PADA 24 Oktober 2011, saya berangkat menuju Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Pukul 21.00, bus Piposs membawa saya melewati perjalanan darat selama tujuh jam. Ini kali pertama saya akan mengunjungi Majene meski jaraknya tidak begitu jauh. Seorang gadis duduk di sebelah saya. Kami mengobrol sebelum akhirnya tertidur. Namanya Wana, dialah yang meminta agar kondektur bus menurunkan saya di tempat tujuan.
Busnya berhenti di sisi kiri jalan. Wana bilang, saya sudah tiba. Penginapan tempat saya menginap ada di seberang jalan. Saya pamit dan turun dari bus. Gelap sekali, tak ada lampu jalan. Tak ada pula tanda adanya sebuah penginapan. Setelah menyalakan lampu senter dari hp, saya menemukan sebuah plan nama tempatnya. Di sana tak tertulis penginapan. Tapi, Yayasan Tasha Centre.
Ngeri sekali. Langkah saya sangat cepat. Mencari ruang yang terang, di ruang dimana resepsionis seharusnya ada. Tak ada siapapun. Seorang pria lewat dan saya memintanya agar memanggil resepsionis. Tak lama kemudian, datanglah pria berbeda. Wajahnya kusut, mata sembab dan tak banyak bicara. Ketika bicara, ia menutup sebagian mulutnya. Saya mengerti alasannya, bau mulut tak dapat seketika pergi saat anda baru saja bangun dari tidur.
“Pak, saya Tika. Kemarin sore sudah menelfon ke sini dan memesan satu kamar. Saya dari Makassar,” kata saya.
“Ooo..oo.. Ki..ki..ta’ mi yang telfon tadi?” katanya, gagap.
Dia memberi sebuah kunci dan menunjukkan kamarnya. Pria itu masuk menyalakan pendingin ruangan dan televisi. Setelah dia keluar, baru saya masuk. Mematikan AC dan televisi, lalu bermain-main dengan laptop hingga di luar cukup terang.
Tak betah di kamar, saya berjalan. Menikmati udara pagi di tempat yang baru saya kunjungi. Kupikir, ini hal yang baru. Tiap daerah akan berbeda suasananya.
Saya menemui Udin. Salah satu karyawan di penginapan. Dia sedang mengepel lantai. Polos sekali dia bicara. Dialegnya khas. Berirama. Sedap. Kami bercerita, sambil dia terus melakukan pekerjaannya. Saya mendapatkan informasi dari Udin bahwa tak jauh dari penginapan, ada pantai. Saya pamit, berjalan keluar dan menunggu angkutan umum. Saya turun di sebuah jalan kecil atas petunjuk supir, dia menyarankan agar saya meneruskan perjalanan dengan ojek. Ada seorang bapak yang profesinya tukang ojek musiman sudah menunggu. Dia mengantarkan saya ke Pantai Barane.
Pantai Barane berada di Kelurahan Baurung, Kecamatan Banggae Timur. Saat ini sedang dalam pembangunan menjadi kawasan wisata. Banyak bangunan baru di sana, seperti sebuah pondok-pondok yang bisa disewa. Ada yang berdinding batu, kayu atau hanya seperti sebuah gazebo saja. Saya berjalan menuju dermaga. Matahari benar-benar terik. Pagi itu, hanya ada tiga pengunjung. Saya, seorang ibu yang sedang mencari anaknya dan ada juga nenek yang kulihat sedang buang hajat di bawah dermaga.
Nenek itu bernama Salamang. Dia mengajak saya mengunjungi rumahnya. Tak jauh dari pantai. Dia terus berkata kalau rumahnya jelek, tidak seperti rumah di kota. Saya senyum dan berjalan saja mengikutinya. Tiba di rumahnya yang terbuat dari kayu dan tidak luas, dia mempersilahkan saya masuk. Di ruang tamunya ada sofa yang tidak baru lagi. Beberapa sudut ada sobekan. Saat ingin melepas sandal, nenek Salamang melarang saya. Tapi, saya tetap membukanya. Terasa sekali pasir menempel di telapak kaki saya saat menginjak lantai.
“Wei, duduk-duduk meki nak. Kupake’ dulu bajuku. Kubikinkan ki teh nak,” kata nenek.
Saya jadi tak enak. Dan memintanya tak perlu repot-repot. Nenek bilang, tak akan repot jika hanya buat teh. Tapi, saya minta air putih saja. Nenek mengalah.
Hampir satu jam saya di rumah nenek Salamang. Dia banyak cerita. Awalnya bertanya dulu, nama, asal, status dan tujuan saya ke Majene. Lalu giliran dia bercerita.
