By: Sartika Nasmar
Hari kelima Inna berada di Pare. Kami berdua menyewa kamar di Sanjaya Kos Putri. Untuk memanfaatkan waktu, kami juga mengadakan diskusi di kos ini. Pesertanya semua perempuan. Awalnya, rencana kami diskusi diadakan di lantai dasar tempat di mana anak kos biasa menerima tamu, di ruang nonton. Tapi karena hujan , kami terpaksa mengadakan diskusi dalam kamar Inna di lantai 2. Terbayang betapa sempitnya di dalam ruangan 3 x 4 meter, yang di dalamnya ada lemari dua pintu dan tiga tempat tidur. Kami sempat bingung bagaimana mengakalinya.
Kami terpaksa harus menggeser dua tempat tidur ke satu sisi dan menurunkan kasur busanya untuk dijadikan tempat duduk peserta. Lumayan nyaman. Walau aku dan Inna harus duduk di lantai yang dingin karena hujan seharian.
Diskusi kali ini membuat kami sedikit khawatir karena salah satu peserta hamil tujuh bulan. Kami sempat merasa takut terjadi sesuatu setelah mendengar Inna memaparkan fakta-fakta mengenai aborsi.
Diskusi dimulai pukul 20।09 Wib.
***
26 Januari 2009, sekitar pukul 16।00 Wib. Diskusi juga kami lakukan di Asset (Asociation of Sulawesi Students) mengenai tema yang sama. Asset adalah sebuah perkumpulan anak Sulawesi yang belajar Bahasa Inggris di Pare. Antusias yang menyenangkan karena jumlah peserta yang cukup banyak. Mayoritas peserta laki-laki sekitar 20 orang, sedang perempuan hanya enam orang. Kami diserang berbagai macam pertanyaan dari banyak peserta laki-laki. Bahkan berebut. Jumran, ketua Asset menjadi moderator.
***
Sekitar pukul 18.30 Wib, aku dan Inna baru saja selesai makan malam menu nasi goreng di sebuah warung bernama Empat Mata. Nasi goreng yang enak yang akhirnya bisa kami nikmati setelah tiga hari kami idam-idamkan. Makan selesai, aku menunggu Inna menghabiskan rokoknya lalu menuju ke Oxford, salah satu lembaga kursus untuk mengadakan diskusi mengenai aborsi.
Dua sepeda onthel tua membawa kami menyusuri Jalan Anyelir. Tiba-tiba hujan, kami masih tak peduli. Semakin keras.
“Mbak, hujannya deras. Singgah dulu, laptopmu basah.” teriakku ke Inna.
Inna membelokkan sepedanya ke kanan menuju ke Expert Camp, tempat pertama kami melakukan diskusi yang sama. Kami menunggu hujan reda namun malah semakin deras. Kami memutuskan menuju ke Oxford dengan satu sepeda saja dan meminjam payung pada Ifa, seorang teman yang tinggal di Expert. Ternyata sulit. Ifa menyarankan agar kami jalan kaki saja. Dengan terpaksa sepeda kami titip dan meminjam dua payung. Angin sangat kencang. Kami meminta plastik, Ifa memberi kami tiga. Satu untuk membungkus tas dan dua lagi untuk membungkus kepala kami.
Kami siap berangkat. Payung terbuka lebar siap melindungi kami. Celana kami gulung hingga lutut. Lalu berjalan di antara hujan. Petir terasa mengabadikan perjalanan kami bak cahaya dari sebuah kamera. Tiba-tiba jalan menjadi sangat gelap, lampu mati. Hujan makin deras, angin kencang menyambar. Lumayan mengerikan, aku tidak suka gelap apalagi karena kami harus melewati sebuah pohon bambu yang besar. Ketakutanku terobati dengan tawa.
Pakaian kami sudah mulai basah. Dingin terasa menyentuh tulang. Akhirnya kami tiba di Jalan besar, Brawijaya. Oxford sudah dekat. Kami menyeberang jalan, melewati sebuah warung makan. Banyak orang berlindung dari hujan. Aku sengaja melewati jalan beraspal yang digenangi air untuk mencuci kaki. Sebuah angkutan umum menuju ke arahku dengan kecepatan tinggi, aku segera naik ke trotoar. Mobil menginjak genangan air dan membasahi baju, celana hingga wajahku. Aku dan Inna teriak dengan jengkel. Setelah itu tertawa.
Kami tiba di Oxford yang tampak gelap. Lampu masih mati. Aris menyambut kami dan mempersilahkan masuk. Aku dan Inna sedikit segan masuk karena dalam keadaan kotor. Baju dan celanaku basah, wajahku sedikit kotor akibat cipratan dari genangan air tadi. Inna terlihat menurunkan gulungan celananya lalu mengeluarkan materi dari tas yang basah walau telah dibungkus plastik. Semua rapi, menurut kami. Lalu masuk ke ruang utama di Oxford.
Ruangan itu tidak besar. Kami duduk di lantai yang dialasi karpet dua warna. Sisi kanan merah dan sisi kiri biru. Sebuah meja dengan kaki ukuran 30 centimeter berada di tengah. Di tiap sudut meja diletakkan lilin dengan api kecil menerangi semangat kami.
Kami duduk mengelilingi ruangan। Peserta nampak kedinginan bahkan seorang peserta wanita menutup sekujur tubuhnya dengan selimut tebal. Aris menjadi moderator malam itu, ia memperkenalkan kami. Sangat menakjubkan, terasa beda kali ini tepuk tangan mengawali diskusi walau aku dan Inna dalam keadaan basah dan kumal.
