By: Sartika Nasmar
Di sebuah warung lesehan Pecel Pincuk Pare, Kediri. Kami kembali mengadakan diskusi yang kedua kalinya sebagai Program Sosialisasi dan Edukasi di SAMSARA. Selang satu hari setelah diskusi di sebuah asrama yang dihuni khusus wanita, Expert Camp. Tepatnya tanggal 22 Januari 2008, dalam diskusi kali ini kami mengundang salah satu lembaga kursus yaitu Access.
Awalnya aku menawari diskusi ini melalui telefon dan alhamdulillah Ramdan (General Manager Access) sangat menyambut baik penawaranku mewakili SAMSARA. Kami kemudian berjanji ketemu untuk menjelaskan lebih detail mengenai materi diskusi.
Petang muncul, materi dan kuisioner belum selesai dicopy. Aku dan Inna khawatir terlambat dan teman-teman dari Access malah datang lebih dulu dari kami. Kami segera menyelesaikan pekerjaan kami dan menuju kos dengan motor pinjaman.
Kami tiba tepat pukul 07.00 di kos. Kami hanya ganti baju lalu langsung ke Pecel Pincuk dengan kecepatan tinggi. Akhirnya tiba. Kami parkir sepeda tua sewaan di tempat yang sudah ditentukan lalu masuk dan memilih tempat duduk tepat di tengah. Belum ada satu pun teman-teman dari Access yang datang. Kami menunggu.
“Mbak, aku curiga malam ini yang datang dari Access semuanya teacher, mana mereka minta diskusi Bahasa Inggris. Mampus dah..,” kataku ke Inna.
“Iya, Tik. Aku kok rada-rada grogi juga yah?”
“Ya udah mbak. Entar kita pakai bahasa Indonesia saja. Daripada ada kesalahan makna nantinya.” bujukku mencari selamat dunia akhirat.
“Iya, benar juga.”
Aku sedikit lega. “Aman.” pikirku. Setidaknya malam ini aku tidak hanya menyelamatkan diriku dari ketidakcakapan berbahasa Inggris, tapi juga menyelamatkan Kapit yang juga akan hadir pada diskusi malam ini.
Kapit adalah salah satu anggota Samsara di Bidang Sosialisasi dan Edukasi. Malam ini ia dijadwalkan akan membuka diskusi.
Di sela-sela kami menunggu aku menyusun materi dan kuisioner untuk dibagi kepada peserta diskusi. Satu per satu mulai bermunculan. Mereka memilih tempat yang berbeda dengan kami dan memesan makanan. Aku dan Inna akhirnya memutuskan untuk bergabung bersama mereka. Sepertinya dugaanku mulai terbukti sedikit demi sedikit. Yang datang sebagian besar adalah tenaga pengajar dari Access.
Kapit datang dengan penampilan khasnya pakaian warna hitam. Nyaris tak terlihat. Ia langsung duduk di antara aku dan Inna. Aku mengeluarkan laptop dari tas Inna. Malam itu aku menjadi notulen.
Kami masih menunggu.
Diskusi dimulai pukul 19.53 Wib. Kapit membuka diskusi. Suasana menjadi hening dan serius. Ia memperkenalkan Samsara, lalu aku dan Inna. Ia kemudian berbicara sedikit mengenai aborsi, isu yang ada di sekitar kita namun tidak banyak yang ingin membicarakannya terbuka. Tak bisa kita pungkiri, itu memang ada.
Materi selanjutnya mengenai aborsi secara garis besar dijelaskan oleh Inna. Ia mengawali dengan melanjutkan obrolan dari Kapit. Banyak yang tidak menyadari bahwa aborsi telah banyak terjadi tanpa sadar bahwa jumlah kasus aborsi di Indonesia meningkat setiap tahunnya. Bahkan aborsi menyumbang 11 persen untuk Angka Kematian Ibu (AKI) dimana Indonesia memegang rekor tertinggi di ASEAN. Dan banyak yang beranggapan bahwa aborsi hanya masalah perempuan tanpa sadar bahwa lelaki juga bisa mengalami efek psikologis.
Aborsi yang tidak aman dan tidak memenuhi standar medis hingga kini masih menjadi pilihan paling banyak bagi perempuan yang belum menikah. Tapi aborsi dengan cara ini juga masih banyak digunakan oleh perempuan sudah menikah. Ini disebabkan karena status hukum aborsi di Indonesia masih ilegal.
Seperti biasa Inna selalu menanyakan kepada peserta pertanyaan yang sama mengenai aborsi. “Apa yang terlintas dalam kepala anda pertama kali mendengar aborsi?”
“Saya belum pernah aborsi.” kata salah seorang peserta pria sambil tertawa. Peserta yang lain ikut tertawa.
Kami menunggu jawaban selanjutnya, cukup lama kemudian muncul jawaban baru dari peserta pria lain.
“Yang terlintas dalam pikiran saya, aborsi adalah perempuan dan remaja. Tapi apakah ada data yang menggambarkan seberapa besar porsi dilakukan oleh remaja?”
