Lagi-lagi untuk kesekian kalinya, banjir terjadi Kabupaten Luwu Utara. Tapi kali ini banjirnya di 7 Kecamatan. Parahkan??? Bersama seorang teman yang agak gila (hahahaaaa) saya berangkat ke sebuah Desa yang banjirnya tak pernah surut-surut. Desa Teteuri, terletak di kecamatan Sabbang, sekitar 10 kilometer dari ibukota Kabupaten Luwu Utara, Masamba.
Tiba di lokasi, banjir sudah sampai di sebuah jembatan besar yang jaraknya tidak jauh dari jalan poros Sulawesi. Sekitar puluhan siswa tampak bersenang-senang bermain air bahkan mandi bersama teman-teman sekolah mereka. Kebetulan hari itu, mereka pulang cepat karena banjir.
Untuk menuju ke seberang jembatan, saya dan teman saya, Son Abdul Rahim, harus turun dari motor. Mesin motor terpaksa dimatikan, dan Son harus mendorong motor ke seberang jembatan. Saya sendiri harus menumpang pada sebuah mobil milik Dinas Sosial yang akan mengantarkan bantuan ke desa-desa yang terendam banjir. Karena jaraknya dekat, saya memilih tidak duduk di dalam mobil bersama pegawai Dinas Sosial, tapi saya memilih berdiri sambil pada sisi kiri mobil dengan memegang sebuah besi agar posisi berdiri tetap aman.
Tiba di seberang saya turun dari mobil dan naik motor menuju lokasi banjir yang lumayan parah bersama Son. Di tengah perjalanan, saya melihat sekelompok murid SD yang bersepeda. Dari jauh, saya pikir anak-anak tersebut adalah anak laki-laki karena sepeda yang mereka gunakan adalah sepeda BMX yang lebih sering digunakan oleh anak laki-laki. Ternyata setelah melihat dari dekat, semua anak adalah anak perempuan. Waduh, saya tertawa terbahak-bahak di atas motor. Anak-anak perempuan tersebut sangat tomboy menggunakan sepeda tersebut. Mereka menyapa kami, “haloooooo tanta…”. Saya lagi-lagi tertawa sekeras-kerasnya.
Sekedar info bahwa anak sekolah di desa ini kebanyakan menggunakan sepeda ke sekolah karena letak sekolah mereka lumayan jauh. Bukan hanya murid SD kelas 4 atau 5 saja yang bias menggunakan sepeda, tapi ada juga anak kelas 1 SD. Bagi anak yang menggunakan sepeda, akan terbilang lumayan kaya jika ia memiliki sepeda. Jadi, ada juga anak-anak sekolah yang harus rela berjalan kaki berkilo-kilo jauhnya untuk pergi ke sekolah. Bahkan, ada diantara mereka yang hanya menggunakan sandal ke sekolah. Ada juga yang menggunakan sepatu, tapi saat berjalan pulang dari sekolah ia melepas sepatu dan memegang sepatunya sambil berjalan.
Hahahaaaa… jadi ingat waktu kecil.
Pulang dari sekolah saya juga kadang-kadang melakukan hal yang sama. Saya ingat, saat kelas 5 SD, bapak juga memberikanku sepeda untuk digunakan ke sekolah. Walau jarak dari rumah ke sekolah lumayan dekat, saya tetap memilih naik sepeda. Suatu hari, saat ingin ke sekolah sepeda pemberian bapak itu tidak ada di halaman rumah. Menurut kakak, sepedanya dipinjam sepupu. Walau dalam keadaan marah dan menangis, saya tetap pergi ke sekolah. Tapi… pulang dari sekolah, sepupu saya bukannya bilang terima kasih tapi malah mengejek karena saya harus menagis. Tiba-tiba saja batu merah yang lumayan agak besar melayang ke kepala sepupu saya. Siapa yang lempar ya…??? Ya.. tentu saja saya. Hahahaaaa… untung saja sepupu saya tidak apa-apa, Cuma benjol sedikit.
Kembali ke kisah di Teteuri…
Waktu tiba di lokasi, kami bertemu dengan seorang Kepala Dusun Mangkallang. Kami kemudian berbincang-bincang mengenai keadaan warga di Mangkallang. Ternyata belum ada yang mau mengungsi juga, karena sudah biasa. Ketinggian air juga masih sama saat beberapa hari yang lalu meliput di sana. Tiba-tiba saja handphone Son berdering. Katanya dari delik sandi atau panggilan buat seseorang yang sering memberi informasi kepada kami jika ada peristiwa. Dari delik sandi tersebut, kami menerima info bahwa di kecamatan Mappadeceng juga mengalami banjir yang parah. Saya dan Son memilih menuju ke mappadeceng.
Di perjalanan, saya melihat tiga orang bocah sedang membantu ibunya mencabut daun ubi jalar di pinggir-pinggir jalan. Ketiga bocah itu dengan asyiknya bernyanyi sambil tertawa terbahak-bahak. Sangat menyenangkan melihat mereka bahagia. Mau tau lagu apa??? “11 januari bertemu, menjalani kisah cinta ini… aluri berkata engkaulah.. milikku..”. Weits, salut buat GIGI.
Lanjut…
Kami kemudian bertemu dengan kepala Desa Teteuri. Beliau membawa kami ke sebuah rumah yang digunakan warga untuk mengungsi karena banjir. Naik peraaaaaahu lagi. Lebih tepatnya sampan. Saat tiba di lokasi, ternyata rumah pengungsian itu juga sedang tergenang air. Pengungsian saja terendam banjir, bagaimana dengan rumah mereka???
Dan untuk kesekian kalinya terjadi pada saya. Lagi-lagi saya jatuh diu sebuah selokan yang airnya setinggi dada. (bagi yang ingin tertawa, SILAHKAN!!! Meski melukai hati saya). Namun, sayangnya dan sangat saya sesalkan hingga ingin berteriak sekeras-kerasnya…. Handphone Samsung satu-satunya milikku, yang sangat kusayangi harus ikut terendam. Hiks…hiks…hiks… Son kemudian memisahkan satu persatu bagian handphone mulai dari casing, baterai dan sebagainya, lalu menjemurnya.
Hasilnya, sampai hari ini RUSAK TOTAL.
Sudah mi deh..., nda mood ma’ menulis ingat handphoneku. Hehehe…
1 komentar:
Kern bos Tika. Saya senang membacanya. Ayo semangat...
Kasian HP-nya. Beli baru lah, hahahahaha.............
Posting Komentar