***
Siang hari aku dan Inna kembali memulai pekerjaan. Kami menuju ke sebuah camp putri untuk menawarkan proposal diskusi. Tepatnya, Cherry Camp. Saat itu kami menemui Miss Atin, Pembina di camp tersebut. Kami ngobrol santai dengannya di ruang depan. Sebuah televisi menyala menayangkan program sinetron dan ditonton oleh seorang wanita sambil menyeterika. Ia tepat berada di sebelah kanan saya.
Miss Atin menyambut hangat tawaran diskusi kami, ia bersedia mengumpulkan peserta camp। Kami menyepakati diskusi pada esok malam, 28 Januari 2009 jam 18.30 Wib.
***
27 Januari 2009, diskusi ke enam kami lakukan di sebuah lembaga kursus, Global-E. Kami mengadakan diskusi di ruangan terbuka bagian belakang Global-E. Pesertanya sangat banyak. Sekitar 30 orang. Peserta kali ini adalah murid dalam kelas Speaking yang diajar oleh Mr. Toto. Dia yang memperkenalkan Samsara ke peserta.
Awalnya diskusi dimulai dengan menggunakan Bahasa Inggris. Namun karena banyak yang kesulitan bertanya, lama-kelamaan berubah menjadi diskusi Bahasa Indonesia. Mr. Toto pun akhirnya mengijinkan pelajar-pelajarnya menggunakan Bahasa Indonesia.
“Everybody can speak. You can speak in Bahasa.”
“Really?” jawab seorang peserta.
“Yeah, of course. I give you special today.”
Tiba-tiba diskusi menjadi ramai dengan sorak।
***
Hari berikutnya aku dan Inna memutuskan istirahat dari pagi hingga sore. Kami hanya menunggu waktu untuk diskusi terakhir di Cherry Camp pukul 19.00 Wib. Hujan tak henti-hentinya sepanjang hari itu. Hingga petang muncul, gerimis masih mengiringi. Kapit datang ke kos pukul 18.30, bajunya sedikit basah. Ia kemudian meng-copy materi untuk persiapan diskusi malam ini. Ia tidak ikut dengan kami ke Cherry, ia harus ke Kediri membawa proposal yang diminta oleh seorang dosen di Universitas Kadiri untuk mengadakan seminar bersama Samsara.
Aku dan Inna terlambat ke Cherry karena menunggu hujan reda। Kami berangkat saat gerimis masih ada. Tiba di Cherry peserta terlihat menunggu kami dengan santai. Semua peserta perempuan sekitar 13 orang. Tak ada moderator. Diskusi malam itu nampak sepi. Aku dan Inna mencoba pertahankan semangat.
***
Aku dan Inna sedikit lega karena sosialisasi dan edukasi selesai. Pikir kami. Aku membuat laporan sedang Inna membuat sebuah tulisan mengenai pengalaman kami selama di Pare. Tiba-tiba sebuah pesan diterima Inna di handphonenya. Sms itu dari Direktur Smart (salah satu lembaga kursus), Miss Uun. Ia meminta Samsara mengisi diskusi di Story Camp 1 dan 4 malam ini, 29 Januari 2009. Inna menanyakan kesiapanku. Aku dengan senang hati menyetujui. Aku menghubungi Kapit, menyuruh ia datang lebih cepat untuk meng-copy materi yang sudah habis.
Pukul 18.00, aku dan Inna berangkat. Kami memilih jalan kaki karena hujan dan harus menggunakan payung. Sebelumnya kami singgah di warung tepat di sebelah Story 1, kami memesan nasi goreng satu porsi dan segelas teh hangat. Kapit menyusul kami. Setelah makan, kami masih duduk sambil menyiapkan materi. Tiba-tiba seorang pria mengintip dari arah Story 1.
“Samsara yah?” katanya.
“Iya pak.” jawab Inna.
“Udah ditunggu dari tadi.”
“Oh, iya pak. Kami sedang menyiapkan materi dulu, setelah itu kami masuk.”
Kami masuk ke Story 1, sebuah asrama putri khusus English Area. Bangunan yang sangat bagus. Ruang diskusi sangat luas, pesertanya pun sangat banyak. Mereka kebanyakan adalah remaja yang baru saja lulus dari Sekolah Menengah Umum. Suasana sangat ramai. Mereka tampak senang dan antusias dengan adanya diskusi ini. Pertanyaan satu per satu muncul. Teriakan, istighfar, ekspresi meringis hingga ingin muntah dan bersendawa meramaikan diskusi saat seorang peserta bertanya mengenai metode dan proses aborsi.
“Stop miss,” pinta seorang peserta ke Inna. Ia mengelus perutnya. Gigi atas dan bawahnya bersatu. Lalu menutup telinga.
“Aku aja ditabrak becak, pemulihannya lama. Apalagi aborsi?” canda seorang peserta mencairkan suasana tegang.
Diskusi selesai 20.30. Miss Uun mengajak kami langsung menuju ke Story 4, camp selanjutnya di mana kami akan melakukan diskusi terakhir hari ini. Pesertanya tidak banyak, semua laki-laki. Diskusi dibuka oleh Miss Uun. Di Story 4 kami lebih banyak membahas mengenai aborsi dan lelaki. Kapit mengawali diskusi sebelum Inna. Sedang aku menjelaskan mengenai Post Abortion Syndrome.
Walau peserta hanya 12 orang namun antusias dan rasa ingin tahu mereka yang sangat besar membuat kami bersemangat। Suasana diskusi yang menyenangkan.
***
Kami selalu membuka diskusi dengan memperkenalkan Samsara. Lalu dilanjutkan dengan sedikit prolog mengenai data aborsi di Indonesia. Mendengar angka aborsi yang tinggi di Indonesia, banyak peserta yang tidak menyangka dan tak terpikirkan.
“Jumlah aborsi di Indonesia sebanyak 2.600.000 pada tahun 2006. Jika dibagi lagi maka ada 7123 kasus per harinya dengan asumsi 5-6 kasus per detik.”
