Saya sudah lupa tanggalnya. Saat itu, saya masih bekerja sebagai kontributor di tvOne di Kota Palopo, Sulawesi Selatan. Di sana banyak kenangan, tempatku melewati masa kanak-kanak hingga remaja. Tahun 2008, saya memutuskan untuk mengikuti Kursus Narasi yang diselenggarakan oleh Yayasan Pantau di Yogyakarta. Setelah itu, kurasakan banyak berubah.
Saya bertemu dan mengenal banyak orang. Saya begitu kaku dan tidak percaya diri. Saya bertemu Inna Hudaya. Dia juga mengikuti kursus yang sama. Alasannya, karena ia sedang menggarap buku pertamanya berjudul Diary of Lose.
Saya sering berkunjung di kamar kostnya di Jalan Kaliurang. Dia menyambut saya dengan hangat bersama kucing kesayangannya. Saya senang berteman dengan Inna dan mulai mengenalnya lebih dekat. Lalu, kami memutuskan untuk bersama-sama menuju ke Kampung Inggris di Pare, Kabupaten Kediri. Di sana kami tinggal dalam kamar yang sama.
Inna memberi saya banyak hal. Membantu saya dan memberikan informasi yang menarik. Dia juga mengajak saya bergabung dalam lembaga yang dia bentuk bersama kawannya bernama Samsara. Saat itu nama lembaganya masih Samsara Abortion Recovery. Sebuah lembaga yang fokus pada isu aborsi, memberikan konseling untuk pemulihan trauma paska aborsi. Dikenal dengan sebutan Post Abortion Syndrome.
Saya jatuh cinta pada Samsara. Inna mulai memperkenalkan pada saya. Memberi bahan bacaan tentang aborsi, berbicara di depan banyak orang hingga menyuruh saya memeriksa email klien. Pertama kali membaca email klien, saya menangis sesenggukan di sudut kamar. Membayangkan bagaimana aborsi tidak aman yang dilakukan oleh perempuan-perempuan yang tak kami kenal. Saya ingat sekali bagaimana Inna memeluk dan menenangkan saya. Memberi saya semangat untuk membantu perempuan-perempuan di luar sana yang trauma karena aborsi tidak aman.
Saya memutuskan meninggalkan pekerjaan saya sebagai wartawan. Lalu membantu Inna di Samsara sebagai staf edukasi dan sosialisasi. Kami melakukan sosialisasi di asrama-asrama, tempat kursus, hingga ke radio. Dari Pare hingga ke Tasikmalaya.
Banyak yang menganggap saya bodoh. Tapi saya tak takut dipanggil bodoh, karena dengan itu, saya tahu saya masih punya alasan untuk selalu belajar banyak.
Di Samsara, saya mendapat kekuatan baru. Kepercayaan diri yang baru dan pikiran yang matang. Inna memberi saran yang bijak dan menularkan keberaniannya pada saya. Kami mulai bersahabat. Saya pun mulai memanggilnya teteh. Dia mengajak saya berkunjung ke rumahnya. Kenalan dengan ibunya. Saat di rumahnya, kami begitu kompak melakukan kebohongan. Ketika subuh, Umi sapaan untuk ibu Inna akan membangunkan kami untuk salat subuh. Kami menyahut memberi tanda bahwa kami sudah bangun dan siap salat. Lalu menuju kamar mandi, berwudhu, mengambil mukenah, dan membuka sajadah. Mukenah tak kami pakai, hanya membiarkannya berantakan saja di atas sajadah, lalu kembali tidur. Pagi hari saat Umi masuk ke kamar, dia akan percaya kami sudah salat subuh.
Rasanya menyenangkan mengingat banyak hal yang terjadi di Jogja. Saya tahu di sana, saya punya sahabat. Inna memberi saya pemahaman baru tentang menghargai dan menikmati pelukan, menghilangkan rasa malu untuk mengungkapkan rasa sayang pada orang-orang terdekat, mengungkapkan ketakutan dan kebahagiaan hingga bercerita rahasia-rahasia kecil. Tak hanya saling memuji, kami juga saling kritik. Saling mengungkapkan kebencian satu sama lain, tapi kami tahu bagaimana saling memaafkan setelahnya.
Saat ini, namanya hanya SAMSARA. Perspektif dalam memandang isu aborsi pun diperluas dengan pemahaman seksualitas dan kesehatan reproduksi. Orang-orang di dalamnya pun berubah. Yang bertahan hanya saya dan Inna. Banyak proses dilakukan bersama, jarak dekat dan jarak jauh. Sekarang, saya di Makassar dan Inna di Jogja. Kami mendapat rekan kerja baru sejak program terakhir kami berjalan enam bulan lalu. Syaiful Huda dan Yoyok membantu Inna di Jogja, saya di Makassar dan Mbak Umi di Bali.
Kerja kami tidak hanya memberikan konseling paska aborsi, tapi juga konseling Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD), mengorganisir Post Abortus dan memberi mereka ruang untuk saling menguatkan, membuka ruang diskusi seksualitas dan kesehatan reproduksi, juga pendidikan seks dan resiko.
Sore ini saya menikmati foto-foto Omah Schakty, rumah Inna yang dijadikan kantor oleh Samsara. Letaknya di Bantul. Kanan dan kiri area sawah. Depan ada jalan tak beraspal, lalu sawah lagi. Pada pagi hari, penggembala kambing sering melalui jalannya. Kabut tipis juga tampak. Angin dingin. Segar sekali.
Ketika di Jogja, saya tinggal di sana. Beberapa hari lalu, Inna mengabarkan bahwa Omah Schakty punya kloset duduk baru. Dan, siapa pun boleh menulisi dinding kamar mandi dengan tema tubuh. Dinding-dinding rumah dan kantor juga akan di cat. Masing-masing staf akan memilih warna favoritnya. Sedih sekali tak bisa berada di sana, tapi Inna menyisakan dinding dapur untuk warna favoritku. (Sartika Nasmar)
3 komentar:
Tika, terimakasih sudah menuliskan ini. Aku akan selalu ingat masa-masa kita berjuang bersama. Aku tidak akan bisa melakukannya tanpamu. I love you.
Tika, terimakasih sudah menuliskan ini. Aku akan selalu ingat masa-masa kita berjuang bersama. Aku tidak akan bisa melakukannya tanpamu. I love you.
Sama-sama teh, aku juga gak akan seperti sekarang tanpa kamu. I love you too...
Posting Komentar