By: Sartika Nasmar
20 Januari 2009, pukul 18:59 Wib. Dalam sebuah ruangan berukuran 3 x 4 meter di Expert Camp, salah satu asrama untuk wanita yang terletak di Jalan Anyelir, Pare. Sebuah diskusi kecil akan segera di mulai. Malam itu agenda diskusi akan membahas seputar Kesehatan Reproduksi dan Aborsi. Mentor asrama, Ms. Vivin kemudian mempersilahkan kami untuk memulai diskusi.
Malam ini SAMSARA diwakili oleh dua orang anggota, Inna Hudaya (Managing Director & Konselor) dan Sartika Nasmar (Divisi Sosialisasi & Edukasi). Sebelum di mulai, aku membagikan 10 rangkap materi mengenai data aborsi dan efek secara fisik dan mental. Sedang Inna Hudaya menuju ke depan dan bersiap-siap memulai diskusi. Materi telah tersebar ke peserta program, sebagian dari mereka sedang membacanya. Inna Hudaya kemudian memperkenalkan SAMSARA sebagai sebuah organisasi non-profit untuk membantu pemulihan bagi orang-orang yang menderita akibat efek pasca-aborsi sekaligus memberi edukasi mengenai kesehatan reproduksi dan pencegahan aborsi.
Malam itu peserta yang hadir sebanyak 20 orang. Pria delapan orang dan perempuan 12 orang.
Intinya, kami ingin mengetahui sejauh mana pengetahuan yang dapat kita share dalam diskusi mengenai kesehatan reproduksi dan aborsi.
Perbincangan dimulai dengan melempar isu Kesehatan Reproduksi. Tak ada tanggapan. Entah. Kesehatan reproduksi tentu saja tidak hanya penting diketahui oleh wanita saja, tapi pria juga perlu memahaminya apalagi setelah menikah. Sebagian peserta pria tersenyum tipis mendengar tanggapan Inna. Sebagian lagi terlihat geli dan malu-malu.
Sesuai target dan materi sasaran, kita akan lebih banyak membahas mengenai aborsi dan efeknya yang dapat menyerang fisik dan mental (PAS).
Kemudian Inna Hudaya memberikan pertanyaan kedua. “Apa yang ada di benak anda ketika mendengar kata aborsi?”
Satu per satu memberi jawaban yang berbeda.
“About kill baby,” jawab Ms. Vivin. “And then open mouth like this…” sambil membuka mulutnya lebar seolah menunjukkan ekspresi mengagetkan. Kemudian muncul pendapat berbeda.
“Risk of sex,”
“The big crime,”
“Danger for self,”
“Just for women,”
“Big sin,”
“Consecuenci of free sex,”
“Low education about sex education,”
Seks selalu menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan, mungkin seperti itu yang terjadi malam itu.
Kemudian tak ada ekspresi mengagetkan ketika Inna mulai mengungkapkan jumlah aborsi di Indonesia setiap tahunnya sebanyak 2.600.000 kasus. Para peserta program terlihat menyimak fakta-fakta tersebut. Berlanjut pada fakta pelaku aborsi yang sebagian besar dilakukan oleh ibu rumah tangga. Ruangan seketika ramai dengan pertanyaan,
“Why?” atau sekedar teriakan, “Ouuh..,”.
Inna masih memberikan fakta selanjutnya bahwa itu yang melakukan di tempat-tempat yang dianggap legal seperti dokter dan tenaga medis legal. Belum termasuk para post-abortus yang melakukan aborsi secara tradisional atau dengan jamu-jamuan dan tenaga medis illegal. Pembicaraan berlanjut untuk mensosialisasikan Post Abortion Syndrom kepada peserta. Ini adalah kali pertama mereka mendengar gejala psikologis yang dapat menyerang siapa saja pasca aborsi. Semua gejala-gejala disebutkan oleh Inna.
Aborsi sudah dilakukan sejak ribuan tahun yang lalu. Bahkan pada zaman dahulu, proses aborsi dilakukan dengan cara menendang atau memukul bagian perut ibu lalu dilanjutkan dengan mengendarai kuda yang berlari kencang hingga bayi lahir prematur. Namun jika setelah bayi lahir dalam keadaan masih bernyawa maka bayi kemudian dibunuh atau ditinggalkan begitu saja.
“Oh, God!?!” teriak Ms. Vivin. Ia menjerit beberapa kali. Peserta wanita lain hanya bisa, “Haaaa…,” dengan suara yang sedikit tertahan.
“Apa alasan mereka melakukan aborsi?” tanya salah seorang pria.