“Astaghfirullah,”
“Wah, banyak juga yah?”
“Berarti sekarang ada yang aborsi dong?”
Kami selalu mendapatkan statement seperti itu saat memaparkan angka aborsi.
Inna melanjutkan dengan materinya. Inna selalu mengawali dengan mencari tahu sejauh mana pengetahuan peserta mengenai aborsi. Para peserta malam itu masing-masing mengeluarkan pendapat. Dosa, tidak bertanggung jawab, menyakitkan, tidak bermoral, tidak mendapat pasangan yang baik, bukan wanita baik-baik, tidak mendapat pengetahuan yang benar, pengguguran yang sakit, pembunuhan, membuang bayi, dan pemaksaan kelahiran. Pendapat-pendapat ini sering muncul di semua tempat dimana kami melakukan diskusi.
Ketika aborsi menjadi bahan pembicaraan, anggapan yang muncul kebanyakan hanya mengingat aborsi dari segi medis, hukum dan agama. Tanpa kita sadari bahwa aborsi juga memiliki dampak terhadap mental yang bisa saja terjadi pada perempuan atau lelaki, pasangan dan keluarga paska terjadinya aborsi. Gangguan mental tersebut dikenal dengan Post Abortion Syndrome (PAS).
Suatu malam, setelah diskusi. Aku menerima sebuah sms dari salah seorang peserta diskusi. “Mbak, berapa lama biasanya PAS terjadi setelah aborsi?”
PAS bisa terjadi beberapa saat setelah aborsi dan bisa juga terjadi bertahun-tahun setelah aborsi. Itu tergantung bagaimana tingkat traumatis seseorang. Aborsi yang menyakitkan, adanya infeksi paska aborsi, paksaan melakukan aborsi dan sistem nilai dan kepercayaan yang dianut seseorang adalah faktor-faktor yang menyebabkan aborsi dapat menjadi traumatis.
Aborsi yang menyakitkan banyak terjadi pada tindakan aborsi yang tidak aman atau dilakukan dengan standar medis yang tidak tepat. Misalnya oleh tenaga medis illegal dan tindakan aborsi secara tradisional. Biasanya dengan menggunakan alat atau benda tajam, obat-obatan hingga melakukan tekanan dan pemijatan pada bagian abdomen dengan teknik yang justru dapat menimbulkan efek yang lebih menyakitkan pada kesehatan fisik dan mental seorang perempuan.
Dari segi medis, aborsi yang tidak tuntas dapat menyebabkan infeksi pada rahim. Beberapa efek pada kesehatan bisa muncul pasca aborsi yang tidak tuntas tersebut. Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Brian Clowes, Facts of Life disebutkan beberapa resiko kesehatan dan keselamatan fisik yang akan dihadapi perempuan pada saat aborsi dan paska aborsi.
1. Kematian mendadak karena pendarahan hebat.
2. Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal.
3. Kematian secara lambat akibat infeksi serius di sekitar kandungan.
4. Rahim yang sobek (Uterine Perforation).
5. Kerusakan leher rahim (Cervical Lacerations) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya.
6. Kanker payudara (terjadi karena ketidakseimbangan hormone estrogen pada wanita).
7. Kanker indung telur (Ovarium cancer).
8. Kanker leher rahim (Cervical cancer).
9. Kanker hati (Liver cancer).
10. Kelainan pada ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya dan pendarahan hebat pada kehamilan selanjutnya.
11. Menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan lagi (Ectopic Pregnancy).
12. Infeksi rongga panggul (Pelvic Inflammatory Disease).
13. Infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis).
Trauma muncul biasanya disebabkan karena ketakutan seorang perempuan jika mengalami akibat yang bisa diderita apalagi jika aborsi yang mereka lakukan tidak tuntas. Namun bagi perempuan yang melakukan aborsi secara tradisional terkadang lebih memiliki efek mental yang lebih. Karena peluang mengalami infeksi lebih besar. Ini banyak dialami oleh remaja atau perempuan yang belum menikah. Mereka akan lebih merasa tertekan dengan ketakutan untuk mengontrol kesehatan rahim mereka.
Bahkan beberapa kasus yang terjadi pada perempuan yang sedang mengalami PAS, tidak mempunyai keinginan untuk memeriksakan kesehatan mereka ke dokter. Ini biasa diakibatkan karena tingkat kepercayaan diri dan merasa tidak berharga menghantui pikiran mereka sendiri. Ini banyak dialami oleh perempuan yang melakukan aborsi karena paksaan dari pasangan dan orang tua mereka.
Banyak sekali perempuan yang mengalami kehamilan terpaksa memilih aborsi karena paksaan. Mereka tidak punya kekuatan untuk mengatakan tidak dan menolak paksaan tersebut. Alasan paksaan dari seorang laki-laki biasanya disebabkan karena belum siap dari segi finansial dan takut pada orang tua mereka. Sedang alasan yang berasal dari paksan orang tua untuk mempertahankan image mereka karena malu pada masyarakat. Namun, jika ini kemudian dikaitkan dengan hukum maka hukuman terberat akan dijatuhkan pada perempuan sebagai pelaku aborsi.
Ketakutan hidup dalam bayang-bayang penilaian masyarakat yang negatif karena mengalami kehamilan pra-nikah membuat seorang perempuan dan keluarga memutuskan untuk aborsi. Ini erat kaitannya dengan sistem nilai dan kepercayaan yang dianut seseorang. Agama dan moral menjadi tolak ukur banyak orang dalam menilai orang lain. Banyak peserta yang beranggapan bahwa orang yang melakukan aborsi tidak mendapatkan dua hal tersebut dengan cara yang tepat.