Nenek Salamang, punya tujuh anak. Semua sudah menikah. Hanya dua di antara tujuh anaknya yang tamat Sekolah Menengah Atas (SMA). Yang lain, tamat hanya Sekolah Menengah Pertama (SMP). Saat anak pertamanya bernama Rusli berusia 15 tahun, suaminya meninggal. Sakit. Lalu bekerjalah dia menghidupi anak-anaknya. Sebagai, penjual ikan di pasar. Dua tahun terakhir, nenek sudah berhenti bekerja. Hanya di rumah saja. Dokter melarangnya bekerja keras karena alasan penyakit. Kata nenek, sakit jantung.
Dia banyak mengeluh mengenai penyakitnya. Tapi, bukan karena rasa sakit atau takut meninggal secara tiba-tiba. Nenek bilang, bosan karena tak bekerja. Tinggal di rumah buat dia malah cepat lelah. Ingin bekerja lagi tapi tak diijinkan oleh anak-anaknya.
Senang juga rasanya mendengar cerita nenek. Walau sebenarnya, saya sering mendengar keluhan-keluhan seperti itu. Sebelum meninggal, nenek saya juga sering mengatakan hal yang sama. Saya senang mendengar ketika nenek bercerita kisah hidupnya.
Berdagang, mencari nafkah untuk lima anaknya. Bahkan, sempat menjadi juru masak orang Jepang. Saya sempat tak percaya. Lalu dua hari kemudian, nenek membuktikannya dengan membuatkan saya perkedel kepiting. Dihiasnya dengan indah. Perkedel yang berbentuk oval dimasukkan dalam kulit kepiting yang masih utuh. Melihat tampilannya saja, sudah menggiurkan.
Mendengar cerita nenek Salamang, membuat pikiran saya melayang-layang. Memikirkan nenek. Senyum-senyum sendiri dan mata sudah berair. Siap mengeluarkan air mata. Tapi, tak jadi karena kaget mendengar suara keras seorang perempuan yang mengucap salam. Ternyata, ibu itu datang mengambil raskin.
Saya pamit. Tapi, nenek malah meminta saya berkenalan dengan cucu dan cicitnya yang usianya masih satu tahun. Tapi, saya lupa namanya. Cucu nenek Salamang masih sangat muda. Dia sedang hamil anak kedua. Menikah setelah tamat SMP. Suaminya juga masih muda, nenek memperlihatkan fotonya. Bekerja sebagai karyawan di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Majene.
Setelah itu, saya benar-benar pamit. Menahan ojek. Dan keluar dari pantai.
Saya singgah di tepi jalan poros Majene saat melihat ibu-ibu sibuk menjemur. Bukan menjemur pakaian. Tapi, mangga yang sudah dibelah tipis. Mereka akan membuat asam mangga. Biasanya digunakan untuk memasak ikan. Mereka mengambil mangga di gunung lalu dikupas, dipotong-potong tipis dan dijemur selama dua hari. Jika mengerjakan dua karung mangga, hasilnya hanya akan menjadi 10 liter saja setelah dikeringkan. Lalu dijual di pasar. Per liter, hanganya empat hingga lima ribu rupiah.
Nah, ada tiga orang ibu-ibu yang menjemur. Mereka memperkirakan hasil dari asam mangga yang mereka jemur pagi itu hanya sekitar 10 liter saja. Jadi, setelah dijual, hasilnya akan dibagi tiga. Alhamdulillah yah...
Tak jauh dari tepi jalan itu, saya berjalan menuju seorang ibu yang sedang memotong-motong daging kelapa tua. Aroma kelapanya sudah mulai busuk. Ibu itu mengerjakannya di sebuah pos ronda. Daging kelapa itu juga dijemur. Daging kelapa kering biasa disebut kopra. Katanya, untuk membuat minyak goreng. Dia juga sudah jarang membuat kopra. Menurutnya, harganya sudah murah. Hanya dua ratus ribu per kwintal. Padahal tahun lalu masih dapat lima ratus ribu per kwintal.
Semakin panas, sudah waktunya kembali ke penginapan. Saya pamit. Dan, memilih berjalan kaki menuju penginapan. Jaraknya sudah dekat. Saya menikmati keringat yang keluar dari tubuh saya. Di penginapan, kopi dan nasi kuning sudah menanti untuk dilahap. Saya mengucapkan terimakasih pada Udin. (Sartika Nasmar)
3 komentar:
lain waktu jalan2 k mjene lg mbak
lain waktu jlan2 lagi ke mjene mbak
Sama-sama, mudah-mudahan ada kesempatan untuk jalan-jalan ke sana lagi :-)
Posting Komentar