“Bagi ibu rumah tangga, faktor ekonomi, kegagalan kontrasepsi, jarak anak yang terlalu dekat, tuntutan pekerjaan, hasil perslingkuhan, usia ibu yang sudah tua dan beberapa di antaranya atas permintaan suami mereka. Sedang bagi remaja biasanya dengan alasan karena belum menikah dan tidak siap, takut pada orang tua, malu, gagal kontrasepsi, atas perintah orang tua atas nama image, dan hasil perkosaan hingga menyebabkan depresi.”
Yang paling penting untuk diketahui adalah perubahan konstruksi atau pola pikir yang berkembang di masyarakat bahwa pelaku aborsi terbesar dilakukan oleh remaja atau wanita yang belum menikah. Tapi, menurut hasil penelitian dari beberapa lembaga mengatakan bahwa sebagian besar pelakunya adalah ibu rumah tangga. Ini kemudian secara tidak langsung menciptakan sebuah diskriminasi kepada wanita yang belum menikah.
“Bagaimana dengan status hukum aborsi di Indonesia?” tanya seorang peserta wanita.
Di Indonesia, aborsi masih dianggap illegal dan kriminal. Tapi, dianggap tidak melanggar hukum dan dibolehkan jika kehamilan akan mengancam keselamatan ibu dan bayi serta apabila kehamilan tersebut adalah hasil sebuah perkosaan. Tapi pada kenyataannya pun tidak seperti itu, karena banyak aborsi dilakukan dan diijinkan sebagai contoh dengan alasan ekonomi tadi. Tapi tetap saja jumlah aborsi yang tidak terdeteksi karena dilakukan di tempat-tempat illegal menjadi sulit dijamah. Apalagi banyak pula wanita yang belum menikah dan mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) yang bermaksud aborsi dengan cara aman, misalnya dokter kemudian mendapat tekanan psikologis berupa judgement sehingga memutuskan memilih ke tenaga illegal.
Sejenak kita melihat definisi dan jenis aborsi. Aborsi adalah penghentian kehamilan di mana fetus belum mempunyai kemampuan untuk hidup di luar kandungan. Jenisnya terbagi dua, yaitu spontaneous abortion atau aborsi yang terjadi secara spontan dan provokatus abortion atau aborsi yang terjadi karena disengaja dan dengan menggunakan alat atau bahan tertentu untuk menghentikan kehamilan.
“Saya ingin mempromosikan buku, kalian bisa membaca dan mengetahui mengenai aborsi mulai dari sebuah pengalaman hingga fakta ilmiah.” kata Inna.
Sepertinya tiada yang tertawa dalam ruangan itu selain saya. Aku menganggap dalam SAMSARA, salah satu divisi sedikit harus direvisi. Mungkin seperti Divisi Sosialisasi, Edukasi & Promosi. Mungkin??
“Hahahahaaaa…”
Kembali ke topik. Banyak yang tidak ingin membicarakan mengenai aborsi tapi ini tidak berarti bahwa ini tidak terjadi. Di kota-kota besar mungkin telah terekspose dengan sempurna dalam bentuk sebuah tindakan kriminal tanpa peduli apa alasan seorang wanita melakukannya. Bahkan, kami percaya bahwa di desa kecil seperti Pare pun aborsi dapat kita temukan. Lalu, mengapa tak ingin memunculkan ini sebagai sebuah bahan untuk sebuah pelajaran untuk menjadi lebih waspada dan hati-hati.
SAMSARA hadir untuk mensosialisasikan dampak aborsi secara psikologis yang dapat diderita bukan hanya kepada perempuan sebagai post-abortus saja, tapi juga dapat terjadi pada lelaki, keluarga, teman dan orang-orang yang berada di lingkungan post-abortus. Banyak sekali yang mengalaminya tapi tidak sadar bahwa apa yang mereka rasakan adalah Post Abortion Syndrom (PAS). Dan tidak banyak yang dapat mempertahankan semangat hidupnya akibat PAS, rasa bersalah yang tidak mampu dipahami menjadi hal tersulit yang dapat menyebabkan berkurangnya kepercayaan pada kelanjutan hidup seorang post-abortus, ditambah dengan judgement dari masyarakat sebagai pembuat dosa karena telah menghilangkan nyawa, misalnya. Semua orang dengan tingkat religi yang tinggi atau rendah pun akan menganggap aborsi sebagai sebuah kesalahan, bahkan dosa. Namun, kembali kepada hati nurani. Antara ibu dan bayi. Bayi yang telah di aborsi sudah meninggal, tak bisa kembali lagi tentunya. Sedang ibunya, masih hidup dan punya hak untuk mendapatkan kembali semangat hidupnya.
