Saya
percaya bahwa orang-orang Indonesia Timur adalah orang yang ramah pada
pengunjung atau tamu-tamu yang datang ke wilayah mereka. Apapun tujuannya dan
apapun jenis kelaminnya. Kita selalu memberikan senyuman dan membalas sapaan
dengan sopan. Khususnya pada perempuan. Budaya kita selalu mengajarkan untuk
menghormati perempuan.
Di suatu
hari, saya tersentak bahwa kepercayaan akan keramahan orang-orang Indonesia
Timur hilang dan berganti menjadi pelecehan yang menimpa saya, yang berasal
dari Makassar, masih Indonesia Timur yang datang bekerja di Larantuka, Flores
Timur. Saya yakin ada yang salah.
Saat
saya berjalan mencari warung internet, segerombolan laki-laki yang sedang duduk
di teras rumah meneriaki saya dengan cara yang tak ramah. Kali kedua, saat
sedang berjalan pelan di trotoar, sepasang anak muda laki-laki yang mengendarai
motor meneriaki saya dengan kasar menggunakan bahasa yang tidak saya mengerti
sambil tertawa keras dan pergi dengan kecepatan tinggi. Suatu malam saat
menikmati pantai Taman Kota Larantuka bersama tiga orang teman, tiba-tiba saja
seorang laki-laki yang mabuk alkohol meminta saya menemaninya ke warung dan
kapal dengan sikap yang membuat saya merasa dilecehkan. Dan, terakhir ketika
menyeberang jalan, seorang laki-laki menyambar saya tanpa menyalakan lampu
motor dan kecepatan yang tinggi. Salah satu teman saya yang melihat mengatakan,
kejadiannya seperti disengaja.
Kejadian-kejadian
di atas membuat saya marah. Prilaku-prilaku beberapa orang laki-laki tersebut
merupakan perbuatan yang saya anggap sebagai pelecehan seksual. Sebuah
perbuatan yang bersifat menghina dan memandang rendah berdasarkan seks atau
jenis kelamin. Sebagai perempuan, tentu saja kami ingin dihormati sebagai
manusia. Bukan sebagai objek seksual.
Penghormatan
dan perlindungan terhadap perempuan adalah bagian dari Hak Asasi Perempuan
(HAP), yaitu hak yang dimiliki seorang perempuan, baik karena ia seorang
manusia maupun sebagai seorang perempuan, dalam khasanah hukum Hak Asasi
Manusia (HAM) telah diatur dalam berbagai sistem hukum tentang HAM. Salah satu
hak perempuan yang diatur dan dilindungi oleh negara adalah hak atas persamaan,
kebebasan dan keamanan setiap orang, kebebasan dari perbudakan, siksaan atau
perlakuan yang merendahkan martabat manusia.
Di
banyak tempat, perempuan masih belum mendapatkan rasa aman dimana
ancaman-ancaman pelecehan dan kekerasan kerap dijumpai. Khususnya di jalan
raya. Munculnya stereotip atau prasangka-prasangka terhadap perempuan telah
melanggar prinsip persamaan dalam HAM. Ini menyebabkan tidak dihargainya
peran-peran perempuan karena masih adanya perbedaan antara laki-laki dan
perempuan melalui konstruksi budaya yang diskriminatif.
Sebagai
pendatang di Larantuka, Flores Timur, saya berharap mendapatkan keramahan dan
keamanan. Prilaku-prilaku sebagian kecil orang tersebut adalah prilaku yang
mampu merusak citra keramahan kita sebagai orang Timur.
Ada
banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mengubah pola tingkah laku dengan
maksud mencapai penghapusan prasangka-prasangka, anggapan-anggapan, kebiasaan-kebiasaan
dan praktek lainnya kepada perempuan. Dalam peristiwa yang saya alami, ada
beberapa dugaan dari kawan-kawan saya yang tinggal dan menetap di Larantuka.
Menurut mereka, perempuan yang berperawakan seperti saya (berambut lurus dan
berkulit putih) pada umumnya bekerja sebagai pekerja seks di café-café yang
tersebar di Flores Timur. Namun, menurut saya, tak ada alasan apapun baik itu
berdasarkan pekerjaan atau warna kulit, seseorang dapat melakukan pelecehan dan
kekerasan terhadap perempuan.
Dalam
konstruksi sosial berdasarkan asumsi-asumsi negatif kepada perempuan yang
berada di ruang publik ini mempengaruhi akses perempuan dalam memperoleh
kebebasan, kesempatan dan keamanannya di berbagai tingkatan. Sebagai contoh,
perempuan yang bekerja di ruang publik hingga malam hari sering dianggap
melakukan pekerjaan yang tidak ‘baik’ atau pekerjaan-pekerjaan subordinat
lainnya seperti pekerja seks atau tempat hiburan malam. Berbeda pada asumsi
yang dilekatkan pada laki-laki yang bekerja hingga malam hari dianggap bernilai
ekonomis dan positif untuk menghidupi anak dan istrinya.
Perbedaan
perlakuan dan asumsi terhadap laki-laki dan perempuan telah menimbulkan
pembatasan hak dan kebebasan perempuan: pembatasan jam kerja, gerak dan mobilitas
serta partisipasi perempuan dalam ruang publik. Ini perlu diubah, untuk
mengembalikan hak-hak perempuan untuk mencapai prinsip kesetaraan.
Paska
terjadinya pelecehan yang saya alami, ada ketidakpercayaan hadir dalam pikiran
saya. Ada trauma dan kekhawatiran untuk keluar rumah dan mengakses beberapa
kebutuhan khususnya memilih alat transportasi umum.
Saya bercerita
pada seorang pastor yang dikenalkan oleh seorang kawan dan mengusulkan untuk ia
berkhotbah agar masyarakat lebih menghargai perempuan-perempuan khususnya
pendatang untuk menunjukkan sikap menghormati dan menghargai mereka sama
seperti mereka memperlakukan perempuan pada umumnya tinggal di Larantuka.
Namun, saya sedikit kecewa. Ia justru menanyakan lokasi dimana pelecehan
terjadi pada saya dan akan menugaskan pastor lain untuk berkhotbah.
Sikap
tersebut menunjukkan betapa menghapus perilaku pelecehan dan kekerasan terhadap
perempuan dianggap tidak penting bagi sebagian orang. Dan, merupakan peran
setiap manusia untuk mengubah asumsi-asumsi negatif yang dilekatkan pada
perempuan.
Yang
harus kita ingat bahwa pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan bisa terjadi
dimana saja, kapan saja, kepada siapa dan oleh siapa. Bukan di jalan-jalan
tertentu, pada orang-orang tertentu atau dilakukan oleh orang-orang tertentu
saja. Sudah seharusnya kita membuka mata dan bersama-sama membangun
penghormatan terhadap hak-hak perempuan. Ada banyak perempuan di sekitar kita.
Adalah saudara, orang tua, anak, keponakan bahkan sahabat. Membayangkan
pelecehan dan kekerasan terjadi pada mereka adalah hal yang tentu saja tidak
kita inginkan. Kita hanya harus bersikap ramah. Memberikan pemahaman kepada
siapa saja yang kita temui bahwa perempuan punya hak untuk merasa aman berada
dimana saja. Apapun pekerjaannya.