Sejak kecil kita dididik untuk memiliki dan memahami dua hal tersebut. Apakah itu efektif, kembali kepada individu masing-masing. Bagaimana seseorang mengontrol diri tergantung bagaimana mekanisme pertahanan diri mereka. Pendidikan dalam keluarga akan sangat berperan penting dalam menjaga mekanisme pertahanan diri tersebut.
Perempuan yang memegang sistem nilai dan kepercayaan dimana aborsi adalah suatu tindakan yang tidak dibenarkan, biasanya lebih rentan mengalami trauma. Aborsi bukanlah keputusan yang mudah. Diperlukan kesiapan fisik dan mental melakukannya.
“Apa yang bisa kita lakukan untuk menekan angka aborsi?” tanya seorang peserta pada saat diskusi di Asset.
Aborsi kerap diidentikkan menjadi masalah kaum perempuan saja. Asumsi itu masih banyak disimpan dalam memori masyarakat. Aborsi memang dilakukan dan dirasakan langsung oleh kaum perempuan, itu sudah tentu terjadi. Namun, timbulnya kehamilan melalui proses kerja sama intim antara laki-laki dan perempuan. Hal yang pertama adalah merubah asumsi itu, hingga muncul tanggung jawab bersama dan kesadaran bersama.
Untuk menekan angka aborsi, dalam beberapa diskusi kami lebih banyak membahas akar permasalahan yang menyebabkan adanya kehamilan tidak diinginkan hingga menyebabkan aborsi.
Kurangnya pendidikan seks untuk remaja. Banyak dari klien kami yang sudah melakukan aborsi mengakui bahwa mereka tidak tahu sama sekali mengenai pendidikan seks. Bagaimana menjaga dengan baik kesehatan reproduksi mereka dan sulit membuat keputusan menolak jika terjebak dalam ajakan berhubungan seksual.
“Saya setuju jika pendidikan seks diberikan kepada setiap orang. Tapi, dengan adanya diskusi-diskusi seperti ini saya pikir akan terlihat seperti menakut-nakuti. Inikan cenderung akan membuat orang takut, bukan berpikir.” kata seorang peserta di Oxford.
“Saya pikir ini bukan menakut-nakuti tapi kita lebih berbicara pada pendidikan resiko. Orang-orang harus sadar bahwa segala sesuatu yang dilakukan akan selalu ada resikonya.” sanggah Miss Uun, peserta diskusi.
Selalu ada pilihan dalam hidup. Segala pilihan yang ada dihadapan kita, selalu diikuti oleh resiko. Kita selalu dididik mengenai apa yang baik dan apa yang salah. Tapi sangat jarang kita diberikan pengetahuan mengenai alasan mengapa hal itu salah atau benar sehingga resiko kadang terlupakan.
Hasrat seksual tidak bisa dipungkiri ada dalam diri kita. Mengakui dan merasakannya adalah suatu hal yang normal. Semua tergantung pada pilihan anda mengendalikannya. Melakukan hubungan seks pra-nikah membutuhkan tanggung jawab besar. Melakukannya atau tidak adalah hak setiap orang. Pendidikan seks yang tepat dengan memasukkan informasi mengenai kesehatan reproduksi akan berguna dalam pembentukan sikap dan pengambilan keputusan. Khususnya kepada remaja, dengan adanya pendidikan seks akan membantu mereka dalam memilih informasi yang akurat dan tidak akurat sesuai dengan tatanan moral, apalagi jika dikaitkan dengan isu yang sensitif seperti seksualitas, aborsi dan kontrasepsi.
Permasalahan yang juga muncul pada kehamilan tidak diinginkan karena tingkat penggunaan kontrasepsi yang rendah di Indonesia. Metode kontrasepsi digunakan untuk mencegah kehamilan. Bagi pasangan pra nikah, satu-satunya alat kontrasepsi yang bisa dengan mudah mereka dapatkan adalah kondom. Kondom adalah selaput karet/latex yang dipasang pada penis selama berhubungan seksual sehingga mencegah sperma bertemu dengan sel telur.
Salah satu penyebab rendahnya pemakaian alat kontrasepsi terutama kondom karena adanya asumsi melegalkan hubungan seks. Hal tersebut erat kaitannya dengan rendahnya penggunaan kontrasepsi. Banyak pasangan yang malu untuk membeli kondom.
Budaya kita tidak memberikan ruang bagi seorang perempuan menjadi seorang single mother. Ini dirasakan bagi perempuan yang hamil sebelum adanya ikatan pernikahan. Judgement dari masyarakat menjadi hal yang menakutkan daripada menyelamatkan janin mereka. Di beberapa negara dimana aborsi legal misalnya, sebagian besar perempuan memutuskan untuk melakukan aborsi dengan kesadaran bahwa itu adalah hak reproduksi mereka. Sedang di Indonesia, tidak. Banyak perempuan yang melakukan aborsi dengan alasan takut pada orang tua, malu atau bahkan dipaksa.
Legal atau ilegalnya status hukum aborsi bisa saja bukan hal yang menentukan untuk menekan angka aborsi di Indonesia. Namun hanya akan mengubah aborsi yang tidak aman menjadi aman. Kita membutuhkan tindakan preventif. Samsara setuju bahwa pendidikan seks dengan dipaketkan dengan pendidikan resiko akan lebih bermanfaat sebagai suatu langkah awal.
Kami sangat optimis bahwa perubahan akan muncul walau dengan mengadakan diskusi dalam lingkup yang kecil. Kedekatan personal terasa membantu dalam mengatasi dampak aborsi. Kepedulian terasa bersatu dengan kita pada saat-saat diskusi akan berakhir dengan beberapa tawaran dari peserta.
“Apa yang harus kami lakukan untuk membantu memulihkan perempuan atau pasangan kami jika mengalami PAS?”
Haru dan bahagia terasa mengelilingi hati kecil kami, Samsara Abortion Recovery. Terimakasih Pare.