Kami sudah sangat sering mendengar statement bahwa pelaku aborsi terbesar adalah seorang remaja. Namun jika melihat penelitian dari Yayasan Kesehatan Perempuan pada tahun 2003 menyebutkan bahwa 87 persen yang melakukan aborsi adalah ibu rumah tangga. Sedangkan 12 persen lainnya adalah remaja putri. Tidak hanya satu penelitian yang menunjukan bahwa sebagian besar pelaku aborsi terbesar di Indonesia adalah ibu rumah tangga. Tapi ini bisa jadi hanya data berbasis klinis. Lalu bagaimana dengan wanita yang melakukan aborsi diam-diam di tenaga media ilegal atau dukun? Bisa jadi pula jumlah 2.600.000 aborsi di Indonesia ini malah jauh lebih besar jika menambah jumlah angka yang tidak terjangkau. Misalnya pada beberapa kasus aborsi traadisional yang tidak dilakukan di tenaga medis ahli.
Inna melanjutkan materinya mengenai proses aborsi yang dilakukan beberapa orang. Bagaimana aborsi tidak aman bisa lebih menyakitkan daripada melahirkan normal. Seorang peserta wanita yang hadir tiba-tiba menjerit dan berbalik arah seolah tak ingin mendengar Inna. Suasana menjadi sedikit tegang.
Aborsi juga menjadi lahan para mafia aborsi yang banyak dilakukan oleh tenaga medis ilegal, bahkan banyak dilakukan oleh dokter dan bidan. Belum lagi oleh jaringan-jaringan tertentu yang menjual obat-obatan untuk aborsi dari tangan ke tangan.
Suasana makin tegang, sangat terlihat pada ekspresi tiga peserta wanita. Tiba-tiba muncul pertanyaan yang mengejutkan.
“Mbak, benar gak sih soal mitos bayi yang diaborsi bisa jadi tuyul?” tanya Ramdan membuat candaan. Semuanya tertawa. “Nih, buat refreshing nih. Tegang semua soalnya.” katanya.
Seorang peserta pun sempat bertanya peran Samsara seperti apa dalam menangani persoalan aborsi ini. Kami selalu menerima pertanyaan yang sama dalam setiap diskusi dan selalu pula diawal diskusi kami menggambarkan visi Samsara untuk membantu memulihkan penderitaan seseorang pasca aborsi secara psikologis. Yang perlu digarisbawahi bahwa kami tidak mendukung aborsi. Kami sering menerima permintaan dari beberapa pasangan melalui email menanyakan lokasi aborsi yang aman. Kami lebih menyarankan untuk ke dokter dengan memberikan mereka pilihan dan gambaran resiko yang akan mereka terima dari setiap pilihan itu.
Beberapa terlihat tercengang. Beberapa juga bingung.
Dalam beberapa hubungan dalam arti pasangan, jika dihadapkan permasalahan pasca aborsi. Bagaimana cara mengkonseling pasangan? Kebanyakan orang yang mengalami Post Abortion Syndrom adalah wanita namun bukan berarti lelaki tidak bisa mengalaminya. Ini juga menjadi materi menarik dalam diskusi malam itu. Ini merupakan pertanyaan dari seorang peserta pria. Lelaki harus lebih memahami apa yang sebenarnya terjadi pada perempuan atau pasangannya. Mengalami PAS biasanya akan banyak air mata dan sangat menghabiskan energi. Kita sebaiknya lebih melihat pada akar permasalahan.
Misalnya pasangan kita mengalami gelisah. Kita harus mencari tahu apa yang menyebabkan gelisah itu. Orang yang mengalami trauma cenderung ingin melupakannya, namun sebenarnya hal yang perlu kita lakukan adalah mengakui adanya sebuah permasalahan. Itu akan membantu memunculkan kesadaran dan kita akan lebih mudah memahami situasi pasangan.
“Proses pemulihan lebih sulit dari proses pembikinan.” canda Ramdan lagi.
Sangat jarang kita diajarkan untuk memahami emosi-emosi yang terekam dalam hidup. Kita malah cenderung berusaha untuk merasa kuat. Tidak ingin mengakui masalah hingga akhirnya tersimpan terus dalam alam bawah sadar kita dan mengakibatkan depresi berkepanjangan.
Yang perlu dilakukan dalam pemulihan adalah adanya keinginan dan lingkungan yang mendukung. Walaupun laki-laki dan perempuan melakukan konseling atau pendampingan dalam jangka waktu lama tanpa ada komitmen untuk sembuh bisa saja gagal. Konselor bukan pemeran utama tapi hanya pemeran pembantu untuk memulihkan seseorang.
“Untuk membuat orang percaya dengan kita biasanya membutuhkan rekomendasi dari medis.
Apakah Samsara hingga hari ini telah bekerjasama dengan tim medis?”