Aborsi lebih menyakitkan daripada melahirkan dengan normal. Mengapa? Karena pada saat anda memutuskan untuk melakukan aborsi, bisa jadi tubuh dan mental anda belum siap mengeluarkan bayi. Jika anda melewati proses melahirkan normal, pada saat bayi keluar dari rahim maka serviks atau mulut rahim akan terbuka dengan alami sesuai dengan jalan yang memang telah terbentuk alami. Sedangkan saat aborsi, serviks dipaksa untuk terbuka dalam diameter 6-7 milimeter, belum lagi ketika alat atau bahan tertentu dimasukkan untuk membunuh janin yang ada dalam uterus (rahim). Ini bisa megakibatkan pendarahan hingga menyebabkan kematian.
Kami bahkan pernah mendapat cerita dari salah satu klien yang melakukan aborsi secara tradisional dengan menggunakan krim atau cairan untuk melemahkan janin lalu ditambah dengan memasukkan tiga batang pohon singkong untuk memecahkan ketuban melalui vagina hingga ke rahim.
“Allahu Akbar..,” teriak salah satu peserta wanita yang berada di samping saya. Histeris dan berhasil mengagetkan saya.
Aborsi adalah salah satu konsekuensi akibat minimnya pengetahuan seks. Kebanyakan orang beranggapan bahwa seks hanya sebatas kesenangan tanpa memikirkan harga yang harus dibayar. Apalagi bagi perempuan misalnya karena dalam hal ini, yang paling merasakan dampak kerugian dan harus membayar mahal atas ketidakpahaman mengenai seks dalam arti benar. Membayar mahal dalam arti bukan materi, melainkan sebagai contoh kehamilan yang tidak diinginkan hingga aborsi dan harus merasakan kesakitan luar bisa apalagi jika traumatis menghantui mereka. Bukankah itu mahal?
Tiba-tiba, ada pertanyaan baru.
“Apa yang harus saya lakukan jika seorang teman meminta tolong diantar untuk melakukan aborsi?” pertanyaan ini terlontar dari seorang wanita. Ia terdengar gugup.
“Tolak.”
Anda kemungkinan besar dapat mengalami PAS walau hanya sebatas mengantar. Aku sedikit ingin berbagi, saat aku membaca beberapa email dari beberapa klien SAMSARA yang berbagi pengalaman aborsinya. Aku berpikir untuk menulisnya dan aku coba. Setelah itu, aku gelisah dan beberapa kali mimpi buruk hingga harus konseling dengan salah satu konselor di SAMSARA. Sekali lagi, aku hanya membaca dan menulis lalu aku bisa ikut mengalami gejala yang sama.
Banyak pertanyaan malam itu hingga pada keadaan menyalahkan kebudayaan barat yang mulai mempengaruhi budaya timur. Lalu jika itu memang benar ada, untuk apa pikiran diciptakan dalam hidup anda? Budaya barat, baik atau buruk, saya beranggapan bahwa jungkir balik pun budaya tersebut anda anggap akan mempengaruhi anda, jika anda menggunakan pikiran untuk mengontrol sistem pengendalian yang anda anggap baik atau buruk anda gunakan, maka tidak ada hal yang negative yang akan anda dapatkan.
Diskusi selesai pukul 08.30. Aku dan Inna melanjutkan diskusi di kos pagi harinya.
“Tik, jumlah aborsi kan ada 2.600.000 tuh tahun 2006. Kamu tahu gak berapa kasus yang terjadi perharinya. Coba kamu bagi sekarang.” kata Inna.
Aku kemudian memanfaatkan fasilitas kalkulator di handphoneku. Kubagi 2.600.000 dengan jumlah hari dalam setahun, 365. Hasilnya.
“7.120 orang mbak. Gila… itu per hari? Jadi setiap jam ada berapa yah yang aborsi?”
Jumlah yang mengagetkan jika kita menghitung dalam skala atau frekuensi hari di banding tahun. Lalu bisakah anda bayangkan jika 2.600.000 perempuan itu semuanya mengalami Post Abortion Syndrom? Semoga tidak tentunya. Pesan terakhir untuk menghindarinya, jika anda setuju.
“Save your body… save your life..” pesan SAMSARA.
2 komentar:
tulisannya menarik. semakin teratur. wah...
tulisannya sangat menarik. kebetulan saya sedang mencari artikel ttg aborsi untuk bahan skripsi saya..
kalo boleh tau, apa judul buku ttg aborsi itu dan siapa pengarangnya?
sebelum dan sesudahnya makasi..
mbak bisa kirim k email saya
rchie_galz@yahoo.co.id
makasi....
Posting Komentar