Hari kelima Inna berada di Pare. Kami berdua menyewa kamar di Sanjaya Kos Putri. Untuk memanfaatkan waktu, kami juga mengadakan diskusi di kos ini. Pesertanya semua perempuan. Awalnya, rencana kami diskusi diadakan di lantai dasar tempat di mana anak kos biasa menerima tamu, di ruang nonton. Tapi karena hujan , kami terpaksa mengadakan diskusi dalam kamar Inna di lantai 2. Terbayang betapa sempitnya di dalam ruangan 3 x 4 meter, yang di dalamnya ada lemari dua pintu dan tiga tempat tidur. Kami sempat bingung bagaimana mengakalinya.
Kami terpaksa harus menggeser dua tempat tidur ke satu sisi dan menurunkan kasur busanya untuk dijadikan tempat duduk peserta. Lumayan nyaman. Walau aku dan Inna harus duduk di lantai yang dingin karena hujan seharian.
Diskusi kali ini membuat kami sedikit khawatir karena salah satu peserta hamil tujuh bulan. Kami sempat merasa takut terjadi sesuatu setelah mendengar Inna memaparkan fakta-fakta mengenai aborsi.
Diskusi dimulai pukul 20।09 Wib.
***
26 Januari 2009, sekitar pukul 16।00 Wib. Diskusi juga kami lakukan di Asset (Asociation of Sulawesi Students) mengenai tema yang sama. Asset adalah sebuah perkumpulan anak Sulawesi yang belajar Bahasa Inggris di Pare. Antusias yang menyenangkan karena jumlah peserta yang cukup banyak. Mayoritas peserta laki-laki sekitar 20 orang, sedang perempuan hanya enam orang. Kami diserang berbagai macam pertanyaan dari banyak peserta laki-laki. Bahkan berebut. Jumran, ketua Asset menjadi moderator.
***
Sekitar pukul 18.30 Wib, aku dan Inna baru saja selesai makan malam menu nasi goreng di sebuah warung bernama Empat Mata. Nasi goreng yang enak yang akhirnya bisa kami nikmati setelah tiga hari kami idam-idamkan. Makan selesai, aku menunggu Inna menghabiskan rokoknya lalu menuju ke Oxford, salah satu lembaga kursus untuk mengadakan diskusi mengenai aborsi.
Dua sepeda onthel tua membawa kami menyusuri Jalan Anyelir. Tiba-tiba hujan, kami masih tak peduli. Semakin keras.
“Mbak, hujannya deras. Singgah dulu, laptopmu basah.” teriakku ke Inna.
Inna membelokkan sepedanya ke kanan menuju ke Expert Camp, tempat pertama kami melakukan diskusi yang sama. Kami menunggu hujan reda namun malah semakin deras. Kami memutuskan menuju ke Oxford dengan satu sepeda saja dan meminjam payung pada Ifa, seorang teman yang tinggal di Expert. Ternyata sulit. Ifa menyarankan agar kami jalan kaki saja. Dengan terpaksa sepeda kami titip dan meminjam dua payung. Angin sangat kencang. Kami meminta plastik, Ifa memberi kami tiga. Satu untuk membungkus tas dan dua lagi untuk membungkus kepala kami.
Kami siap berangkat. Payung terbuka lebar siap melindungi kami. Celana kami gulung hingga lutut. Lalu berjalan di antara hujan. Petir terasa mengabadikan perjalanan kami bak cahaya dari sebuah kamera. Tiba-tiba jalan menjadi sangat gelap, lampu mati. Hujan makin deras, angin kencang menyambar. Lumayan mengerikan, aku tidak suka gelap apalagi karena kami harus melewati sebuah pohon bambu yang besar. Ketakutanku terobati dengan tawa.
Pakaian kami sudah mulai basah. Dingin terasa menyentuh tulang. Akhirnya kami tiba di Jalan besar, Brawijaya. Oxford sudah dekat. Kami menyeberang jalan, melewati sebuah warung makan. Banyak orang berlindung dari hujan. Aku sengaja melewati jalan beraspal yang digenangi air untuk mencuci kaki. Sebuah angkutan umum menuju ke arahku dengan kecepatan tinggi, aku segera naik ke trotoar. Mobil menginjak genangan air dan membasahi baju, celana hingga wajahku. Aku dan Inna teriak dengan jengkel. Setelah itu tertawa.
Kami tiba di Oxford yang tampak gelap. Lampu masih mati. Aris menyambut kami dan mempersilahkan masuk. Aku dan Inna sedikit segan masuk karena dalam keadaan kotor. Baju dan celanaku basah, wajahku sedikit kotor akibat cipratan dari genangan air tadi. Inna terlihat menurunkan gulungan celananya lalu mengeluarkan materi dari tas yang basah walau telah dibungkus plastik. Semua rapi, menurut kami. Lalu masuk ke ruang utama di Oxford.
Ruangan itu tidak besar. Kami duduk di lantai yang dialasi karpet dua warna. Sisi kanan merah dan sisi kiri biru. Sebuah meja dengan kaki ukuran 30 centimeter berada di tengah. Di tiap sudut meja diletakkan lilin dengan api kecil menerangi semangat kami.
Kami duduk mengelilingi ruangan। Peserta nampak kedinginan bahkan seorang peserta wanita menutup sekujur tubuhnya dengan selimut tebal. Aris menjadi moderator malam itu, ia memperkenalkan kami. Sangat menakjubkan, terasa beda kali ini tepuk tangan mengawali diskusi walau aku dan Inna dalam keadaan basah dan kumal.
***
Siang hari aku dan Inna kembali memulai pekerjaan. Kami menuju ke sebuah camp putri untuk menawarkan proposal diskusi. Tepatnya, Cherry Camp. Saat itu kami menemui Miss Atin, Pembina di camp tersebut. Kami ngobrol santai dengannya di ruang depan. Sebuah televisi menyala menayangkan program sinetron dan ditonton oleh seorang wanita sambil menyeterika. Ia tepat berada di sebelah kanan saya.
Miss Atin menyambut hangat tawaran diskusi kami, ia bersedia mengumpulkan peserta camp। Kami menyepakati diskusi pada esok malam, 28 Januari 2009 jam 18.30 Wib.
***
27 Januari 2009, diskusi ke enam kami lakukan di sebuah lembaga kursus, Global-E. Kami mengadakan diskusi di ruangan terbuka bagian belakang Global-E. Pesertanya sangat banyak. Sekitar 30 orang. Peserta kali ini adalah murid dalam kelas Speaking yang diajar oleh Mr. Toto. Dia yang memperkenalkan Samsara ke peserta.
Awalnya diskusi dimulai dengan menggunakan Bahasa Inggris. Namun karena banyak yang kesulitan bertanya, lama-kelamaan berubah menjadi diskusi Bahasa Indonesia. Mr. Toto pun akhirnya mengijinkan pelajar-pelajarnya menggunakan Bahasa Indonesia.
“Everybody can speak. You can speak in Bahasa.”
“Really?” jawab seorang peserta.
“Yeah, of course. I give you special today.”
Tiba-tiba diskusi menjadi ramai dengan sorak।
***
Hari berikutnya aku dan Inna memutuskan istirahat dari pagi hingga sore. Kami hanya menunggu waktu untuk diskusi terakhir di Cherry Camp pukul 19.00 Wib. Hujan tak henti-hentinya sepanjang hari itu. Hingga petang muncul, gerimis masih mengiringi. Kapit datang ke kos pukul 18.30, bajunya sedikit basah. Ia kemudian meng-copy materi untuk persiapan diskusi malam ini. Ia tidak ikut dengan kami ke Cherry, ia harus ke Kediri membawa proposal yang diminta oleh seorang dosen di Universitas Kadiri untuk mengadakan seminar bersama Samsara.
Aku dan Inna terlambat ke Cherry karena menunggu hujan reda। Kami berangkat saat gerimis masih ada. Tiba di Cherry peserta terlihat menunggu kami dengan santai. Semua peserta perempuan sekitar 13 orang. Tak ada moderator. Diskusi malam itu nampak sepi. Aku dan Inna mencoba pertahankan semangat.
***
Aku dan Inna sedikit lega karena sosialisasi dan edukasi selesai. Pikir kami. Aku membuat laporan sedang Inna membuat sebuah tulisan mengenai pengalaman kami selama di Pare. Tiba-tiba sebuah pesan diterima Inna di handphonenya. Sms itu dari Direktur Smart (salah satu lembaga kursus), Miss Uun. Ia meminta Samsara mengisi diskusi di Story Camp 1 dan 4 malam ini, 29 Januari 2009. Inna menanyakan kesiapanku. Aku dengan senang hati menyetujui. Aku menghubungi Kapit, menyuruh ia datang lebih cepat untuk meng-copy materi yang sudah habis.
Pukul 18.00, aku dan Inna berangkat. Kami memilih jalan kaki karena hujan dan harus menggunakan payung. Sebelumnya kami singgah di warung tepat di sebelah Story 1, kami memesan nasi goreng satu porsi dan segelas teh hangat. Kapit menyusul kami. Setelah makan, kami masih duduk sambil menyiapkan materi. Tiba-tiba seorang pria mengintip dari arah Story 1.
“Samsara yah?” katanya.
“Iya pak.” jawab Inna.
“Udah ditunggu dari tadi.”
“Oh, iya pak. Kami sedang menyiapkan materi dulu, setelah itu kami masuk.”
Kami masuk ke Story 1, sebuah asrama putri khusus English Area. Bangunan yang sangat bagus. Ruang diskusi sangat luas, pesertanya pun sangat banyak. Mereka kebanyakan adalah remaja yang baru saja lulus dari Sekolah Menengah Umum. Suasana sangat ramai. Mereka tampak senang dan antusias dengan adanya diskusi ini. Pertanyaan satu per satu muncul. Teriakan, istighfar, ekspresi meringis hingga ingin muntah dan bersendawa meramaikan diskusi saat seorang peserta bertanya mengenai metode dan proses aborsi.
“Stop miss,” pinta seorang peserta ke Inna. Ia mengelus perutnya. Gigi atas dan bawahnya bersatu. Lalu menutup telinga.
“Aku aja ditabrak becak, pemulihannya lama. Apalagi aborsi?” canda seorang peserta mencairkan suasana tegang.
Diskusi selesai 20.30. Miss Uun mengajak kami langsung menuju ke Story 4, camp selanjutnya di mana kami akan melakukan diskusi terakhir hari ini. Pesertanya tidak banyak, semua laki-laki. Diskusi dibuka oleh Miss Uun. Di Story 4 kami lebih banyak membahas mengenai aborsi dan lelaki. Kapit mengawali diskusi sebelum Inna. Sedang aku menjelaskan mengenai Post Abortion Syndrome.
Walau peserta hanya 12 orang namun antusias dan rasa ingin tahu mereka yang sangat besar membuat kami bersemangat। Suasana diskusi yang menyenangkan.
***
Kami selalu membuka diskusi dengan memperkenalkan Samsara. Lalu dilanjutkan dengan sedikit prolog mengenai data aborsi di Indonesia. Mendengar angka aborsi yang tinggi di Indonesia, banyak peserta yang tidak menyangka dan tak terpikirkan.
“Jumlah aborsi di Indonesia sebanyak 2.600.000 pada tahun 2006. Jika dibagi lagi maka ada 7123 kasus per harinya dengan asumsi 5-6 kasus per detik.”
“Astaghfirullah,”
“Wah, banyak juga yah?”
“Berarti sekarang ada yang aborsi dong?”
Kami selalu mendapatkan statement seperti itu saat memaparkan angka aborsi.
Inna melanjutkan dengan materinya. Inna selalu mengawali dengan mencari tahu sejauh mana pengetahuan peserta mengenai aborsi. Para peserta malam itu masing-masing mengeluarkan pendapat. Dosa, tidak bertanggung jawab, menyakitkan, tidak bermoral, tidak mendapat pasangan yang baik, bukan wanita baik-baik, tidak mendapat pengetahuan yang benar, pengguguran yang sakit, pembunuhan, membuang bayi, dan pemaksaan kelahiran. Pendapat-pendapat ini sering muncul di semua tempat dimana kami melakukan diskusi.
Ketika aborsi menjadi bahan pembicaraan, anggapan yang muncul kebanyakan hanya mengingat aborsi dari segi medis, hukum dan agama. Tanpa kita sadari bahwa aborsi juga memiliki dampak terhadap mental yang bisa saja terjadi pada perempuan atau lelaki, pasangan dan keluarga paska terjadinya aborsi. Gangguan mental tersebut dikenal dengan Post Abortion Syndrome (PAS).
Suatu malam, setelah diskusi. Aku menerima sebuah sms dari salah seorang peserta diskusi. “Mbak, berapa lama biasanya PAS terjadi setelah aborsi?”
PAS bisa terjadi beberapa saat setelah aborsi dan bisa juga terjadi bertahun-tahun setelah aborsi. Itu tergantung bagaimana tingkat traumatis seseorang. Aborsi yang menyakitkan, adanya infeksi paska aborsi, paksaan melakukan aborsi dan sistem nilai dan kepercayaan yang dianut seseorang adalah faktor-faktor yang menyebabkan aborsi dapat menjadi traumatis.
Aborsi yang menyakitkan banyak terjadi pada tindakan aborsi yang tidak aman atau dilakukan dengan standar medis yang tidak tepat. Misalnya oleh tenaga medis illegal dan tindakan aborsi secara tradisional. Biasanya dengan menggunakan alat atau benda tajam, obat-obatan hingga melakukan tekanan dan pemijatan pada bagian abdomen dengan teknik yang justru dapat menimbulkan efek yang lebih menyakitkan pada kesehatan fisik dan mental seorang perempuan.
Dari segi medis, aborsi yang tidak tuntas dapat menyebabkan infeksi pada rahim. Beberapa efek pada kesehatan bisa muncul pasca aborsi yang tidak tuntas tersebut. Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Brian Clowes, Facts of Life disebutkan beberapa resiko kesehatan dan keselamatan fisik yang akan dihadapi perempuan pada saat aborsi dan paska aborsi.
1. Kematian mendadak karena pendarahan hebat.
2. Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal.
3. Kematian secara lambat akibat infeksi serius di sekitar kandungan.
4. Rahim yang sobek (Uterine Perforation).
5. Kerusakan leher rahim (Cervical Lacerations) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya.
6. Kanker payudara (terjadi karena ketidakseimbangan hormone estrogen pada wanita).
7. Kanker indung telur (Ovarium cancer).
8. Kanker leher rahim (Cervical cancer).
9. Kanker hati (Liver cancer).
10. Kelainan pada ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya dan pendarahan hebat pada kehamilan selanjutnya.
11. Menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan lagi (Ectopic Pregnancy).
12. Infeksi rongga panggul (Pelvic Inflammatory Disease).
13. Infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis).
Trauma muncul biasanya disebabkan karena ketakutan seorang perempuan jika mengalami akibat yang bisa diderita apalagi jika aborsi yang mereka lakukan tidak tuntas. Namun bagi perempuan yang melakukan aborsi secara tradisional terkadang lebih memiliki efek mental yang lebih. Karena peluang mengalami infeksi lebih besar. Ini banyak dialami oleh remaja atau perempuan yang belum menikah. Mereka akan lebih merasa tertekan dengan ketakutan untuk mengontrol kesehatan rahim mereka.
Bahkan beberapa kasus yang terjadi pada perempuan yang sedang mengalami PAS, tidak mempunyai keinginan untuk memeriksakan kesehatan mereka ke dokter. Ini biasa diakibatkan karena tingkat kepercayaan diri dan merasa tidak berharga menghantui pikiran mereka sendiri. Ini banyak dialami oleh perempuan yang melakukan aborsi karena paksaan dari pasangan dan orang tua mereka.
Banyak sekali perempuan yang mengalami kehamilan terpaksa memilih aborsi karena paksaan. Mereka tidak punya kekuatan untuk mengatakan tidak dan menolak paksaan tersebut. Alasan paksaan dari seorang laki-laki biasanya disebabkan karena belum siap dari segi finansial dan takut pada orang tua mereka. Sedang alasan yang berasal dari paksan orang tua untuk mempertahankan image mereka karena malu pada masyarakat. Namun, jika ini kemudian dikaitkan dengan hukum maka hukuman terberat akan dijatuhkan pada perempuan sebagai pelaku aborsi.
Ketakutan hidup dalam bayang-bayang penilaian masyarakat yang negatif karena mengalami kehamilan pra-nikah membuat seorang perempuan dan keluarga memutuskan untuk aborsi. Ini erat kaitannya dengan sistem nilai dan kepercayaan yang dianut seseorang. Agama dan moral menjadi tolak ukur banyak orang dalam menilai orang lain. Banyak peserta yang beranggapan bahwa orang yang melakukan aborsi tidak mendapatkan dua hal tersebut dengan cara yang tepat.
Sejak kecil kita dididik untuk memiliki dan memahami dua hal tersebut. Apakah itu efektif, kembali kepada individu masing-masing. Bagaimana seseorang mengontrol diri tergantung bagaimana mekanisme pertahanan diri mereka. Pendidikan dalam keluarga akan sangat berperan penting dalam menjaga mekanisme pertahanan diri tersebut.
Perempuan yang memegang sistem nilai dan kepercayaan dimana aborsi adalah suatu tindakan yang tidak dibenarkan, biasanya lebih rentan mengalami trauma. Aborsi bukanlah keputusan yang mudah. Diperlukan kesiapan fisik dan mental melakukannya.
“Apa yang bisa kita lakukan untuk menekan angka aborsi?” tanya seorang peserta pada saat diskusi di Asset.
Aborsi kerap diidentikkan menjadi masalah kaum perempuan saja. Asumsi itu masih banyak disimpan dalam memori masyarakat. Aborsi memang dilakukan dan dirasakan langsung oleh kaum perempuan, itu sudah tentu terjadi. Namun, timbulnya kehamilan melalui proses kerja sama intim antara laki-laki dan perempuan. Hal yang pertama adalah merubah asumsi itu, hingga muncul tanggung jawab bersama dan kesadaran bersama.
Untuk menekan angka aborsi, dalam beberapa diskusi kami lebih banyak membahas akar permasalahan yang menyebabkan adanya kehamilan tidak diinginkan hingga menyebabkan aborsi.
Kurangnya pendidikan seks untuk remaja. Banyak dari klien kami yang sudah melakukan aborsi mengakui bahwa mereka tidak tahu sama sekali mengenai pendidikan seks. Bagaimana menjaga dengan baik kesehatan reproduksi mereka dan sulit membuat keputusan menolak jika terjebak dalam ajakan berhubungan seksual.
“Saya setuju jika pendidikan seks diberikan kepada setiap orang. Tapi, dengan adanya diskusi-diskusi seperti ini saya pikir akan terlihat seperti menakut-nakuti. Inikan cenderung akan membuat orang takut, bukan berpikir.” kata seorang peserta di Oxford.
“Saya pikir ini bukan menakut-nakuti tapi kita lebih berbicara pada pendidikan resiko. Orang-orang harus sadar bahwa segala sesuatu yang dilakukan akan selalu ada resikonya.” sanggah Miss Uun, peserta diskusi.
Selalu ada pilihan dalam hidup. Segala pilihan yang ada dihadapan kita, selalu diikuti oleh resiko. Kita selalu dididik mengenai apa yang baik dan apa yang salah. Tapi sangat jarang kita diberikan pengetahuan mengenai alasan mengapa hal itu salah atau benar sehingga resiko kadang terlupakan.
Hasrat seksual tidak bisa dipungkiri ada dalam diri kita. Mengakui dan merasakannya adalah suatu hal yang normal. Semua tergantung pada pilihan anda mengendalikannya. Melakukan hubungan seks pra-nikah membutuhkan tanggung jawab besar. Melakukannya atau tidak adalah hak setiap orang. Pendidikan seks yang tepat dengan memasukkan informasi mengenai kesehatan reproduksi akan berguna dalam pembentukan sikap dan pengambilan keputusan. Khususnya kepada remaja, dengan adanya pendidikan seks akan membantu mereka dalam memilih informasi yang akurat dan tidak akurat sesuai dengan tatanan moral, apalagi jika dikaitkan dengan isu yang sensitif seperti seksualitas, aborsi dan kontrasepsi.
Permasalahan yang juga muncul pada kehamilan tidak diinginkan karena tingkat penggunaan kontrasepsi yang rendah di Indonesia. Metode kontrasepsi digunakan untuk mencegah kehamilan. Bagi pasangan pra nikah, satu-satunya alat kontrasepsi yang bisa dengan mudah mereka dapatkan adalah kondom. Kondom adalah selaput karet/latex yang dipasang pada penis selama berhubungan seksual sehingga mencegah sperma bertemu dengan sel telur.
Salah satu penyebab rendahnya pemakaian alat kontrasepsi terutama kondom karena adanya asumsi melegalkan hubungan seks. Hal tersebut erat kaitannya dengan rendahnya penggunaan kontrasepsi. Banyak pasangan yang malu untuk membeli kondom.
Budaya kita tidak memberikan ruang bagi seorang perempuan menjadi seorang single mother. Ini dirasakan bagi perempuan yang hamil sebelum adanya ikatan pernikahan. Judgement dari masyarakat menjadi hal yang menakutkan daripada menyelamatkan janin mereka. Di beberapa negara dimana aborsi legal misalnya, sebagian besar perempuan memutuskan untuk melakukan aborsi dengan kesadaran bahwa itu adalah hak reproduksi mereka. Sedang di Indonesia, tidak. Banyak perempuan yang melakukan aborsi dengan alasan takut pada orang tua, malu atau bahkan dipaksa.
Legal atau ilegalnya status hukum aborsi bisa saja bukan hal yang menentukan untuk menekan angka aborsi di Indonesia. Namun hanya akan mengubah aborsi yang tidak aman menjadi aman. Kita membutuhkan tindakan preventif. Samsara setuju bahwa pendidikan seks dengan dipaketkan dengan pendidikan resiko akan lebih bermanfaat sebagai suatu langkah awal.
Kami sangat optimis bahwa perubahan akan muncul walau dengan mengadakan diskusi dalam lingkup yang kecil. Kedekatan personal terasa membantu dalam mengatasi dampak aborsi. Kepedulian terasa bersatu dengan kita pada saat-saat diskusi akan berakhir dengan beberapa tawaran dari peserta.
“Apa yang harus kami lakukan untuk membantu memulihkan perempuan atau pasangan kami jika mengalami PAS?”
Haru dan bahagia terasa mengelilingi hati kecil kami, Samsara Abortion Recovery. Terimakasih Pare.
1 komentar:
welcome to pare
sukses buat samsara
btw krasan gak di pare
hahahhaa
Posting Komentar