Kami menyadari bahwa bekerjasama dengan tim medis misalnya seorang dokter akan sangat mendukung gerakan Samsara walau kami lebih fokus pada psikologis. Namun, kami juga memikirkan seperti apa kami dapat memberikan kontribusi untuk menggadeng seorang dokter dalam organisasi kami sementara kami masih mengerjakan proyek idealis.
“Yakinkan mereka untuk melakukan aborsi dengan baik.” pesan seorang peserta lagi.
Inna tersenyum. Aku tidak tahu apa Kapit juga senyum, terlalu gelap untuk memastikannya. Yang pasti aku tidak tersenyum karena sibuk memperhatikan yang lain.
“Lalu apa ada solusi dari pemerintah untuk memperkecil jumlah aborsi?” tanya peserta ke Inna.
Upaya pemerintah saat ini hanya pada penekanan angka kehamilan dan penularan penyakit menular seks yakni memberikan kesadaran akan penggunaan alat kontrasepsi.
Saat menulis ini aku tiba-tiba ingat pada International Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo, Mesir pada tahun 1994. Sebanyak 179 delegasi hadir dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh United Nation. Dalam pertemuan itu menyepakati visi 20 tahun ke depan yang berisi panduan nasional dan internasional keluarga berencana, kesehatan reproduksi, pencegahan HIV/AIDS, pemberdayaan perempuan serta usaha pembangunan yang lain. Salah satu delegasi yang ikut menandatangani kesepakatan tersebut adalah Indonesia.
Salah satu kesepakatan Kairo pada saat itu menegaskan:
All governments and relevant intergovernmental and non-governmental organizations are urged to strengthen their commitment to women health, to deal with the health impact of unsafe abortion as a major public health concern and reduce the recourse to abortion through expanded and improved family planning services. Prevention of unwanted pregnancies must always be given the highest priority and all attempts should be made to eliminate the need for abortion. Women who have unwanted pregnancies should have ready access to reliable information and compassionate counseling. Any measures or changes related to abortion within the health system can only be determined at the national or local level according to the national legislative process. In circumstances in which abortion is not against the law, such abortion should be safe. In all cases, women should have access to quality services for management of complications arising from abortion. Post-abortion counseling, education and family planning services should be offered promptly, which will also help to avoid repeat abortions.
Seluruh pemerintah dan organisasi lintas-departemen dan LSM, didorong untuk memperkuat komitmen pada kesehatan perempuan, untuk menyikapi dampak kesehatan atas aborsi yang tidak aman sebagai masalah kesehatan publik yang utama dan untuk menekan pengulangan aborsi melalui pelayanan perencanaan keluarga yang telah lebih dikembangkan dan diperbaiki. Pencegahan kehamilan yang tak diinginkan harus selalu menjadi prioritas tertinggi dan semua usaha harus dilaksanakan untuk melenyapkan kebutuhan akan aborsi. Perempuan yang mengalami kehamilan tak diinginkan harus memiliki akses yang siap terhadap informasi yang dapat diandalkan dan konseling yang manusiawi. Setiap tindakan dan perubahan yang berhubungan dengan aborsi di dalam sistem kesehatan hanya dapat ditentukan pada tingkat nasional atau lokal, tergantung dari proses legislatif nasional. Dalam segala kasus, perempuan harus punya akses untuk pelayanan yang berkualitas dalam manajemen terhadap komplikasi yang muncul dari aborsi. Konseling paska aborsi, pendidikan dan pelayanan perencanaan keluarga harus ditawarkan yang mana akan juga membantu menghindarkan pengulangan aborsi di kemudian hari.
Aborsi merupakan bagian dari hak reproduksi dan kesehatan reproduksi seseorang jika memang itu perlu. Tapi aku tetap berpikir bahwa pemenuhan tetap harus sesuai dan diatur jelas. Pemberian jalan keluar untuk Kehamilan Tidak Diinginkan dan menekan aborsi tidak aman adalah kuncinya. Legal atau illegal aborsi dengan akses atau tanpa akses kontrolnya ada pada anda. Seperti pesan yang ditulis oleh seorang psikolog dari Amerika, Vincent Rue;
“Pengguguran berakibat menyakitkan, tanpa memperhatikan seberapa besar kepercayaan religiusnya seorang perempuan atau bagaimana positif keyakinannya untuk membuat keputusan aborsi.”
Tentukan pilihan anda, jangan sampai apa yang anda korbankan lebih berharga dari harga yang harus anda bayar, Post Abortion Syndrome.
3 komentar:
melihat pasangan yang gelisah harus mampu melihat akar masalah. tapi terkadang memberi penjelasan dan jalan keluar untuk orang lain mudah. ironisnya yang selalu jadi masalah bagaimana dengan diri sendiri. mampu sejelas memberi pengertian.
tulisan ini bagus. tapi jelas yang berhubungan dengan perasaan dan seks selalu menarik.
hah...eko memang selalu penuh ketertarikan dengan masalah seks. Kodratmu nak...:P
@ Mata hati: Belajar tentang seks itu menarik. Banyak aspek di dalamnya. Suatu saat kita mesti diskusi soal ini.
Posting Komentar