemput oleh majikannya dan langsung pulang.

Tiba-tiba seorang pramugari mendatangi saya dan memanggil saya encik. “Encik dengarkan saye dulu. Ande berade di pintu kecemasan. Jika ade accident, pilot tugaskan ande untuk membuka pintu keselamatan. Ande pahem?” katanya.
Saya mengiyakan. Lalu membaca-baca beberapa petunjuk membuka pintu kecemasan (darurat) saat hal-hal darurat terjadi. Di bagian atas pegangan pintu ada tertulis petunjuk lain, dalam dua bahasa.

Kanak-kanak, warga kurang upaya, dan warga tua tidak dibenarkan menduduki kerusi di barisan pintu keluar kecemasan ini.

Children, disable, and senior citizens are not allowed to occupy the seats at this emergency.

Saya terus memikirkan pramugari dan beberapa petunjuk yang menggunakan bahasa Melayu. Hanya satu kata saja sebenarnya. Kecemasan. Sejak naik pesawat, hingga lepas landas pun, saya merasa memiliki kecemasan.

Saya mengantuk dan tak bisa tidur. Saya cemas. Rotika sudah tidur. Saya terus menghadap jendela sambil terus merasa cemas. Rotika sangat pulas. Saya masih cemas. Mulutnya setengah terbuka. Saya mencoba tenang. Mengambil kain dan menutup hidung saya. Berusaha tidur.

Tidak ada komentar: